Mohon tunggu...
Rokhmin Dahuri
Rokhmin Dahuri Mohon Tunggu... -

Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI)\r\nMenteri Kelautan dan Perikanan tahun 2001-2004\r\nGuru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

One Island One Company

30 Januari 2017   09:49 Diperbarui: 31 Januari 2017   09:29 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akan tetapi, di balik kerja keras Pemerintah untuk membangun pulau-pulau kecil, mentransformasi pulau-pulau kecil sebagai wilayah yang tertinggal, kurang menarik untuk dihuni, dan beban pembangunan (cost center) yang hanya menguras APBN/APBD menjadi daerah yang lebih maju, pusat pertumbuhan ekonomi baru (new centers of economic growth), indah, nyaman, dan atraktif.  Jujur, perkembangan (progress) nya boleh dibilang sangat lambat.  Betapa tidak, sampai sekarang baru 6.000 pulau (34%) yang sudah berpenghuni, dan dari tahun 2000 sampai sekarang, baru 54 pulau kecil yang telah dikembangkan oleh swasta yang sebagian besar untuk pariwisata bahari, dan sebagian kecil untuk perkebunan, pertambangan, dan penampungan (storage) minyak bumi.  Dari 54 pulau itu, 33 pulau investornya dari luar negeri, dan investor di 21 pulau lainnya dari dalam negeri (nasional).

Sebenarnya ketika KKP mengeluarkan kebijakan diizinkannya investor nasional maupun global (asing) untuk berinvestasi dan mengembangkan ekonomi pulau-pulau kecil di Indonesia pada medio 2001, sejumlah investor dari Kuwait, Qatar, Jepang, dan Taiwan menyatakan minatnya.  Sayang, saat itu beberapa LSM dan tokoh nasional, terutama Pak Amien Rais selaku Ketua MPR menolak kebijakan tersebut dan yang heboh di media seolah-olah mau menyewakan atau menggadaikan keadulatan wilayah pulau-pulau kecil kepada asing.  Akibatnya, sejumlah investor asing dan nasional yang bonafide mengurungkan minat investasinya.  Sebab, investor dan pengusaha dari manapun asalnya menghendaki konsistensi kebijakan pemerintah, kepastian hukum, stabilitas politik, dan iklim investasi yang kondusif, sebelum mereka berinvestasi dan mengembangkan usaha di suatu negara.

Rupanya reaksi sejumlah LSM dan tokoh masyarakat serupa terkait optimalisasi pemanfaatan pulau-pulau kecil yang terjadi sekitar 16 tahun lalu, sekarang terulang kembali ketika sekitar 3 minggu lalu Menko Maritim dan Menteri Kelautan dan Perikanan mengungkapkan rencana kebijakannya untuk mengundang pihak asing berinvestasi dan mengembangkan usaha di pulau-pulau kecil Indonesia.  Reaksi negatif itu muncul, terutama gara-gara pernyataan Menko Maritim yang akan mengizinkan investor asing untuk memberikan nama pulau dimana mereka kelak berinvestasi.  Padahal baik menurut undang-undang RI maupun ketentuan hukum internasional bahwa yang berhak memberikan nama pulau adalah pemerintah negara yang memiliki pulau termaksud.  Saya yakin pernyataan Menko Maritim itu hanya ’a slip of the tounge’ atau wartawannya yang keliru mensitir.

Urgensi pembangunan pulau kecil

Sedikitnya ada … alasan kita bangsa Indonesia perlu mendayagunakan potensi sumber daya wilayah pulau-pulau kecil.  Pertama adalah bahwa dari sekitar 17.504 pulau yang kita miliki, baru sekitar 6.000 pulau yang bepenghuni dan dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan pembangunan.  Itupun pola dan cara-cara pembangunannya sebagian besar kurang produktif dan inovatif serta tidak mengikuti prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).  Sehingga, hampir semua pulau kecil yang berpenghuni dan/atau sudah ada kegiatan pembangunan (ekonomi) nya tetap tidak maju, kebanyakan penduduknya hidup miskin, dan kualitas lingkungan hidupnya buruk.  

Kebanyakan penduduk yang menghuni pulau-pulau kecil dari Sabang sampai Merauke, dan dari Miangas sampai Rote adalah para lansia, anak-anak, dan kelompok usia kerja yang kurang terdidik, memiliki keterampilan, dan produktif.  Orang-orang pintar, berpendidikan tinggi, ahli, dan produktif yang terlahir di pulau kecil, seperti Prof. Adrianus Moy, Prof, Herman Johanes, Prof. Laode Kamaludin, Dr. Yasona Laoly, dan Ir. Saleh Husen kebanyakan hijrah ke Jakarta, kota-kota besar lainnya, dan P. Jawa.  Padahal, potensi pembangunan (ekonomi) yang terdapat di pulau-pulau kecil luar biasa besar. 

Kedua, dengan membangun pulau-pulau kecil secara produktif, inovatif, inklusif, dan ramah lingkungan. Berarti kita mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi (centers of economic growth) baru di luar P. Jawa dan tersebar secara proporsional di seluruh wilayah NKRI.  Jutaan lapangan kerja baru bakal tersedia, dan kesejahteraan masyarakat pun meningkat.  Bila kita mampu membangun rata-rata 100 pulau baru dalam satu tahun, maka pertumbuhan ekonomi nasional yang sejak 2015 hanya sekitar 5 persen per tahun diperkirakan bisa meningkat sampai 7 – 8 persen per tahun.  

Dengan demikian, permasalahan utama dan khronis bangsa berupa tingginya pengangguran dan kemiskinan serta rendahnya daya saing dan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) bakal dapat diatasi.  Demikian juga halnya dengan masalah disparitas pembangunan antar wilayah yang sangat timpang, khususnya Jawa vs luar jawa, dan kota vs desa, secara otomatis akan terkoreksi.  Sebab, dengan tersebarnya pusa-pusat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan baru di pulau-pulau kecil diyakini bakal mengurangi laju urbanisasi dari luar Jawa  ke Jawa. 

Ketiga, dengan membangun pulau-pulau kecil, terutama 111 pulau terluar (terdepan) secara produktif, inovatif, inklusif, dan ramah lingkungan sebagai pusat pertumbuhan dan kesejahteraan baru secara berkelanjutan berarti kita membangun semacam sabuk kemakmuran/kesejahteraan (prosperity belt).  Wilayah-wilayah pulau-pulau kecil terdepan yang maju dan makmur secara otomatis akan menjadi semacam sabuk pengaman (security belt) yang turut memperkokoh dan menegakkan kedaulatan NKRI.

Keempat, pemanfaatan pulau-pulau kecil oleh investor asing maupun nasional, seperti untuk pariwisata, pertambangan, perkebunan, perikanan, dan penampungan minyak bumi sejak masa Orde Baru sampai sebelum efektifnya kinerja KKP (tahun 2001) kecil sekali memberikan manfaat bagi negara dan masyarakat lokal. Dan,  yang lebih mengkhawatirkan acap kali menimbulkan kerusakan lingkungan, memarginalkan masyarakat lokal, dan megancam kedaulatan NKRI.

Oleh sebab itu, kita harus menempatkan kepentingan nasional (national interest) dan kedaulatan NKRI diatas segalanya, manakala kita akan mendayagunakan sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, terutama ketika melibatkan investor asing.  Kita harus berpedoman pada UU No.27/2007 Jo. UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan peraturan-perundangan RI lainnya yang relevan di dalam membangun dan mengundang investor untuk pulau-pulau kecil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun