Tak perlu kau mengirim angin selatan untuk menyampaikan undangan. Karena tahun ini musim angin kurang begitu tumbuh. Cuaca didominasi kemarau tanpa diselingi sekejap hujan pun. Tanaman padi kepayahan menahan belitan kekeringan. Pucuk-pucuk tunas merangas sebelum sempat dihirup kumbang. Debu beterbangan penuh arogan melabrak apapun dihadapan. Semua itu bagiku tak berarti.
Yang utama sebenarnya aku ingin lebih intim mengenal dirimu. Bercengkerama bersama senjakala dibarat daya. Aku seorang diri menyambangimu berbekal dua lembar seratus ribu menempuh jarak 48 km kearah Kabupaten Klaten yang semboyannya- Bersinar -sudah berumur 30 tahun lebih.
Hari itu begitu indah. Hati semerbak pikiran ringan tanpa para bedebah. Jalan utama dipadati kendaraan dengan berbagai ukuran. Setelah menempuh waktu satu jam lebih, pelambatan mengambang. Â
Aku parkirkan motor disebuah warung sekaligus tempat penitipan. Sambutan ramah dari pemilik  membuat senyumku merekah.
"Sak Niki menopo mangke, bu?" (sekarang atau nanti, bu)
"Mangke kemawon, mas?" (nanti saja, mas)
Uang parkir tertunda pindah tangan.Â
Ditengah lalu lalang  aku melangkah menuju pintu masuk. Ramai. Saling menyahut mengudara bebas nirlarangan. Pengunjung tidak hanya wisatawan domestik, bule juga mampir.
Sekitaran candi Plaosan telah membentuk putaran ekonomi kerakyatan, walau mungkin skalanya kecil. Warung-warung makan, jasa penitipan motor dan mobil, kios- kios cinderamata, juru foto sekali jadi dengan tarif Rp.10 ribu/foto(ditunggu 5 menit hasil jepretannya). Â
Untuk mengunjungimu tak perlu rogoh saku terlalu dalam, cukup sepuluh ribu rupiah per orang. Anak-anak dua ribu rupiah, sedang wisatawan asing lima puluh ribu rupiah.
Sungguh senang melihat ujudmu dari jauh. Dan kau pun antusias melihat kedatanganku. Apakah kau sudah menyiapkan semuanya? Karena suara gending-gending Jawa mengalun berarak penuh aura tempo doeloe, mendayu diantara batu-batu mempengaruhi suasana hatiku, mungkin juga pengunjung lain. Ini sebuah sambutan khusus?
Begitulah, kakiku berhasil menginjak halaman depan komplek candi. Sepakan sepatuku membuat kepulan kecil debu melingkar-lingkar tanpa juntrungan. Hawa panas memaksaku berhenti dulu disebuah papan informasi mengenai seluk beluk dirimu. Aku tidak mau grusa-grusu. Sesekali tanganku bermain disekitaran kening, mengusap keringat yang bertimbulan.Â
Belum jam 12 siang tapi seringai matahari begitu sadis. Merajam segala yang ada. Kulitku terasa panas bak masuk panggangan kue. Mencari sesobek tempat berteduh sembari mengamati dirimu yang melambaikan hasrat agar aku mendekat.
Pengunjung berdatangan memasuki wilayah kekuasaanmu. Bergaya anteng kitiran dikarenakan sibuk menghalau kegerahan.
Kau tidak berbau. Sosokmu berdiri dengan anggun tanpa riasan, apa adanya. Hitam abu-abu warna tubuhmu. Sungguh eksotis. Â
Ragamu begitu kokoh diusia 1200 tahun? Bukankan begitu? Seorang De Carparis-filolog Belanda- memperkirakan kau dibangun pada abad 9 M dikisaran tahun 825-850 Masehi. Sungguh berkerak...
Aku jadi tahu, betapa dijaman itu toleransi begitu menyala. Penganut agama Hindu dan Budha bisa hidup berdampingan, bahkan saling mendukung. Plaosan, dirimu dibangun oleh kesepakatan suami istri yang beda kepercayaan. Pramodhawardhani beragama Budha sedang Rakai Pikatan beragama Hindu. Hebat! Jadi jangan heran kalau candi Plaosan merupakan candi Budha tapi bentuk bangunannya padu padan dengan corak Hindu.Â
Mengelilingi area dimana kamu berdiri membutuhkan keikhlasan dan niat. Bisa kamu lihat, panas yang menyengat membuat beberapa pengunjung sambat, "Aduh panasnya minta ampun..."
"Sewa payung saja, mbak"
"Kenapa tadi nggak bawa topi? Nyesel deh"
Aku juga mengalami nasib sama. Baju kotak-kotak lengan panjang aku gunakan menutup kepala selama melakukan pergerakan.Â
Tangga batu dibangunan induk mempersilahkan kakiku menaikinya. Tidak tinggi. Ada hiasan kepala naga dipangkalnya. Pahatan bunga dan sulur menghiasi bingkai pintu. Sedangkan kepala Kala bertengger diatas ambang pintu tanpa rahang bawah. Aku masuk kedalam. Suasana gelap.Â
Seberkas cahaya berhasil menerobos membantuku mengamati isinya. Aku mendapati 3 ruangan didalam dengan beberapa patung duduk hening. Tapi tidak sempurna. Karena ada yang tanpa kepala atau tangannya putus. Bau basah udara lembab menampar hidungku. Terhirup hingga ke otak.Â
Suasana mistis tertangkap jika pengunjung mau berlama-lama didalam. Tapi aku punya keyakinan, kalau pengunjung nggak akan berani lama-lama didalam bangunan induk, apalagi sendirian. Seperti ada yang mengamati. Apa hanya perasaanku saja?
Diluar, hiruk pikuk kedatangan pengunjung menciptakan kegairahan sendiri. Anak-anak kecil berlarian muter-muter mirip gasing, berteriak kencang diakhiri jeritan nakal. Gawai dikeluarkan untuk jepret sana jepret sini.Â
Seantero komplek aku jelajahi. Pagar batu mengelilingimu dengan ukuran tertentu. Rerumputan terhampar tanpa peduli kalau diinjaki ribuan kaki. Beberapa tong sampah diletakkan dibeberapa sudut agar pengunjung jangan buang hasil kudapan sembarangan.
Menyusuri areamu, aku jadi tahu kalau sebuah jalan desa berhasil memotong lajur kekuasaanmu. Sehingga masyarakat beranggapan potongan selatan disebut Plaosan Kidul. Padahal yang benar, Â Plaosan Lor dan Plaosan Kidul satu kesatuan dikenal sebagai kompleks candi Plaosan.Â
Kompleks Candi Plaosan Lor(utara) terdiri dari 2 bangunan Induk dikelilingi oleh 6 candi Patok, 58 Candi Perwara, 116 Stupa, ditambahi 1 bangunan Mandapa.
Punggung kusandarkan pada tubuhmu. Diketinggian tertentu aku mengamati sekeliling. Ladang persawahan diliuki jalan pedesaan. Gunung Merapi tampak berurat dikejauhan. Pesawat terbang melintas diatasmu, Bunyi sendau gurau pekerja rekonstruksi menaiki udara siang.Â
Tanganku mengusap pelan beberapa relief, tidak terlalu kasar, penuh pori-pori. Seekor capung(Anisoptera) tanpa suara hinggap dipinggiran batu. Ingin aku tangkap tapi sudah terbang menjauh. Sedikit semilir mengirimkan daya magis menghapus kelelahanku. Sihirnya membuatku terkantuk-kantuk terseret masuk di abad itu. Setengah diriku terlelap melayang....
Harum tumpukan daun pandan dengan jalinan akar wangi  bercampur semerbak bunga melati memenuhi ruangan pengantin. Beberapa rangkaian dedaunan diantara tujuh bunga keabadian merubah ruangan beratap rumbia dengan pilar-pilar kayu besar menjadikan pelaminan bernuansa percik surgawi.Â
Sorotan puluhan mata tak habis-habisnya kagum memandangi tempat persandingan itu. Sebuah mahligai tertata untuk sang pengantin dari wangsa Syailendra dengan wangsa Sanjaya.
Ya, rencana Sri Maharaja Samarattungga menikahkan putri tunggalnya, Pramodhawardhani dengan seorang berdarah biru yang membawahi Watek Pikatan(sebuah daerah yang terbentuk dari beberapa desa-kini masuk wilayah kabupaten Temanggung) yaitu Rakai Pikatan mpu Manuku merupakan keniscayaan.
Samarattungga, raja kerajaan Mataram Kuno dari wangsa Syailendra berhasrat agar perkawinan ini nanti akan melindungi kepentingannya.
Rakai Pikatan, seorang mpu agama Hindu Syiwa yang berdomisili di utara kerajaan Mataram Kuno calon paling memungkinkan bagi putrinya. Walaupun usianya terpaut cukup jauh, tapi itu bukan soal. Â Â
Namun, banyak kasak-kusuk memecah kehangatan langit kerajaan. Sebuah isu meledak ditengah kegembiraan rakyat. Bungkusan-bungkusan dilemparkan agar rakyat tahu bahwa ada akal bulus dibalik perkawinan tersebut. Â Pernikahan kedua makhluk dewa beda jenis adalah pernikahan politik. Bentuk kesepakatan-kesepakatan tertentu meraupi hajatan sakral.
Samarattungga gerah dengan rongrongan adik kandungnya, Balaputradewa, yang meminta alih kekuasaan Mataram Kuno diturunkan ke dirinya.Â
"Kangmas Prabu sadarkan? Bila turun  tahta, selanjutnya saya yang memimpin? Pramodhawardhani hanyalah perempuan belia. Tidak pantas hal besar diserahkan padanya. Rakyat akan mencibir"
"Adikku, bersabarlah", ucap Samarattungga  mencoba menenangkan.Â
"Sabar? Sebatas itukah perbendaharaan kata  yang Kangmas Prabu punyai?",Â
Balaputradewa merasa cemas akan nasib dirinya. Sebagai adik kandung, dia tidak mempunyai jabatan politik strategis di kerajaan Medang. Hanya kehormatan sebagai bangsawanlah yang membuat dirinya masih bisa tampil didepan punggawa serta kawula alit.Â
"Luasnya kerajaan Medang menuntut seorang pemimpin agar memaksimalkan kekuatan, apapun itu. Sedangkan selama ini kita hanya mengandalkan pertanian. Lainnya tidak! Armada laut belum mumpuni bahkan bisa dikatakan lemah. Jarak antara pelabuhan Bergota dengan ibukota kerajaan terlalu jauh mempersulit koordinasi. Itupun masih diperparah dengan pendangkalan serta abrasi pantai yang membuat jalur sempit. Kapal-kapal tidak bisa masuk hingga ke pedalaman. Bisa ditebak, perniagaan Medang mati. Ekspor hasil pertanian ke negeri seberang tersendat bahkan mandek"
"Aku sedang membenahinya", potong Samarattungga.
"Sedang? Kenyataannya tidak ada rencana apapun. Harusnya pengerukan sungai segera dilakukan. Semakin lama ditunda, lumpur kian mencengkeram aliran. Kalau adinda yang memimpin bisa dipastikan semua akan terselesaikan", sanggah Balaputradewa. "Kangmas prabu selama ini hanya fokus pada seni dan budaya. Itu saja. Lihat kondisi rakyat. Apa tidak malu bila utusan dari negeri seberang mendapati rakyat hidup apa adanya? Disuruh nerimo?"
"Tidak ada utusan yang mempermasalahkan kondisi rakyatku"
"Sayang, kangmas prabu dikelilingi benteng kebohongan, sehingga kritik atau komentar para musafir tak pernah sampai. Silahkan kalau kangmas tidak percaya. Tapi Ma Huan, pengembara dari negeri kuning secara dekat mengutarakan pengamatannya mengenai kondisi kehidupan rakyat Medang", kata Balaputradewa meyakinkan, "Kawula alit menanggung beban berat karena mesti dilibatkan dalam membangun monumen-monumen keagamaan.Â
Pembangunan Bhumisambharabudhara (Borobudur) sampai sekarang belum selesai, itu sungguh menyita tenaga rakyat juga kas kerajaan. Yang pedagang terpaksa meninggalkan dagangannya, petani meninggalkan sawah garapan. Betapa kasihan rakyat Medang".
Kakak beradik itu saling berbantah tanpa putus. Para sesepuh tidak berani menimpali. Ini krusial. Keliru memberikan anjuran bisa dituduh ikut kubu satu diantara mereka. Diam adalah kunci aman.
Cara Prabu Samarattungga agar keturunannya tetap memegang tampuk kekuasaan sungguh diluar dugaan. Ini membuat Balaputradewa makin dongkol. Dia menyebar agitasi agar pesta perkawinan gagal. Kelompok kecil bentukannya menebar hasutan.Â
Gelontoran kabar bohong tak berhenti meruyak mirip gelombang panas di musim pancaroba. Sanggup menciptakan pertentangan ditengah rakyat Medang. Walau gagal mengapungkan huru hara namun hal ini akan menjadi penyebab Balaputradewa terus menebar teror dikemudian hari.Â
Adalah Rakai Pikatan calon menantu raja. Pria tampan bertubuh tinggi besar bertutur kata halus berkulit sawo matang. Rambutnya ikal sebahu diikat model payung bercandik. Hidungnya bangir sawunggaling. Sorot matanya tajam laksana elang.
Jalinan asmaranya dengan Pramodhawardani membuahkan hasil. Lamarannya diterima raja Samarattungga tanpa aral melintang. Inilah titik pertama rencananya. Tidak perlu tergesa-gesa untuk memegang kendali penuh roda pemerintahan kerajaan Medang sebutan lain buat Mataram Kuno.
Pesta digelar tujuh hari tujuh malam. Hidangan tak henti-hentinya mengalir. Para tamu yang sebagian besar kalangan bangsawan duduk bersila mengitari nasi setinggi pundak dengan macam-macam daging tebal menumpuk. Nasi pun diolah dengan ragam cara: di liwet-ditanak memakai pangliwetan, di matiman-dengan cara di tim dan di dinyun-dimasak menggunakan kuali.Â
Lembaran-lembaran daun pisang terhampar panjang sebagai alas segala kudapan. Macam ayam panggang, alap-alap goreng, celeng gurih, penyu berkuah santan, trenggiling asap, itik kering, kambing(wdus) tanpa ekor berbumbu pedas, kera(wrai) goreng, kalong(kaluang)kering, lebah, ikan, kodok, tikus, anjing, sayuran mentah(dudutan, rumwahrumwah), aneka buah, tambul, dwadwal(dodol) serta ratusan tempayan tuak.Â
Bau rempah-rempah yang keluar dari beberapa hidangan membikin otak mengirim sinyal ke mulut tetamu, berdecak. Keinginan segera menyantap hidangan menghasilkan mulut basah oleh liur kelaparan.Â
Kehebatan juru masak kerajaan Medang telah kondang sehingga beberapa pengembara dari negeri seberang lautan sering membawa bumbu asli negeri mereka agar dicoba padukan dalam mengolah beberapa masakan. Jintan yang berasal dari Timur Tengah ternyata sudah masuk ke wilayah Mataram Kuno, pun ketumbar hingga kuma-kuma(saffron) dari Mediterania.
Bumbu asli bumi Mataram Kuno menghasilkan kolaborasi unik didalam olahan daging hadangan(kerbau): jahe, kemukus, laos, kunyit, calamus, bawang, kapulaga, merica. Â
Â
Rakyat jelata menunggu sisa-sisa makanan yang tidak dihabiskan. Karena hanya lewat hajatan-hajatan itu mereka bisa menikmati daging yang melimpah tumpah. Berkah dari Maharaja selalu diharapkan setiap saat. Sehari-hari mereka hanya mampu makan ular, semut, cacing, semua jenis serangga yang sebentar dipanaskan diatas kobaran api kemudian disantap.Â
Dalam aturan kerajaan, hanya lingkungan raja atau berdarah biru yang boleh menyantap daging atau masakan tertentu.
Pun malam harinya. Lampu teplok menerangi sudut-sudut pelataran dimana hajatan itu digelar. Oncor berbahan bakar minyak kelapa berpendar diantara pengunjung pesta raja. Hiburan rakyat berupa dongeng-dongeng tentang dewa-dewa langit mendapat jatah untuk diperdengarkan. Semua bersuka cita.
Tetabuhan genderang bambu, gong tembaga dan bunyi tiupan tempurung kelapa bernada guyub rukun mengaliri udara dikawasan pesta agung.Â
Rambut Pramodhawardhani tergerai hitam pekat berbau wangi dupa. Sehelai kain hijau bercorak bebungaan melilit dipinggangnya. Bagian atas dibiarkan terbuka hingga payudaranya menjuntai lemah. Manik-manik emas membentuk mahkota terpasang dikepala. Kaki dan tangan dibalut gelang emas dan perak. Tanpa alas kaki menapaki setiap jengkal tanah.
Dua tandu disiapkan. Besar dan megah berbentuk garuda dan naga wilmana. Masing-masing ditumpangi mempelai pria dan wanita. Prosesi arak-arakan berjalan ramai mengelilingi alun-alun kerajaan dengan hiasan bebungaan dipinggiran. Ornamen-ornamen dari anyaman rotan padu padan bambu membentuk aneka binatang raksasa. Â
Tempik sorak  berkumandang sepanjang putaran berlangsung. Panggung dan tenda didirikan untuk menampilkan gelaran seni pertunjukan. Bebunyian mengudara timbul dari genta, sangkha, tambor.
Usai diarak, tandu diarahkan menuju persandingan agung.Â
Di atas pelaminan, sang pengantin mengumbar senyum keberkahan. Ucapan selamat membumbung tinggi berdesakkan. Gelak tawa berkelindan disela-sela obrolan para tamu undangan. Walaupun ada juga kaum penyusup yang hanya ingin melihat wajah sang pengantin serta mencuri sedikit hidangan mewah kaum bangsawan.Â
Selama tujuh hari hajatan digelar bunga-bunga diganti setiap waktu agar menampilkan hasrat kesegaran. Mawar, Bakung gunung, Kamboja, Lily menghiasi dan menebarkan keharuman berkadar tinggi sehati.
Hingga dipenghujung hari ke tujuh semua merapal doa yang dipimpin oleh Sugata dan pendeta Syiwa bergantian ucap mantra mirip dengungan lebah.
Dupa dan kemenyan menciptakan suasana sakral. Hasil bakarannya menari-nari diantara ruang udara tanpa sekat.Â
Akhirnya pesta memang telah usai, tapi kesibukan dari para punggawa belum memberi tanda akan surut. Wajah sumringah nampak diparas mereka. Ikut menjadi bagian dalam menyemarakkan pesta pernikahan  Pramodhawardhani dengan Rakai Pikatan adalah anugerah tersendiri. Hanya punggawa terpilih yang dilibatkan dalam acara agung itu.Â
Balaputradewa menyaksikan semuanya dengan masygul. Rencananya gagal. Kegundahan hatinya merembet berubah lara.
Berhasil dengan skenarionya, Samarattungga lega. Momentum yang ditunggu terukir senyap. Ia merasa tenang andai sewaktu-waktu pamit untuk lengser keprabon mandeg pandita meninggalkan segala hal yang menyangkut duniawi. Titah serta nasehat diberikan sebagai pesan terakhir kepada dua insan pengantin baru. Dikemudian masa ia mengasingkan diri bertapa dan kemudian moksa.
Sementara itu, Rakai Pikatan akhirnya berhasil mengendalikan roda pemerintahan kerajaan  Mataram kuno. Tidak mudah memang, karena percik-percik kecurigaan dirasakan masih hinggap pada sekelompok rakyat.
Balaputradewa akhirnya menyadari kenyataan atas takdirnya, tahta kerajaan Mataram Kuno gagal diraihnya. Singkat cerita laju raganya diarahkan ke Swarnadwipa(Sumatera)menuju ke Sriwijaya, asal ibunya. Disana nantinya, ia menjadi raja Sriwijaya dengan reputasi gemilang.Â
Dibawah kendali mereka berdua-sejatinya Rakai Pikatan lah-yang memegang penuh roda pemerintahan, wangsa Sanjaya menuju kebangkitan.Â
Sebagai bentuk cinta pada sang permaisuri, Rakai Pikatan mendirikan candi Plaosan dengan sentuhan ciri Hindu. Ahli pahat didatangkan dari sekitaran kerajaan yang mempunyai level mumpuni bahkan dari tanah Hindustan. Inilah bentuk apresiasi buat rakyat di kerajaan Medang yang rukun walau beda aliran kepercayaan. Kedamaian menjadi tiang bagi keamanan kerajaan.Â
Rakai Pikatan melanjutkan watak mertuanya dalam menjalankan pemerintah. Seni dan budaya lebih mendapat tempat. Candi-candi didirikan dibeberapa wilayah. Tercatat, puluhan candi didirikan, candi Prambanan, Sojiwan, Sambisari, bahkan Bhumisambarabudhara atau candi Borobudur peresmiannya diketok oleh Pramodhawardhani. Â
Benih perkawinan keduanya membuahkan beberapa keturunan, diantaranya Rakai Kayuwangi. Anak bungsu Pramodhawardhani ini menjadi kelanjutan dari dua wangsa. Â
Bentuk agraris kerajaan Medang-karena bentang alam yang tertutup dan tidak mempunyai kekuatan ekonomi lain-membuat Medang kesulitan mengembangkan potensi. Ini disadari para raja yang pernah memerintah Mataram Kuno.
Kalau dibiarkan terus menerus tanpa teroboson holistik akan membahayakan eksistensi Medang.
Di era mpu Sindok menjadi raja, akhirnya Mataram Kuno dipindahkan ke wilayah timur melompati beberapa gunung. Faktor serangan berkali-kali oleh Sriwijaya serta letusan gunung merapi menjadi sebab musabab. Letusan gunung Merapi merupakan pralaya(hancurnya dunia di masa kaliyuga).Â
Balaputradewa yang berhasil menjadi raja di Sriwijaya melaksanakan terornya. Beberapa kali bala pasukannya menusuk jantung kekuasaan Mataram Kuno tapi selalu gagal. Dendam masih membara, benci kepati-pati.
Mpu Sindok menitahkan perpindahan wilayah. Rakyat mempersiapkan bekal. Migrasi besar-besaran siap dijalankan. Sebuah perjalanan panjang penuh halang rintang menganga didepan mata. Dibutuhkan tekad serta niat tulus. Semua itu demi tetap tegaknya Mataram kuno.
Aku merasa ditempeleng. Geragapan. Azan Duhur  menyentak bertalu-talu, menjambak kesadaranku. Waktunya meninggalkan Plaosan. Berharap lebih lama lagi mencumbuimu bukan hal baik. Karena sholat Duhur harus aku tunaikan. Kau mencoba menghasut agar aku menempel terus dibadanmu. Aku tetap beranjak pergi.
"Yakin mau pulang? Pikirkan sekali lagi"
"Sudah aku putuskan"
"Kamu belum melihat yang di kidul(selatan)"
"Gampang, nanti usai duhuran aku mampir"
Usai sholat dimasjid Darussalam satu area dengan Madrasah Ibtidaiyah Ma'arif, aku tunaikan janji melihat candi Plaosan kidul. Dari luar pagar terlihat reruntuhan batu menumpuk. Ditempat ini, yang masih utuh candi perwara, sedang candi induk tak berbentuk. Candi ini sedang mengalami tahap pemugaran.
Melihat kondisi begini aku enggan mendekat. Disamping panas yang belum surut, kekuatiran akan kulit jadi hitam menjadi pertimbangan. Karena untuk memulihkan butuh waktu berbulan-bulan.Â
Dengan mengambil tempat teduh, dari jauh mataku menyusuri lekukan batu. Aku membayangkan suasana era Mataram kuno. Kehidupan sungguh damai dengan alam asri masih mendominasi. Tegur sapa jadi jalinan suci diantara sosialisasi. Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja(Kekayaan alam yang sangat melimpah dengan tanah yang sangat subur, kondisi wilayah yang tertib, sejahtera dan berkecukupan segala sesuatunya) bisa menjadi gambaran masa ketika Rakai Pikatan berkuasa atas wilayah ini.
Sendau gurau tertangkap di cuping telinga. Asalnya dari sekumpulan keluarga kecil yang menempati sudut diluar candi Plaosan kidul. Sungguh menyita perhatianku. Meluangkan waktu untuk berlibur cara ampuh menguatkan hubungan antar anggota keluarga. Betapa bahagianya.
Segera aku tendang batang starter. Mesin menyala lembut. Â Tanpa perlu cing cong aku hela motor meninggalkan debu, menangkup sinar bahagia sisa perhelatan Rakai Pikatan.[**]
* Catatan:Â
Tulisan ini dibuat sebelum wabah covid meraja.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H