“Selamat tahun baru 2016, bos! Semoga bos, ibu Lana, dan Mara sukses selalu, sehat selalu bos, makin lancar rejekinya. Karena kalau rejeki bos, lancar, rejeki kami anak-anak buahmu ini juga lancar!”
“Iya, iya, terima kasih, San. Pelan-pelan sedikit coba kalau kau ngomong. Jangan ditunjukkan sekali gaya udikmu saat bicara dengan bosmu.”
Hasan terbahak.
“Maklum bos, ini kondisi di sekitar proyek sedang lagi gaduh-gaduhnya.”
“Kenapa? Di proyek ada pesta tahun baru juga? Ada pesta kembang api juga? Kan sudah kularang dari jauh-jauh hari. Proyek pembebasan lahan itu harus segera diselesaikan karena jatuh temponya sudah dekat, maka dari itu janganlah kalian bersantai-santai apalagi pesta kembang api.”
“Oh, tenang Bos, kegaduhan bukan dari pesta kembang api.”
“Lalu?”
“Warga yang awalnya sudah kooperatif mau memberikan lahan tempat tinggalnya untuk dibebaskan, tiba-tiba berubah pikiran. Mereka melawan bos. Kami tawarkan uang lebih tinggi juga tidak mau. Katanya, itu lahan leluhur mereka, tidak akan mereka serahkan.”
“Wah gawat ini, jadi sekarang sedang ribut, San?”
“Tidak lagi Bos, santai, jangan panik. Sudah ditawarkan jalan baik-baik, dengan uang, mereka tidak mau. Ya terpaksa kukerahkan jalan kekerasan. Bantai habis semua warga.”
Aku terhenyak. Semudah itukah Hasan memutuskan untuk bantai habis semua warga? Apakah sudah salah langkah aku mempercayai Hasan yang kepala preman itu jadi tangan kananku dalam mengurusi proyek pembebasan lahan ini?