Namun, banyak kasak-kusuk memecah kehangatan langit kerajaan. Sebuah isu meledak ditengah kegembiraan rakyat. Bungkusan-bungkusan dilemparkan agar rakyat tahu bahwa ada akal bulus dibalik perkawinan tersebut. Â Pernikahan kedua makhluk dewa beda jenis adalah pernikahan politik. Bentuk kesepakatan-kesepakatan tertentu meraupi hajatan sakral.
Samarattungga gerah dengan rongrongan adik kandungnya, Balaputradewa, yang meminta alih kekuasaan Mataram Kuno diturunkan ke dirinya.Â
"Kangmas Prabu sadarkan? Bila turun  tahta, selanjutnya saya yang memimpin? Pramodhawardhani hanyalah perempuan belia. Tidak pantas hal besar diserahkan padanya. Rakyat akan mencibir"
"Adikku, bersabarlah", ucap Samarattungga  mencoba menenangkan.Â
"Sabar? Sebatas itukah perbendaharaan kata  yang Kangmas Prabu punyai?",Â
Balaputradewa merasa cemas akan nasib dirinya. Sebagai adik kandung, dia tidak mempunyai jabatan politik strategis di kerajaan Medang. Hanya kehormatan sebagai bangsawanlah yang membuat dirinya masih bisa tampil didepan punggawa serta kawula alit.Â
"Luasnya kerajaan Medang menuntut seorang pemimpin agar memaksimalkan kekuatan, apapun itu. Sedangkan selama ini kita hanya mengandalkan pertanian. Lainnya tidak! Armada laut belum mumpuni bahkan bisa dikatakan lemah. Jarak antara pelabuhan Bergota dengan ibukota kerajaan terlalu jauh mempersulit koordinasi. Itupun masih diperparah dengan pendangkalan serta abrasi pantai yang membuat jalur sempit. Kapal-kapal tidak bisa masuk hingga ke pedalaman. Bisa ditebak, perniagaan Medang mati. Ekspor hasil pertanian ke negeri seberang tersendat bahkan mandek"
"Aku sedang membenahinya", potong Samarattungga.
"Sedang? Kenyataannya tidak ada rencana apapun. Harusnya pengerukan sungai segera dilakukan. Semakin lama ditunda, lumpur kian mencengkeram aliran. Kalau adinda yang memimpin bisa dipastikan semua akan terselesaikan", sanggah Balaputradewa. "Kangmas prabu selama ini hanya fokus pada seni dan budaya. Itu saja. Lihat kondisi rakyat. Apa tidak malu bila utusan dari negeri seberang mendapati rakyat hidup apa adanya? Disuruh nerimo?"
"Tidak ada utusan yang mempermasalahkan kondisi rakyatku"
"Sayang, kangmas prabu dikelilingi benteng kebohongan, sehingga kritik atau komentar para musafir tak pernah sampai. Silahkan kalau kangmas tidak percaya. Tapi Ma Huan, pengembara dari negeri kuning secara dekat mengutarakan pengamatannya mengenai kondisi kehidupan rakyat Medang", kata Balaputradewa meyakinkan, "Kawula alit menanggung beban berat karena mesti dilibatkan dalam membangun monumen-monumen keagamaan.Â