Mohon tunggu...
Rois Wicaksono
Rois Wicaksono Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa UIN RM SAID Surakarta

Saya mahasiswa hukum ekonomi syariah semester 5 di universitas islam negeri di surakarta. saya memiliki ketertariakn dengan menulis artikel/isu-isu yang sedang trand.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bai' Al-Inah, Antara Inovasi Keuangan dan Risiko Riba dalam Hukum Syariah

2 Oktober 2024   04:37 Diperbarui: 2 Oktober 2024   04:59 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tanpa kita sadari, banyak dari kita mungkin pernah terlibat dalam transaksi bai' al-inah, meskipun tidak secara langsung menyadarinya atau memahami konsepnya secara mendalam. Dalam kehidupan sehari-hari, praktik seperti ini bisa muncul dalam berbagai bentuk, terutama dalam transaksi jual beli yang melibatkan cicilan atau kredit.

 Misalnya, ketika kita membeli barang dengan cicilan dari suatu lembaga keuangan atau toko, dan kemudian lembaga tersebut menawarkan skema pembayaran yang memberikan kesan seolah-olah kita membeli kembali barang tersebut dengan harga tunai yang lebih rendah.

Banyak orang yang tidak menyadari bahwa transaksi yang mereka lakukan sebenarnya bisa memiliki unsur bai' al-inah, terutama karena praktik ini sering kali dibalut dengan istilah-istilah perbankan modern yang tidak langsung mengarah pada hukum syariah. 

Hal ini terjadi misalnya dalam produk-produk pembiayaan yang ditawarkan oleh bank syariah, di mana barang yang dibeli oleh nasabah sering kali langsung dijual kembali oleh bank dengan mekanisme yang hampir serupa dengan bai' al-inah, dengan tujuan menyediakan dana tunai bagi nasabah.

Ketidaktahuan ini bukan hanya disebabkan oleh kurangnya pemahaman masyarakat terhadap konsep-konsep dalam ekonomi syariah, tetapi juga karena skema transaksi bai' al-inah sering kali tersembunyi di balik prosedur administrasi yang kompleks dan tidak dijelaskan secara rinci kepada pihak yang terlibat. Dalam banyak kasus, nasabah hanya melihat hasil akhir dari transaksi -- yaitu, mereka mendapatkan barang atau dana tunai -- tanpa menyadari bahwa transaksi dilarang dalam agama atau tidak.

Dengan demikian, penting bagi masyarakat untuk lebih memahami prinsip-prinsip dasar dalam ekonomi syariah agar dapat lebih waspada terhadap jenis-jenis transaksi yang mereka lakukan. Kesadaran ini akan membantu mereka dalam memilih produk keuangan yang sesuai dengan nilai-nilai syariah dan menghindari potensi transaksi yang dapat mengandung unsur yang dilarang, seperti riba. 

Terlebih lagi, bank syariah dan lembaga keuangan lainnya juga diharapkan dapat lebih transparan dalam menjelaskan mekanisme produk mereka, sehingga nasabah memiliki pemahaman yang jelas tentang transaksi yang mereka lakukan.

Bai' al-inah merupakan salah satu bentuk transaksi jual beli dalam hukum ekonomi syariah yang melibatkan dua tahap transaksi antara penjual dan pembeli. Pada tahap pertama, penjual menjual barang kepada pembeli dengan skema kredit atau pembayaran bertahap, di mana barang tersebut tetap berada dalam kepemilikan pembeli sampai harga lunas. 

Selanjutnya, pada tahap kedua, pembeli menjual kembali barang yang sama kepada penjual secara tunai dengan harga yang lebih rendah. Transaksi ini pada dasarnya bertujuan untuk memberikan akses pembiayaan bagi pihak pembeli melalui proses yang tampak seperti jual beli barang.

Di dalam konteks perbankan syariah, bai' al-inah sering kali digunakan sebagai mekanisme untuk menghindari riba yang secara jelas dilarang dalam syariah. Namun, meski bentuknya adalah jual beli, banyak ulama menilai bahwa hakikat dari transaksi ini menyerupai praktik riba, karena pada intinya terdapat unsur keuntungan yang diambil dari selisih antara harga kredit dan harga tunai. 

Selisih ini dianggap sebagai riba terselubung karena tidak didasarkan pada aktivitas jual beli nyata, melainkan sekadar sarana untuk memberikan dana tunai dengan pengembalian yang lebih besar di masa mendatang.

Masalah utama yang diidentifikasi dalam praktik bai' al-inah adalah potensi kesamaannya dengan riba, yang merupakan salah satu larangan keras dalam Islam. Beberapa ulama berpendapat bahwa transaksi ini hanya menggunakan kedok jual beli untuk menutupi transaksi pinjam meminjam yang mengandung bunga. Kekhawatiran lainnya adalah dampaknya terhadap integritas perbankan syariah yang seharusnya menawarkan solusi keuangan yang bebas dari unsur riba. 

Akibatnya, banyak lembaga fatwa dan otoritas syariah di berbagai negara yang berbeda pandangan mengenai keabsahan transaksi ini, dengan beberapa yang membolehkan dalam situasi tertentu dan yang lainnya menolak sepenuhnya. Sehingga perlu analisis mendalam dalam memahami apa yang sebenarnya terjadi. Dalam tulisan ini akan mengkaji lebih dalam terkait Masalah Hukum Ekonomi Syariah utamanya Praktik Bai' al-inah dalam Perbankan Syariah.

Dalam kasus bai' al-inah, beberapa kaidah hukum Islam (qawaid fiqhiyah) yang terkait adalah sebagai berikut:

1. Kaidah tentang Larangan Riba   

 "Kullu qardin jarra naf'an fahuwa riba"

Artinya: Setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat (tambahan) adalah riba. 

Bai' al-inah sering dianggap menyerupai riba karena di balik transaksi jual beli yang dilakukan, ada niat untuk memberikan pinjaman dengan tambahan keuntungan bagi penjual. Meskipun dalam bentuk jual beli, tujuan akhirnya sering kali adalah untuk mendapatkan keuntungan dari pinjaman secara tidak langsung.

2. Kaidah tentang Menghindari Hilah (Muslihat)   

 "Al-umur bi maqasidiha"

Artinya: Setiap perkara (perbuatan) tergantung kepada maksud/tujuannya. 

Dalam bai' al-inah, tujuan utama transaksi bukanlah jual beli barang, melainkan untuk menyediakan dana tunai melalui suatu bentuk jual beli yang dimaksudkan sebagai pinjaman. Meski dari sisi lahiriah tampak sebagai jual beli, namun niat sebenarnya adalah menghindari larangan riba. Menurut kaidah ini, hukum suatu perbuatan dilihat dari niat dan tujuan, sehingga jika tujuan utama adalah riba, maka transaksi tersebut dapat dianggap terlarang.

3. Kaidah tentang Menghindari Transaksi Fiktif (Bay' al-Muwahham)   

"Al-muharram bi sababihi muharram bi wasailihi"   

Artinya: Yang diharamkan karena tujuannya, haram pula karena cara atau perantaranya.

Bai' al-inah melibatkan dua transaksi yang seolah-olah terpisah, tetapi tujuannya adalah untuk memberikan pinjaman dengan tambahan keuntungan. Oleh karena tujuan sebenarnya adalah pinjaman berbunga (riba), maka perantara berupa jual beli fiktif yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut juga menjadi terlarang.

4. Kaidah tentang Menghindari Gharar (Ketidakpastian)   

 "Al-gharar yabthilu al-'uqud"   

Artinya: Ketidakpastian membatalkan akad. 

Bai' al-inah dianggap menimbulkan ketidakpastian (gharar), karena ada ketidakjelasan mengenai tujuan akhir transaksi. Nasabah mungkin berpikir bahwa mereka terlibat dalam jual beli biasa, padahal pada hakikatnya transaksi ini lebih menyerupai pinjaman berbunga. Ketidakpastian ini dapat membuat akad tersebut tidak sah menurut sebagian ulama.

5. Kaidah tentang Tidak Ada Siasat dalam Menghalalkan yang Haram   

 "La hilata fi al-haram"

Artinya:  Tidak ada siasat untuk menghalalkan yang haram . 

Kaidah ini menegaskan bahwa tidak boleh menggunakan muslihat atau cara-cara terselubung untuk melegitimasi sesuatu yang diharamkan. Bai' al-inah dianggap sebagai bentuk muslihat untuk menghindari larangan riba, yang secara substansial bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Transaksi ini secara formal terlihat sah, tetapi secara substantif melanggar prinsip larangan riba.

6. Kaidah tentang Maslahah dan Mafsadah   

 "Dar' al-mafasid muqaddam 'ala jalb al-masalih"   

Artinya:  Menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada meraih kemaslahatan . 

Dalam kasus bai' al-inah, beberapa ulama menolak praktik ini karena potensi kerusakan (mafsadah) yang dihasilkan, yakni adanya unsur riba yang tersembunyi. Meskipun mungkin ada manfaat dalam hal pembiayaan, kerusakan yang disebabkan oleh unsur riba harus dihindari, karena lebih berbahaya dalam jangka panjang.

7. Kaidah tentang Akad yang Tidak Sesuai dengan Maqasid Syariah   

 "Al-'aqdu yajibu an yatawaffaqu ma'a maqasid al-shari'ah" 

Artinya:  Akad harus sesuai dengan tujuan syariah . 

Transaksi bai' al-inah, meskipun sah dari sudut pandang fiqh kontraktual, sering kali dianggap tidak sejalan dengan maqasid syariah, yaitu prinsip-prinsip utama hukum Islam, seperti keadilan, kejujuran, dan penghindaran dari riba. Oleh karena itu, beberapa ulama menyatakan bahwa transaksi ini tidak sah secara syariah, meskipun dari segi teknis akad tampaknya sah.

Norma-Norma Terkait

Dari perspektif norma hukum syariah, praktik ini melanggar larangan riba, karena memperoleh keuntungan dari utang tidak diperkenankan dalam Islam. Selain itu, keadilan dalam transaksi harus ditegakkan, di mana setiap pihak tidak boleh dirugikan, dan kejelasan mengenai objek dan harga transaksi sangat penting untuk menghindari ketidakpastian (gharar).

Di sisi lain, dari perspektif norma hukum positif, Bai' al-Inah harus mematuhi regulasi keuangan yang berlaku, agar praktik ini tidak merugikan pihak-pihak tertentu. Selain itu, hukum perlindungan konsumen juga relevan dalam konteks ini, untuk memastikan bahwa transaksi tidak merugikan pihak yang lebih lemah.

Norma sosial juga memainkan peran penting dalam analisis ini, di mana moralitas dan etika dalam bertransaksi harus diperhatikan, karena masyarakat cenderung menolak praktik yang dianggap tidak etis. Persepsi masyarakat terhadap Bai' al-Inah dapat mempengaruhi penerapan norma hukum dan menjadikan praktik ini lebih kompleks. Dengan mengidentifikasi norma-norma ini, kita dapat memahami dampak hukum, sosial, dan etika dari praktik Bai' al-Inah dalam konteks yang lebih luas.

Aturan Hukum

Dalam konteks perbankan syariah, regulasi di beberapa negara seperti Malaysia memperbolehkan praktik Bai' al-inah berdasarkan interpretasi lembaga fatwa setempat. Namun, di negara-negara lain seperti negara-negara Timur Tengah, praktik ini dilarang karena dianggap melanggar prinsip syariah, terutama terkait dengan riba.

Regulasi perbankan syariah yang lebih ketat, seperti di Dewan Syariah Nasional Indonesia, menganut prinsip yang lebih berhati-hati dalam menghindari bentuk transaksi yang menyerupai riba. Praktik Bai' al-inah dianggap tidak sah karena dianggap hanya sebagai cara untuk menyiasati larangan riba melalui jual beli yang tidak tulus.

Pandangan Aliran Positivisme

Aliran  positivisme hukum  adalah sebuah pendekatan dalam filsafat hukum yang menyatakan bahwa hukum harus dipahami sebagai peraturan yang ditetapkan oleh otoritas yang sah, tanpa harus terikat oleh aspek moralitas atau keadilan. Pendekatan ini menekankan bahwa hukum adalah aturan-aturan yang ditetapkan secara formal oleh lembaga yang berwenang, seperti negara, dan berlaku secara objektif, terlepas dari baik atau buruknya aturan tersebut dari sudut pandang moral. Beberapa elemen utama dari aliran  positivisme hukum antara lain adalah Hukum sebagai Konstruksi Sosial, Pemisahan Hukum dan Moral, Kepatuhan pada Prosedur Formal, Hukum sebagai Perintah Otoritas yang Sah dan Penegasan pada Kewenangan Negara.

Dalam konteks bai' al-inah, pandangan positivisme melihatnya dari sudut pandang kepatuhan terhadap prosedur formal yang ada dalam sistem hukum, baik dalam hukum syariah maupun hukum positif yang berlaku. Selama transaksi tersebut memenuhi aturan yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang, pandangan ini tidak terlalu mempermasalahkan apakah transaksi tersebut secara moral atau esensial melanggar prinsip-prinsip syariah.

Dari perspektif positivisme hukum, hukum dianggap sebagai aturan yang diberlakukan oleh otoritas yang sah (seperti negara atau lembaga keuangan syariah). Seorang positivis tidak akan mempersoalkan apakah praktik Bai' al-inah sesuai dengan moralitas agama atau tidak, selama praktik tersebut diakui dan diberlakukan oleh otoritas yang sah. Sehingga legalitas suatu tindakan hanya bergantung pada apakah aturan tersebut diberlakukan oleh lembaga yang berwenang. Jika Bai' al-inah diakui oleh regulasi resmi dan diatur oleh hukum positif negara, maka praktik tersebut dianggap sah, meskipun ada perdebatan teologis dalam kalangan ulama.

Sosiological Juriceprudence

Pendekatan Sosiological Jurisprudence menawarkan pandangan yang relevan dalam menganalisis Bai' al-Inah, dengan fokus pada hubungan antara hukum dan masyarakat. 

Dalam konteks sosial dan ekonomi, Bai' al-Inah sering dipilih sebagai alternatif untuk mendapatkan dana di masyarakat di mana akses terhadap pembiayaan konvensional sulit. Oleh karena itu, Sosiological Jurisprudence akan menilai bagaimana praktik ini berfungsi dalam konteks ekonomi masyarakat, serta bagaimana kepatuhan terhadap hukum tidak selalu berkaitan dengan norma hukum formal, tetapi juga dengan norma sosial yang berlaku di masyarakat.

Selanjutnya, persepsi masyarakat terhadap Bai' al-Inah menjadi aspek penting dalam analisis Sosiological Jurisprudence. Jika masyarakat melihat praktik ini sebagai cara yang sah untuk memperoleh dana, maka Bai' al-Inah dapat dianggap valid dalam konteks sosial, meskipun ada kritik dari perspektif hukum Islam. 

Di sisi lain, jika masyarakat menilai praktik ini tidak etis, hal tersebut dapat mendorong perubahan sosial yang mengarah pada penolakan terhadap Bai' al-Inah. Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana moralitas masyarakat memengaruhi penerimaan dan penerapan hukum.

Selain itu, Sosiological Jurisprudence juga mengakui dinamika perubahan hukum dalam menghadapi praktik seperti Bai' al-Inah. Hukum perlu beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat; jika Bai' al-Inah dianggap sebagai praktik yang berguna, maka ada argumen untuk reformasi hukum agar praktik ini dapat diakomodasi secara sah tanpa melanggar prinsip syariah. 

Dengan demikian, pendidikan hukum dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai pilihan pembiayaan yang halal dapat mengurangi ketergantungan pada praktik yang mendekati riba.

Rois Wicaksono (222111137)

HES 5D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun