Dayat Wanto. Dayat Wanto. Teriak kencang anak kecil. Membuat riuh upacara. Mereka pun tahu nama anak tersebut, Dayat Wanto.
Walian pun segera memulai interogasi.
“sebab apa kamu disekap begini, Dayat? Dan masih tersisa bekas lumuran darah entah siapa korban yang kau habisi?
Dayat pun angkat bicara. Terselip suara parau dan menunggu keadilan terjadi, maka ia coba tegak berdiri.
“aku, sejak mentari subuh mau terbit, hampir luluh diserbu bala prajurit Waraney, bawahan, suruhan dari Tonaas. Kronologisnya mencekam. Sebab mereka pun membalut mataku sampai terpejam dalam-dalam, tak tahu dibawa kemana. Ke negeri antah-berantah atau ke pulau kiamat, mana aku tahu. Dalam perjalanan, tubuh kecilku ini, habis diberondong cacian sekaligus pukulan. Ya. Pukulan yang tak pantas diterima seorang anak kecil seperti aku. Membuat tubuhku remuk. Gurih seperti kerupuk.”
Pleidoi (pembelaan) Dayat sejenak dihentikan Walian.
“Dayat, pada waktu kau diseret para Waraney, apakah tidak ada satu pun penduduk membantu kamu, melerai kericuhan subuh itu?”
“Walian, sungguh tidak ada satu pun penduduk beringsut keluar dari tidur malam. Tak ada. Kecuali gemeretak rintik hujan yang mulai turun. Otomatis yang tidur tambah pulas oleh rintik hujan yang membius.”
“Dayat, terus, tidak ada lolongankah anjing-anjing subuh itu?”
“Walian, sungguh tidak ada satu pun anjing keliaran keluar mengusik rentet perjalanan siksa subuh itu. Tidak ada. Aku pun heran. Apakah anjing-anjing tertidur pulas sama tuannya. Sungguh, subuh itu kugapai pasrah. Terus hidup atau mati sekarang.” Keluh Dayat.
Sang Walian, pemimpin upacara adat, menarik kesimpulan, ada yang tidak beres dilakukan prajurit Waraney kepada Dayat. Yang namanya kebenaran tidak ada yang bisa menahan, mengurung, dan menguburnya. Sebab sekali kelak tanpa sengaja ia cumbui semua pencari kebenaran siapapun dia termasuk Dayat dan penduduk sekitar.