Mohon tunggu...
Warisan Literasi Mama
Warisan Literasi Mama Mohon Tunggu... Freelancer - Meneruskan Warisan Budaya Literasi dan Intelektual Almarhumah Mama Rohmah Tercinta

Mama Rohmah Sugiarti adalah ex-writerpreneure, freelance writer, communications consultant, yogini, dan seorang ibu yang sholehah dan terbaik bagi kami anak-anaknya. Semoga Mama selalu disayang Allah. Alfatihah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Demokrasi Kentut Kuda Digital dan Ironi Moral Mural

28 Agustus 2021   21:39 Diperbarui: 30 Agustus 2021   17:22 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pedasnya demonstrasi kritik pemerintah era Presiden SBY - Sumber Foto: twitter.com/Andiarief

Konon istilah debat kusir yang ada dalam kosakata bahasa Indonesia kita sekarang ini, pertama kali dilontarkan oleh KH Agus Salim, berdasarkan pengalaman beliau saat berdebat dengan seorang kusir delman. 

Ceritanya pada hari itu suasana di parlemen sangat memanas. Pasalnya para wakil rakyat terus melakukan debat dan adu argumen yang tidak juga ada habisnya dan melahirkan kesepakatan antar anggota parlemen. 

Melihat suasana tersebut, KH Agus Salim segera tampil di podium dan mengingatkan agar para hadirin tidak melakukan debat kusir. Debat kusir tidak akan ada habisnya, begitu tegas KH Agus Salim. Orang-orang pun sontak terdiam mendengar istilah debat kusir yang dilontarkan oleh KH Agus Salim tersebut. Ketika semua orang senyap, KH Agus Salim pun menceritakan kisahnya kenapa dirinya melontarkan istilah debat kusir.

"Begini ceritanya. Suatu saat saya pulang kantor naik delman, saat itulah saya tak bisa mengalahkan lawan debat saya untuk pertama kalinya. Bukan di PBB saya kalah bicara tapi di atas delman dan hanya berhadapan dengan seorang kusir lah saya justru tak bisa memenangkan perdebatan saya. Saya sebut peristiwa itu sebagai debat kusir."

"Anda semua jangan mengikuti jejak saya untuk debat kusir, debat tanpa tujuan akhir, hanya ingin membuktikan bahwa kita berada di pihak yang benar, tanpa pemecahan masalah sama sekali."

"Saat itu," kenang Agus Salim, "kami sama-sama memandangi pantat kuda yang menarik delman kami."

"Tiba-tiba kudanya kentut. Saya katakan pada pak kusir, 'Ini kudanya masuk angin Pak!'"

"Kusirnya bilang, 'Bukan Pak, kuda saya keluar angin!'"

"Iya, dia kentut, keluar angin, tapi itu artinya dia masuk angin!"

"Tapi Pak, itu artinya dia keluar angin, bukan masuk angin!"

"Coba diperiksakan Pak, kuda Bapak sakit itu, masuk angin!"

"Sudah diobati Pak, makanya dia sudah bisa keluar angin!"

"Begitulah, debat kusir itu hanya selesai saat saya sudah sampai depan rumah. Apabila kami bertemu lagi mungkin kami masih akan memperdebatkan kentut kuda itu."

"Hadirin sekalian, mari kita tinggalkan debat kusir, mari kita cari pemecahan masalah ini bersama-sama demi persatuan dan kesatuan bangsa."

...

Sebuah mural yang menggambarkan wajah Presiden Joko Widodo yang ditutup matanya dengan tulisan 404: Not Found tiba-tiba muncul di dinding kolong tol kereta bandara di Batuceper, Tangerang. 

Tak ada yang mengaku mengetahui kapan mural tersebut dibuat. Yang jelas, seperti kebiasaan para pembuat mural pada umumnya, mereka acap bekerja dalam senyap dan kesunyian malam, ketika kebanyakan orang terlelap. 

Pasalnya, meskipun mural merupakan salah satu media dan seni tersendiri untuk mengungkapkan komunikasi atau pesan, namun mural masih sering dianggap seni jalanan yang nakal atau ilegal dan mengganggu ketertiban karena mengotori lingkungan. Tentu saja tanpa mengingkari adanya banyak seni mural legal yang memang difasilitasi dan diberi media oleh pemerintah, kebanyakan mural merupakan aksi spontan dan ilegal. 

Mural yang legal biasanya hanya mengeksplorasi keindahan artistik atau pesan-pesan santun, positif dan pujian semata. Sedangkan mural ilegal biasanya berisi kritik, sindiran, protes, kecaman, pemberontakan dan ungkapan-ungkapan ketidakpuasan lainnya yang mungkin telah mentok untuk diungkapkan di media-media komunikasi lainnya.

Termasuk sebagai mural yang nakal, mural foto mirip Presiden Jokowi 404: Not Found ini menurut penjelasan masyarakat sekitar sempat bertahan sekitar 3 bulanan sebelum akhirnya dihapus oleh aparat pemerintah. Bahkan karena dianggap menghina Presiden Joko Widodo maka aparat kepolisian segera memburu pelaku pembuat mural tersebut.

Namun seperti menjadi sebuah martir, penghapusan mural Jokowi 404: Not Found tersebut segera menjadi trending topik dan polemik perdebatan yang seru di sosial media. Tercatat kurang lebih mencapai 17 ribu cuitan yang membicarakan keberadaan mural ini melalui platform twitter.

Apalagi setelah kasus penghapusan mural Jokowi 404: Not Found tersebut, beberapa mural kritis lainnya segera menyusul mendapatkan perlakuan yang sama. Ada mural "Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit" di Bangil Pasuruan, "Dipenjara Karena Lapar" di Tangerang, mural "Wabah Kelaparan", "Tuhan Aku Lapar" dan  beberapa lainnya yang dihapus oleh aparat.

Tentu saja yang menjadi perbincangan di sosial media bahkan di media utama hanyalah debat kusir semata. Di satu pihak banyak kalangan pengamat yang menilai penghapusan mural tersebut adalah salah satu cermin kemunduran demokrasi di era pemerintahan Jokowi selama dua periode ini. 

Sementara itu, dari kalangan pendukung pemerintahan menilai penghapusan mural tersebut bukanlah pengekangan demokrasi melainkan karena mural tersebut dianggap melecehkan lambang negara, memfitnah, memprovokasi dan melanggar ketertiban umum. Keduanya saling bersikukuh dengan pendapat masing-masing dan adu kuat bersuara di sosial media.

Bahkan ketika akhirnya Presiden Jokowi sendiri memerintahkan para aparat negara agar tidak represif dalam menangani mural, kasus-kasus penghapusan mural tetap dilakukan oleh aparat-aparat di lapangan dengan berbagai dalih pembenar yang mereka lontarkan.

Lagi-lagi sungguh membingungkan. Jelas-jelas Presiden sendiri dengan tegas menginstruksikan agar jangan tangani mural dengan tindakan represif. Namun faktanya tindakan-tindakan represif terus menerus dilakukan aparat di lapangan dan berbagai daerah. 

Apakah instruksi Presiden hanyalah drama semata? Istilah dalam bahasa Jawanya, "Culke Ndase, Gandoli Buntute" yang arti dalam bahasa Indonesianya "Dilepaskan kepalanya, dipegang erat ekornya". Artinya tetap saja tidak bisa kemana-mana. 

Ada yang menafsirkan bahwa perintah Presiden itu tidaklah sungguh-sungguh. Hanyalah perintah basa-basi agar citra Presiden tetap baik, meskipun sebenarnya di belakang layar tetap membiarkan aparat bertindak yang sebaliknya. Jadi ketika ada apa-apa, citra Presiden tetap baik dan ada aparat lapangan yang bisa dikorbankan sebagai yang buruk.

Kentut Kuda Digital

Tentu saja fenomena penghapusan mural sebagai cerminan kemunduran demokrasi ini menjadi polemik perdebatan yang seru. Sayangnya perdebatan tersebut tidak mampu menemukan titik temu dan solusi jalan keluar yang jitu.

Entah kenapa polarisasi pro pemerintah dan anti pemerintah atau oposisi telah membawa diskusi atau perbincangan yang ada seakan-akan membentur tembok penghalang menuju kesepakatan yang menguntungkan bagi masyarakat. 

Masing-masing hanya mau mendengarkan dan membenarkan pendapat golongannya sendiri-sendiri, sementara pemerintah membiarkannya bahwa menikmati keuntungan dari hal itu karena kesalahan yang dilakukan tidak pernah benar-benar disalahkan secara kemufakatan.  

Sungguh sangat disayangkan di saat ketika teknologi komunikasi dan informasi telah berkembang pesat dan sangat memanjakan pemakainya, yang dihasilkan justru perpecahan dan keriuhan yang membuat esensi-esensi demokrasi, persatuan dan kesatuan, musyawarah untuk mufakat jauh panggang daripada api. 

Pengerahan buzzer dalam menanggapi kritik terhadap pemerintahan seakan menjadi titik balik kemunduran atas pencapaian demokrasi yang telah dicapai secara susah payah oleh pemerintahan sebelumnya. Kekuatan buzzer yang seakan "maha kuasa" telah menjadikan perdebatan yang berkualitas dan demokratis, menjadi semacam debat kusir yang sekedar nyinyir, dimana yang paling ramai dan ngototlah yang mendominasi. 

Persis seperti debat kusir yang pernah dikisahkan oleh tokoh bangsa Indonesia KH Agus Salim yang telah saya tuliskan di awal opini ini. Bedanya jika debat kusir yang dikisahkan oleh KH Agus Salim terjadi di atas delman yang ditarik seekor kuda, debat yang sekarang terjadi di media sosial yang memanfaatkan kecanggihan teknologi digital. Boleh dibilang debat kusir yang sekarang kerap terjadi adalah debat kusir yang disebabkan oleh kentut kuda digital semisal hoax, hegemoni buzzer, serangan cyber army dan sejenisnya.

Moral vs Mural

Jika ada pejuang kemerdekaan yang gugur, para pahlawan kemerdekaan dulu selalu meneriakkan, "mati satu tumbuh seribu!".  Pun dengan para seniman mural sekarang. "Hapus satu, tumbuh seribu!", begitu kata mereka. Dan benar-benar terbukti. Setelah terjadinya aksi reaktif para aparat yang menghapus mural-mural yang dianggap negatif,  mural-mural kritik bermunculan di mana-mana. Bahkan tidak hanya sekedar repetisi dari mural-mural yang ada, melainkan semakin pedas dan berani.

Pemerintahan Jokowi dianggap semakin mengekang demokrasi. Lain di mulut, lain di aksi dan antisipasi. Pembungkaman kritik melalui kekuatan buzzer, penerapan UU ITE dan aksi-aksi represif aparat di lapangan yang berseberangan dengan pernyataan Presiden Jokowi sendiri menjadikan dirinya dianggap nabok nyilih tangan. Memukul dengan meminjam tangan orang lain. 

Meski tak pernah diakui, namun berbagai bukti memang menunjukkan bahwa peringkat demokrasi Indonesia era Pemerintahan Presiden Jokowi berada jauh dibawah peringkat demokrasi Indonesia di era Presiden SBY. Hal ini terungkap dari temuan yang diungkapkan oleh berbagai lembaga internasional pengamat demokrasi yang mengemukakan masalah tersebut.

Salah satunya adalah pernyataan lembaga pemerhati dan pendukung demokrasi internasional, Freedom House, yang mengkategorikan Indonesia di era Presiden Jokowi sebagai negara party free, dengan nilai yang terus menurun dalam beberapa tahun terakhir. Jauh di bawah era Presiden SBY yang berhasil membawa Indonesia cukup lama bertahan di kategori negara bebas atau free.

Bukti fenomena ini diperkuat oleh catatan koalisi masyarakat sipil seperti Amnesty Internasional dan SAFENet, yang mengungkapkan fenomena penangkapan pihak yang berbeda pendapat meningkat setiap tahun. Temuan survei yang menunjukkan warga semakin takut berbicara dan berekspresi di muka umum karena jerat UU ITE. Ditambah adanya intimidasi berupa peretasan akun sosial media hingga serangan buzzer kepada  pihak yang kritis terhadap pemerintah.

Tentunya harapan agar pemerintahan Jokowi bisa kembali menaikkan peringkat demokrasi di negeri ini selalu ada. Itulah sebabnya, meski beresiko, kita tetap harus melontarkan kritik agar pemerintah mampu kembali menyemai, menumbuhkan dan merawat demokrasi dengan lebih baik. 

Persis dengan apa yang pernah dicuitkan oleh mantan Presiden SBY dalam akun twitter resminya. "Obat itu rasanya "pahit". Namun bisa mencegah atau menyembuhkan penyakit. Jika obatnya tepat & dosisnya juga tepat, akan membuat seseorang jadi sehat. Kritik itu laksana obat & yang dikritik bisa "sakit". Namun, kalau kritiknya benar & bahasanya tidak kasar, bisa mencegah kesalahan. Sementara, pujian & sanjungan itu laksana gula. Jika berlebihan & hanya untuk menyenangkan, justru bisa menyebabkan kegagalan,"

Semoga saja, opini ini bisa diterima dengan bijak dan tidak menjadikan saya dibully. Persis seperti yang dilontarkan para pejuang keadilan dan kebebasan mural saat ini. Urus moralmu, bebaskan muralku. Tabik. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun