"Iki motor opo? Bentuk e lucu men"
"Ini motor matic, panglima". Pak Dirman memenuhi saranku. Segera kupacu motor berlogo sayap sebelah.
"Penak tenan motor iki. Empuk linggihanne". Semilir angin menerpa sekujur badan. Jubahnya berkelepak mirip kuping gajah. Melewati jalan desa bersama bayang-bayang. Meliuki aspal menyantap pemandangan.
"Bedo banget karo jamanku". Tubuh panglima ringan hingga aku merasa jok belakang tanpa penumpang. Sampai pada sebuah tempat, matic aku pelankan kemudian berhenti pada sebuah pintu besi.
Kami turun.
"Lho mas, teng mriki meleh? Nopo wonten ingkang kesupen?", Kata bu Sainem, seorang penjual makanan yang tadi telah saya datangi.
"Mboten, bu. Niki ajeng mbaleni. Tesih kepingin kanginan"
"Oalah...yo monggo"
"Merdeka!" pekikku dalam hati. Tepat diatas jam 12 lebih beberapa menit aku bersama pria kurus itu berdiri dihamparan tanah lapang di Monumen Jendral Soedirman. Aku menuntunnya pelan. Tapi ia inginnya bergegas.
Bu Sainem, penjual makanan dan minuman disisi timur monumen menatap beberapa kejap tingkah polahku. Ada rasa keheranan dengan caraku melangkah. Kami terus menjauhi lapaknya, sepatuku mengendusi rumput lapangan. Cabikan panas matahari tidak mampu menggagalkan langkah kami mengitari area monumen. Rumput yang tertanam berupaya agar tetap hidup, walau banyak bagiannya menuju sakaratul maut, mati kering merangas. Padu padan coklat kuning tanda kematian bersembulan diantara sedikit hijau tua muda berserakan.