Mohon tunggu...
Warisan Literasi Mama
Warisan Literasi Mama Mohon Tunggu... Freelancer - Meneruskan Warisan Budaya Literasi dan Intelektual Almarhumah Mama Rohmah Tercinta

Mama Rohmah Sugiarti adalah ex-writerpreneure, freelance writer, communications consultant, yogini, dan seorang ibu yang sholehah dan terbaik bagi kami anak-anaknya. Semoga Mama selalu disayang Allah. Alfatihah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Demokrasi Kentut Kuda Digital dan Ironi Moral Mural

28 Agustus 2021   21:39 Diperbarui: 30 Agustus 2021   17:22 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pedasnya demonstrasi kritik pemerintah era Presiden SBY - Sumber Foto: twitter.com/Andiarief

Pengerahan buzzer dalam menanggapi kritik terhadap pemerintahan seakan menjadi titik balik kemunduran atas pencapaian demokrasi yang telah dicapai secara susah payah oleh pemerintahan sebelumnya. Kekuatan buzzer yang seakan "maha kuasa" telah menjadikan perdebatan yang berkualitas dan demokratis, menjadi semacam debat kusir yang sekedar nyinyir, dimana yang paling ramai dan ngototlah yang mendominasi. 

Persis seperti debat kusir yang pernah dikisahkan oleh tokoh bangsa Indonesia KH Agus Salim yang telah saya tuliskan di awal opini ini. Bedanya jika debat kusir yang dikisahkan oleh KH Agus Salim terjadi di atas delman yang ditarik seekor kuda, debat yang sekarang terjadi di media sosial yang memanfaatkan kecanggihan teknologi digital. Boleh dibilang debat kusir yang sekarang kerap terjadi adalah debat kusir yang disebabkan oleh kentut kuda digital semisal hoax, hegemoni buzzer, serangan cyber army dan sejenisnya.

Moral vs Mural

Jika ada pejuang kemerdekaan yang gugur, para pahlawan kemerdekaan dulu selalu meneriakkan, "mati satu tumbuh seribu!".  Pun dengan para seniman mural sekarang. "Hapus satu, tumbuh seribu!", begitu kata mereka. Dan benar-benar terbukti. Setelah terjadinya aksi reaktif para aparat yang menghapus mural-mural yang dianggap negatif,  mural-mural kritik bermunculan di mana-mana. Bahkan tidak hanya sekedar repetisi dari mural-mural yang ada, melainkan semakin pedas dan berani.

Pemerintahan Jokowi dianggap semakin mengekang demokrasi. Lain di mulut, lain di aksi dan antisipasi. Pembungkaman kritik melalui kekuatan buzzer, penerapan UU ITE dan aksi-aksi represif aparat di lapangan yang berseberangan dengan pernyataan Presiden Jokowi sendiri menjadikan dirinya dianggap nabok nyilih tangan. Memukul dengan meminjam tangan orang lain. 

Meski tak pernah diakui, namun berbagai bukti memang menunjukkan bahwa peringkat demokrasi Indonesia era Pemerintahan Presiden Jokowi berada jauh dibawah peringkat demokrasi Indonesia di era Presiden SBY. Hal ini terungkap dari temuan yang diungkapkan oleh berbagai lembaga internasional pengamat demokrasi yang mengemukakan masalah tersebut.

Salah satunya adalah pernyataan lembaga pemerhati dan pendukung demokrasi internasional, Freedom House, yang mengkategorikan Indonesia di era Presiden Jokowi sebagai negara party free, dengan nilai yang terus menurun dalam beberapa tahun terakhir. Jauh di bawah era Presiden SBY yang berhasil membawa Indonesia cukup lama bertahan di kategori negara bebas atau free.

Bukti fenomena ini diperkuat oleh catatan koalisi masyarakat sipil seperti Amnesty Internasional dan SAFENet, yang mengungkapkan fenomena penangkapan pihak yang berbeda pendapat meningkat setiap tahun. Temuan survei yang menunjukkan warga semakin takut berbicara dan berekspresi di muka umum karena jerat UU ITE. Ditambah adanya intimidasi berupa peretasan akun sosial media hingga serangan buzzer kepada  pihak yang kritis terhadap pemerintah.

Tentunya harapan agar pemerintahan Jokowi bisa kembali menaikkan peringkat demokrasi di negeri ini selalu ada. Itulah sebabnya, meski beresiko, kita tetap harus melontarkan kritik agar pemerintah mampu kembali menyemai, menumbuhkan dan merawat demokrasi dengan lebih baik. 

Persis dengan apa yang pernah dicuitkan oleh mantan Presiden SBY dalam akun twitter resminya. "Obat itu rasanya "pahit". Namun bisa mencegah atau menyembuhkan penyakit. Jika obatnya tepat & dosisnya juga tepat, akan membuat seseorang jadi sehat. Kritik itu laksana obat & yang dikritik bisa "sakit". Namun, kalau kritiknya benar & bahasanya tidak kasar, bisa mencegah kesalahan. Sementara, pujian & sanjungan itu laksana gula. Jika berlebihan & hanya untuk menyenangkan, justru bisa menyebabkan kegagalan,"

Semoga saja, opini ini bisa diterima dengan bijak dan tidak menjadikan saya dibully. Persis seperti yang dilontarkan para pejuang keadilan dan kebebasan mural saat ini. Urus moralmu, bebaskan muralku. Tabik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun