Maka, Walian bertanya kepada Kepala Prajurit Waraney, Teterusan.
“Hai Teterusan. Selaku Kepala Prajurit. Peristiwa subuh tadi apakah sudah sepengetahuanmu? Sehingga perlakuan tidak adil dilakukan anak buahmu kepada Dayat. Dimana anda berada subuh tadi, hai Teterusan?”
Teterusan tampak linglung disorot pertanyaan Walian.
“eeeehhh, sebetulnya, aku,........”
“sebetulnya apa? Tidak ada yang betul tadi subuh. Sebenarnya kau tahu atau tidak?” Bentak Walian.
“Walian, pada saat kejadian, sebenarnya aku bersama Tonaas di kediaman Tonaas. Dan tindakan prajurit seizin perintah dari aku.”
Mendengar perkataan Teterusan, Walian mendengus bingung kenapa ada semacam kong kalingkong antara Tonaas dan Teterusan. Sejenak ia diam mencoba menyusun hikmat. Melangkah ke sudut kiri dan kanan. Sesekali mulutnya terbata sendiri seolah mengucap doa meminta hikmat pada Yang Maha Kuasa. Pikirnya meliku. Bisa jadi ada permufakatan jahat antara Teterusan dan Tonaas, sehingga mau tak mau, keterangan harus diambil dari Tonaas agar berimbang.
“Teterusan, Tonaas, demi untuk menegakkan hukum adat di wilayah kita, sudilah kiranya menjawab pertanyaan berikutnya.”
Tonaas dan Teterusan berdiri disaksikan sepasang mata bala rakyat.
“apa yang kalian bahas selama subuh, Tonaas?”
Tonaas menjawab,