Mohon tunggu...
Rokhmin Dahuri
Rokhmin Dahuri Mohon Tunggu... -

Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI)\r\nMenteri Kelautan dan Perikanan tahun 2001-2004\r\nGuru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

One Island One Company

30 Januari 2017   09:49 Diperbarui: 31 Januari 2017   09:29 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pembangunan Pulau Untuk Memacu Daya Saing dan Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas Secara Berkelanjutan

Oleh

Prof.Dr.Ir. Rokhmin Dahuri, MS

Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Kelautan-IPB

Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 17.504 buah.  Pilipina dengan jumah pulau 7.100 buah menempati peringkat-2 terbesar di dunia (Arroyo, 2012). Pulau adalah formasi massa daratan yang masih nampak (muncul) sebagai daratan pada saat laut mengalami pasang terendah (the lowest tide).  Sedangkan, pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (200.000 ha) beserta kesatuan ekosistemnya (UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil). 

Atas dasar definisi tersebut, sekitar 85 persen dari seluruh pulau di wilayah NKRI berupa pulau kecil.  Selain lima pulau besar utama, yakni Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Pulau-pulau besar lainnya antara lain adalah Sabang, Simeleu, Nias, Mentawai, Batam, Bintan, Natuna, Enggano, Bangka, Belitung, Madura, Bali, Lombok, Sumbawa, Timor, Lembata, Rote, Selayar, Buton, Muna, Sangihe, Miangas, Ternate, Tidore, Bacan, Seram, Ambon, Tual, Yamdena, dan Raja Ampat.

Sebelum berdiriya KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) di era Pemerintahan Kabinet Persatuan Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden KH. Abdurrahman Wahid dan Wapres Megawati Soekarnopuri pada September 1999, baik pemerintah maupun rakyat kurang bahkan tidak peduli dengan pulau-pulau kecil. Namun, sejak adanya KKP, khususnya melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, dan Kelautan; dilakukanlah pendataan  pulau-pulau kecil yang meliputi ukuran (luas), potensi pembangunan (sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan), kependudukan, kegiatan ekonomi yang ada, dan berbagai aspek lainnya.

Sejak awal 2002 melalui PP No.32/2002 dibentuklah Tim Nasional Penamaan Pulau-Pulau Kecil yang terdiri dari KKP, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, BAKOSURANAL (sekarang BIG = Badan Informasi Geospasial), dan Dinas Hidro-oseanografi TNI-AL.  Mulai tahun 2000 Pemerintah c.q. KKP mulai menyusun naskah akademis RUU (Rancangan Undang-Undang) tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, lalu mengusulkan kepada DPR-RI untuk disahkan sebagai Undang-Undang.  Karena melibatkan bagitu banyak instansi dan hal baru, maka baru pada 2007 DPR akhirnya menyetujui UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang kemudiaan direvisi (disempurnakan) menjadi UU No.1/2014.

Dengan anggaran yang terbatas, KKP bekerjasama dengan Kementerian lain, lembaga non-kementerian, dan Pemerintah Daerah, mulai membangun infrastruktur dan fasilitas pembangunan serta menyusun dan mengimplementasikan Rencana Pengelolaan Pembangunan sejumlah pulau kecil.  KKP juga sangat aktif mengajak investor baik nasional maupun internasional (asing) untuk membangun, berinvestasi, dan melakukan usaha ekonomi di pulau-pulau kecil secara inovatif, produktif, inklusif, dan ramalh lingkungan (small island sustainable development).

Hasilnya, pada 2012 Pemerintah RI c.q. KKP dan Kementerian Luar Negeri berhasil mendaftarkan 13.466 pulau berikut namanya kepada PBB, tepatnyaUNGEGN (United Nations Group of Experts on Geographic Names), dan baru 2014 PBB mengesahkan seluruh pulau yang didaftarkan oleh Indonesia tersebut.  Dengan demikin, hingga saat ini jumlah pulau yang belum resmi memiliki nama sekitar 4.038 lagi. Selama 2017 ini Pemerintah mentargetkan untuk mendaftarkan 1.106 pulau lagi kepada PBB. 

Akan tetapi, di balik kerja keras Pemerintah untuk membangun pulau-pulau kecil, mentransformasi pulau-pulau kecil sebagai wilayah yang tertinggal, kurang menarik untuk dihuni, dan beban pembangunan (cost center) yang hanya menguras APBN/APBD menjadi daerah yang lebih maju, pusat pertumbuhan ekonomi baru (new centers of economic growth), indah, nyaman, dan atraktif.  Jujur, perkembangan (progress) nya boleh dibilang sangat lambat.  Betapa tidak, sampai sekarang baru 6.000 pulau (34%) yang sudah berpenghuni, dan dari tahun 2000 sampai sekarang, baru 54 pulau kecil yang telah dikembangkan oleh swasta yang sebagian besar untuk pariwisata bahari, dan sebagian kecil untuk perkebunan, pertambangan, dan penampungan (storage) minyak bumi.  Dari 54 pulau itu, 33 pulau investornya dari luar negeri, dan investor di 21 pulau lainnya dari dalam negeri (nasional).

Sebenarnya ketika KKP mengeluarkan kebijakan diizinkannya investor nasional maupun global (asing) untuk berinvestasi dan mengembangkan ekonomi pulau-pulau kecil di Indonesia pada medio 2001, sejumlah investor dari Kuwait, Qatar, Jepang, dan Taiwan menyatakan minatnya.  Sayang, saat itu beberapa LSM dan tokoh nasional, terutama Pak Amien Rais selaku Ketua MPR menolak kebijakan tersebut dan yang heboh di media seolah-olah mau menyewakan atau menggadaikan keadulatan wilayah pulau-pulau kecil kepada asing.  Akibatnya, sejumlah investor asing dan nasional yang bonafide mengurungkan minat investasinya.  Sebab, investor dan pengusaha dari manapun asalnya menghendaki konsistensi kebijakan pemerintah, kepastian hukum, stabilitas politik, dan iklim investasi yang kondusif, sebelum mereka berinvestasi dan mengembangkan usaha di suatu negara.

Rupanya reaksi sejumlah LSM dan tokoh masyarakat serupa terkait optimalisasi pemanfaatan pulau-pulau kecil yang terjadi sekitar 16 tahun lalu, sekarang terulang kembali ketika sekitar 3 minggu lalu Menko Maritim dan Menteri Kelautan dan Perikanan mengungkapkan rencana kebijakannya untuk mengundang pihak asing berinvestasi dan mengembangkan usaha di pulau-pulau kecil Indonesia.  Reaksi negatif itu muncul, terutama gara-gara pernyataan Menko Maritim yang akan mengizinkan investor asing untuk memberikan nama pulau dimana mereka kelak berinvestasi.  Padahal baik menurut undang-undang RI maupun ketentuan hukum internasional bahwa yang berhak memberikan nama pulau adalah pemerintah negara yang memiliki pulau termaksud.  Saya yakin pernyataan Menko Maritim itu hanya ’a slip of the tounge’ atau wartawannya yang keliru mensitir.

Urgensi pembangunan pulau kecil

Sedikitnya ada … alasan kita bangsa Indonesia perlu mendayagunakan potensi sumber daya wilayah pulau-pulau kecil.  Pertama adalah bahwa dari sekitar 17.504 pulau yang kita miliki, baru sekitar 6.000 pulau yang bepenghuni dan dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan pembangunan.  Itupun pola dan cara-cara pembangunannya sebagian besar kurang produktif dan inovatif serta tidak mengikuti prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).  Sehingga, hampir semua pulau kecil yang berpenghuni dan/atau sudah ada kegiatan pembangunan (ekonomi) nya tetap tidak maju, kebanyakan penduduknya hidup miskin, dan kualitas lingkungan hidupnya buruk.  

Kebanyakan penduduk yang menghuni pulau-pulau kecil dari Sabang sampai Merauke, dan dari Miangas sampai Rote adalah para lansia, anak-anak, dan kelompok usia kerja yang kurang terdidik, memiliki keterampilan, dan produktif.  Orang-orang pintar, berpendidikan tinggi, ahli, dan produktif yang terlahir di pulau kecil, seperti Prof. Adrianus Moy, Prof, Herman Johanes, Prof. Laode Kamaludin, Dr. Yasona Laoly, dan Ir. Saleh Husen kebanyakan hijrah ke Jakarta, kota-kota besar lainnya, dan P. Jawa.  Padahal, potensi pembangunan (ekonomi) yang terdapat di pulau-pulau kecil luar biasa besar. 

Kedua, dengan membangun pulau-pulau kecil secara produktif, inovatif, inklusif, dan ramah lingkungan. Berarti kita mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi (centers of economic growth) baru di luar P. Jawa dan tersebar secara proporsional di seluruh wilayah NKRI.  Jutaan lapangan kerja baru bakal tersedia, dan kesejahteraan masyarakat pun meningkat.  Bila kita mampu membangun rata-rata 100 pulau baru dalam satu tahun, maka pertumbuhan ekonomi nasional yang sejak 2015 hanya sekitar 5 persen per tahun diperkirakan bisa meningkat sampai 7 – 8 persen per tahun.  

Dengan demikian, permasalahan utama dan khronis bangsa berupa tingginya pengangguran dan kemiskinan serta rendahnya daya saing dan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) bakal dapat diatasi.  Demikian juga halnya dengan masalah disparitas pembangunan antar wilayah yang sangat timpang, khususnya Jawa vs luar jawa, dan kota vs desa, secara otomatis akan terkoreksi.  Sebab, dengan tersebarnya pusa-pusat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan baru di pulau-pulau kecil diyakini bakal mengurangi laju urbanisasi dari luar Jawa  ke Jawa. 

Ketiga, dengan membangun pulau-pulau kecil, terutama 111 pulau terluar (terdepan) secara produktif, inovatif, inklusif, dan ramah lingkungan sebagai pusat pertumbuhan dan kesejahteraan baru secara berkelanjutan berarti kita membangun semacam sabuk kemakmuran/kesejahteraan (prosperity belt).  Wilayah-wilayah pulau-pulau kecil terdepan yang maju dan makmur secara otomatis akan menjadi semacam sabuk pengaman (security belt) yang turut memperkokoh dan menegakkan kedaulatan NKRI.

Keempat, pemanfaatan pulau-pulau kecil oleh investor asing maupun nasional, seperti untuk pariwisata, pertambangan, perkebunan, perikanan, dan penampungan minyak bumi sejak masa Orde Baru sampai sebelum efektifnya kinerja KKP (tahun 2001) kecil sekali memberikan manfaat bagi negara dan masyarakat lokal. Dan,  yang lebih mengkhawatirkan acap kali menimbulkan kerusakan lingkungan, memarginalkan masyarakat lokal, dan megancam kedaulatan NKRI.

Oleh sebab itu, kita harus menempatkan kepentingan nasional (national interest) dan kedaulatan NKRI diatas segalanya, manakala kita akan mendayagunakan sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, terutama ketika melibatkan investor asing.  Kita harus berpedoman pada UU No.27/2007 Jo. UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan peraturan-perundangan RI lainnya yang relevan di dalam membangun dan mengundang investor untuk pulau-pulau kecil.

Pedoman pembangunan dan investasi

Tantangan riil kekinian dalam membangun dan mengembangkan pulau-pulau kecil untuk kemajuan, kesejahteraan, dan kedaulatan bangsa adalah bagaimana kita meramu dan mengimplementasikan paket kebijakan supaya para investor (nasional atau asing) yang bonafide dan baik mau menanamkan modalnya dan mengembangkan usaha ekonomi, dan pada saat yang sama kepentingan nasional dan kedaulatan NKRI pun bisa ditegakkan.  Kepentingan nasional itu antara lain berupa manfaat ekonomi bagi negara dan rakyat, kelestarian lingkungan, dan alih teknologi.

Investor dan pengusaha itu sangat penting dalam membangun ekonomi wilayah, termasuk pulau-pulau kecil.  Pasalnya, fungsi utama anggaran pemerintah (APBN/APBD) di seluruh negara di dunia adalah untuk pembangunan infrastruktur, sumber daya manusia (kesehatan, pendidikan, dan agama), peraturan-perundangan, dan kelembagaan. Sedangkan, untuk mengembangkan usaha ekonomi, menggerakkan bisnis, dan modal kerja (working capital) di suatu wilayah atau negara adalah merupakan peran  para investor, pengusaha, dan entrepreneur.   Bagi para investor, tentunya mereka ingin investasinya aman dan menghasilkan untung secara berkelanjutan.

Sesuai dengan UU No. 1. 2014 diatas, kepentingan nasional, kedaulatan NKRI, dan kepentingan investor, maka pembangunan dan investasi pulau-pulau kecil  oleh swasta nasional maupun asing seyogyanya mengikuti pedoman (guidelines) sebagai berikut.

Pertama, baik swasta nasional maupun asing tidak boleh memiliki pulau, tetapi diizinkan memiliki HGU (Hak Guna Usaha) di pulau tersebut untuk jangka waktu 35 – 50 tahun, dan bisa diperpanjang sesuai kesepakatan Pemerintah RI dengan pihak investor.  Sebaiknya investasi dan bisnis swasta (baik nasional maupun asing) ditempatkan di pulau-pulau kecil yang tidak ada penduduknya.

Kedua, sedikitnya 40 persen dari total luas daratan pulau harus dialokasikan untuk kawasan lindung (protected area) seperti garis sempadan pantai (set back zone), hutan lindung, dan ruang terbuka hijau.  Luas daratan sisanya, maksimal 60 persen dari total luas daratan pulau boleh dikembangkan untuk kawasan pembangunan (usaha ekonomi), seperti pariwisata, properti dan bangunan, pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan industri yang ramah lingkungan. 

Ketiga, semua kegiatan pembangunan, investasi, dan bisnis di pulau-pulau kecil harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah disusun oleh pemerintah daerah dan disetujui pemerintah pusat, didahului dengan studi AMDAL, building code (bangunan tertinggi tidak boleh melebihi tingginya pohon tertinggi yang ada di pulau termaksud), menggunakan energi terbarukan (energi solar, angin, arus laut, dan lainnya), usahakan tidak membuang limbah maupun emisi gas rumah kaca dengan menerapka teknologi 3 R (Reduce, Reuse, dan Recycle), dan mitigasi serta adaptasi terhadap bencana alam.

Keempat, dalam memanfaatkan wilayah perairan sekitar pulau harus mengikuti prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan semua ketentuan peraturan-perundangan RI yang relevan.

Kelima, selain royalti dan pajak, pihak investor juga harus menyimpan dana jaminan (deposit money) di kas negara selama masa HGU.  Besaran dana jaminan per pulau di AS itu berkisar antara 100 juta dolar AS sampai 1 milyar dolar AS, bergantung pada luas pulau dan potensi pembangunan (ekonomi) nya.  Bayangkan, bila kita mampu menarik investor untuk 100 pulau setiap tahun, maka kita dapat dana segar antara 10 – 100 milyar dolar AS (Rp 130 – 1.300 trilyun) per tahun.

Keenam, tenaga kerja asing hanya boleh di bidang-bidang yang belum mampu dikerjakan oleh tenaga kerja Indonesia, dan jumlah tenaga kerja asing maksimal 10 persen dari total tenaga kerja yang dibutuhkan.  Gaji atau upah karyawan harus yang bisa mensejahterakan diri dan keluarga nya.

Ketujuh, untuk menjamim keamanan dan kedaulatan NKRI, pemerintah RI bisa menempatkan polisi dan/atau tentanra di pulau yang investornya dari luar negeri.

Kedelapan, harus ada alih teknologi dari pihak asing kepada tenaga kerja Indonesia, dari swasta nasional kepada masyarakat lokal.

Kesembilan, seperti di Mauritius, Maldives, AS, beberapa negara di Karibia dan Pasifik Selatan yang berhasil mengelola pulau-pulau kecilnya, bisa juga diterapkan konsep ’One Island, One Company’.   Artinya perencanaan, investasi dan bisnis, pemasaran, dan pengelolaan satu pulau diserahkan kepada satu perusahaan dengan mengikuti kedelapan persyaratan diatas.           

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun