Mohon tunggu...
Rolly Toreh
Rolly Toreh Mohon Tunggu... Penulis -

merenung di atas gunung, terkucil dalam pensil, bergerak seperti ombak

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fiksi Penggemar RTC] Adat Mati Akibat Selingkuh

10 September 2015   21:50 Diperbarui: 10 September 2015   21:50 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena banyak orang semakin mendekat maka kerumunan semakin padat merayap. Mereka menyusup tapi tak pernah maju. Masih tetap saja bergerak di tempatnya sendiri-sendiri. Syak wasangka jadi titah masing-masing untuk bercerita dan sekaligus mendongeng. Gosip sabung menyabung terjadi tidak lantaran berita cerai artis muda tadi pagi di televisi tapi berita panas dibawah panas mentari siang tentang anak piatu di depan mereka. Yang membuat cerita tambah asyik pastilah dengan corak cerita masing-masing tentang rencana membuka usaha kuliner, cerita tentang merk mobil keluaran terbaru, antisipasi musim pancaroba terhadap hasil pertanian, dan tentu mengupas berita politik terkini. Entah siapa yang jadi narasumber dan siapa yang jadi penonton. Rata-rata semua cerita ingin didengar. Jika tak didengar mereka akan menganggap kita itu sombong, egois, dan bodoh. Cerita rohaniwan yang selingkuh bulan lalu saja masih jadi trending topic hangat dan menggiurkan untuk dibahas. Mereka bilang begini, “Di mimbar, setiap kali berkhotbah ia selalu berkata jangan selingkuh, perteguh kesetiaan, dan cintai pasangan anda. Ujung-ujungnya dusta belaka. Kalian tahu selingkuhannya, adik ponakan saya yang punya suami rohaniwan sama dan punya dua anak yang sudah dewasa.” Aku terkejut dan membatin, mengapa bisa seteledor itu. Apakah godaan itu telah menjadi surga kecil baginya dan penjara bagi moralitasnya? Syukurlah mereka yang mungkin sebagian dari jemaatnya masih terbilang kaku bertindak main hakim sendiri dan memperuncing konflik dengan cara sadis atau menyabotase setiap acara ibadah. “Kami sadar, Tuhan itu tidak tidur. Tuhan itu tidak sibuk. Tuhan itu tidak pura-pura buta. Tuhan itu punya mata dan telinga sama dengan kami. Tentu Ia Maha Tahu dengan perbuatan pimpinan kami. Biarlah Ia menghukumnya lebih sadis dari cerita-cerita kami ini.” Wow. Ungkapan mereka tentu jerit hati kecil mereka. Ibu-ibu itu sadar, sebagai manusia biasa tentulah tidak boleh menghakimi, sebab agama melarang untuk main hakim sendiri seperti hukum adat juga melarang hal yang sama. Namun, sekalipun tanpa daya apapun mereka tetap berharap dapat menyadikkan (luruskan) kelakuan pimpinan sableng itu agar jemaat tidak mudah tercemar.

Mendengar cerita mereka, heran dan aneh sama-sama berjumpalitan. Dari biadabnya cerita seorang pimpinan agama mereka sampai dengan kesendirian anak di teras depan pendopo, apakah punya ketersinggungan persamaan cerita yang jelas ataukah tidak sama sekali. Mengapa terlalu takut mereka mendekat membantu anak itu sampai berjam-jam duduk dan berdiri menonton keadaan anak itu tanpa langsung memberi pertolongan yang tepat dan berguna? Tentu ini polemik. Ini kejanggalan. Berkaitan dengan nalar itu maka aku pun lantas mencari informasi sebanyak-banyaknya, siapa yang paling kenal latar belakang kehidupan anak tersebut.

Walaupun sikut menyikut, sepertinya aku harus menyisir semua orang untuk jadi narasumber dan setelah itu memohon waktu sejenak untuk terpojok dan tersisih dari kerumunan. Aku sadar, semua jawaban untuk menghalau rasa jenuh dan bingung atas peristiwa siang bolong itu untuk memperolehnya memang sangat sulit karena pada ujungnya semuanya menjawab gamblang “Tidak tahu”. Cuma menggumam, dan berisik dalam diam. Cara mereka menjawab hampir tidak ada bedanya dengan seonggok patung yang tidak mampu memberi jawaban rasional dan benar. Begitu juga dengan jawaban dua orang polisi yang menangkap aku tadi, jawab mereka santai dan tak berisi, “Anda tak perlu bertanya pada kami. Itu bukan ranah kami.” Mereka sesumbar silakan bertanya saja pada tetua adat karena ini adalah wilayah hukum adat bukan hukum negara. Aku bertanya siapa tetua adat disini, mereka balik menjawab, “Kelak anda pasti bertemu.” Ahhh. Ini kemustahilan dalam dunia yang serba majemuk. Masakkan hanya dengan jawaban yang melansir kebingungan itu aku pasti bertemu? Aneh. Pernyataan yang tidak mustajab (manjur) dan mustahil. Lebih baik tepekur dan duduk sementara dibawah terik mentari mudah-mudahan menambah inspirasi otak semakin bersih, waras dan cerdas.

Dari kejauhan tampak beringas anak itu. Memegang kendali 2 macam pisau, sabit ukuran besar, dan pisau stainless steel panjangnya 30 cm. Pakaiannya koyak moyak bercampur darah. Matanya tajam menatap ke depan. Dan mulut yang tegang tidak pernah mengap-mengap. Tapi kedua kakinya di bebat dengan rantai besi yang tiarap. Ia pun tetap menolak makan yang disodorkan oleh lelaki berseragam merah, seragam yang mereka bilang pakaian adat.

Sore hari pukul 15.00, bunyi tambur membelah langit. Suara rakyat membaur semakin pekat, dimana mereka mulai mengatur barisan, tidak lagi tercerai berai. Rapinya barisan rakyat itu persis khidmatnya upacara bendera 17 Agustus saat Sang Saka Merah Putih dikibarkan. Semuanya tampak menunggu arahan selanjutnya dari pemimpin upacara adat.

Di Minahasa, tambur adalah simbol digelarnya setiap upacara adat termasuk tarian penjemputan tamu, tarian Kabasaran, tarian Maengket, tarian syukuran panen, upacara pengadilan adat, dan upacara rutin setiap hari Minggu.

Bunyi tambur semakin mendekat telinga. Dan benar upacara segera dimulai sebab sudah tampak barisan punggawa adat memasuki barisan rakyat yang tak sabar menunggu sejak tadi siang. Ada beberapa orang lelaki bertubuh tinggi besar dan kekar, berseragam mayoritas merah, penutup kepalanya bertudung pelatuk burung Maleo atau Cendrawasih, dihiasi beberapa pasang bulu ayam petarung, rangka tengkorak kecil melingkar di dada, dan rakyat bilang: 

“mereka itu Pasukan Kawasaran Waraney atau pasukan perang yang selalu mengawal pemimpin besar mereka yaitu Tonaas. Jumlah 12 orang sudah termasuk komandan pasukan Pa’impulu’an ne Kawasaran dan jenderal perang Teterusan. Barisan belakang ada Tonaas, dan seorang Walian sebagai penghubung tuhan dan manusia atau pimpinan agama kepercayaan mereka. Kawasaran artinya tarian perang. Asal katanya ‘Kawasal ni Sarian’ berarti menemani dan mengikuti gerak tari. Dan asal kata ‘Sarian” berarti pemimpin perang. Tetapi lama kelamaan kata Kawasaran berubah dialeknya menjadi Kabasaran.”

Wajahku memelas dan bertanya dalam hati, pasukan sebanyak itu menghadapi seorang anak kecil, bocah ingusan, yang terseret arus keadaan, yang di paksa belenggu, yang tidak tahu sebabnya apa dia ketiban siksa seperti itu? Sebuah ironi permainan sandiwara. Sedangkan wajah prajurit perang dan pemimpin besar terlalu garang untuk ukuran anak kecil, ditambah serangkaian atribut perang, pedang samurai panjangnya setengah meter, dan tombak trisula, sekali lagi terlalu garang dan kejam untuk ukuran anak kecil. Walau demikian tidak tertutup kemungkinan dalam lingkup adat mereka sudah diatur nenek moyang mereka harus dilakukan ritual dan adegan sakral semacam itu. Aku tetaplah menunggu babak selanjutnya dari sandiwara anak kecil yang menunggu keputusan akhir dari Tonaas dan Walian.

Rerenge’en (bel yang terbuat dari kuningan) bergemerincing cepat memekak gendang telinga. Bunyi tambur keras membuat ribut suasana, tanda upacara segera dimulai.

Yang mereka bilang si Walian, pemimpin kepercayaan, berbicara lantang, sebagai tanda dimulainya upacara pengadilan adat. “Apo Amang Kasuruan Wangko ni memak tana wo langit, paka kamang kamangen nai kami wo setoyaang wo sepoyo-poyo ami andoong anio, wo we an nai o wak sama wo pengeta’uan wo ate rondor wo lenas asi endo anio wo endo maai” (Artinya: Tuhan Allah Yang Maha Besar yang menciptakan langit dan bumi, berikan berkat bagi kami sampai pada anak-anak dan cucu-cucu yang ada di negeri ini serta berikanlah tubuh yang sehat, pengetahuan, hati yang jujur, dan lemah lembut, pada masa kini dan masa yang akan datang).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun