Kaidah ini menegaskan bahwa tidak boleh menggunakan muslihat atau cara-cara terselubung untuk melegitimasi sesuatu yang diharamkan. Bai' al-inah dianggap sebagai bentuk muslihat untuk menghindari larangan riba, yang secara substansial bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Transaksi ini secara formal terlihat sah, tetapi secara substantif melanggar prinsip larangan riba.
6. Kaidah tentang Maslahah dan Mafsadah  Â
 "Dar' al-mafasid muqaddam 'ala jalb al-masalih"  Â
Artinya: Â Menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada meraih kemaslahatan .Â
Dalam kasus bai' al-inah, beberapa ulama menolak praktik ini karena potensi kerusakan (mafsadah) yang dihasilkan, yakni adanya unsur riba yang tersembunyi. Meskipun mungkin ada manfaat dalam hal pembiayaan, kerusakan yang disebabkan oleh unsur riba harus dihindari, karena lebih berbahaya dalam jangka panjang.
7. Kaidah tentang Akad yang Tidak Sesuai dengan Maqasid Syariah  Â
 "Al-'aqdu yajibu an yatawaffaqu ma'a maqasid al-shari'ah"Â
Artinya: Â Akad harus sesuai dengan tujuan syariah .Â
Transaksi bai' al-inah, meskipun sah dari sudut pandang fiqh kontraktual, sering kali dianggap tidak sejalan dengan maqasid syariah, yaitu prinsip-prinsip utama hukum Islam, seperti keadilan, kejujuran, dan penghindaran dari riba. Oleh karena itu, beberapa ulama menyatakan bahwa transaksi ini tidak sah secara syariah, meskipun dari segi teknis akad tampaknya sah.
Norma-Norma Terkait
Dari perspektif norma hukum syariah, praktik ini melanggar larangan riba, karena memperoleh keuntungan dari utang tidak diperkenankan dalam Islam. Selain itu, keadilan dalam transaksi harus ditegakkan, di mana setiap pihak tidak boleh dirugikan, dan kejelasan mengenai objek dan harga transaksi sangat penting untuk menghindari ketidakpastian (gharar).