Belum jam 12 siang tapi seringai matahari begitu sadis. Merajam segala yang ada. Kulitku terasa panas bak masuk panggangan kue. Mencari sesobek tempat berteduh sembari mengamati dirimu yang melambaikan hasrat agar aku mendekat.
Pengunjung berdatangan memasuki wilayah kekuasaanmu. Bergaya anteng kitiran dikarenakan sibuk menghalau kegerahan.
Kau tidak berbau. Sosokmu berdiri dengan anggun tanpa riasan, apa adanya. Hitam abu-abu warna tubuhmu. Sungguh eksotis. Â
Ragamu begitu kokoh diusia 1200 tahun? Bukankan begitu? Seorang De Carparis-filolog Belanda- memperkirakan kau dibangun pada abad 9 M dikisaran tahun 825-850 Masehi. Sungguh berkerak...
Aku jadi tahu, betapa dijaman itu toleransi begitu menyala. Penganut agama Hindu dan Budha bisa hidup berdampingan, bahkan saling mendukung. Plaosan, dirimu dibangun oleh kesepakatan suami istri yang beda kepercayaan. Pramodhawardhani beragama Budha sedang Rakai Pikatan beragama Hindu. Hebat! Jadi jangan heran kalau candi Plaosan merupakan candi Budha tapi bentuk bangunannya padu padan dengan corak Hindu.Â
Mengelilingi area dimana kamu berdiri membutuhkan keikhlasan dan niat. Bisa kamu lihat, panas yang menyengat membuat beberapa pengunjung sambat, "Aduh panasnya minta ampun..."
"Sewa payung saja, mbak"
"Kenapa tadi nggak bawa topi? Nyesel deh"
Aku juga mengalami nasib sama. Baju kotak-kotak lengan panjang aku gunakan menutup kepala selama melakukan pergerakan.Â
Tangga batu dibangunan induk mempersilahkan kakiku menaikinya. Tidak tinggi. Ada hiasan kepala naga dipangkalnya. Pahatan bunga dan sulur menghiasi bingkai pintu. Sedangkan kepala Kala bertengger diatas ambang pintu tanpa rahang bawah. Aku masuk kedalam. Suasana gelap.Â
Seberkas cahaya berhasil menerobos membantuku mengamati isinya. Aku mendapati 3 ruangan didalam dengan beberapa patung duduk hening. Tapi tidak sempurna. Karena ada yang tanpa kepala atau tangannya putus. Bau basah udara lembab menampar hidungku. Terhirup hingga ke otak.Â
Suasana mistis tertangkap jika pengunjung mau berlama-lama didalam. Tapi aku punya keyakinan, kalau pengunjung nggak akan berani lama-lama didalam bangunan induk, apalagi sendirian. Seperti ada yang mengamati. Apa hanya perasaanku saja?
Diluar, hiruk pikuk kedatangan pengunjung menciptakan kegairahan sendiri. Anak-anak kecil berlarian muter-muter mirip gasing, berteriak kencang diakhiri jeritan nakal. Gawai dikeluarkan untuk jepret sana jepret sini.Â