Tentu saja yang menjadi perbincangan di sosial media bahkan di media utama hanyalah debat kusir semata. Di satu pihak banyak kalangan pengamat yang menilai penghapusan mural tersebut adalah salah satu cermin kemunduran demokrasi di era pemerintahan Jokowi selama dua periode ini.Â
Sementara itu, dari kalangan pendukung pemerintahan menilai penghapusan mural tersebut bukanlah pengekangan demokrasi melainkan karena mural tersebut dianggap melecehkan lambang negara, memfitnah, memprovokasi dan melanggar ketertiban umum. Keduanya saling bersikukuh dengan pendapat masing-masing dan adu kuat bersuara di sosial media.
Bahkan ketika akhirnya Presiden Jokowi sendiri memerintahkan para aparat negara agar tidak represif dalam menangani mural, kasus-kasus penghapusan mural tetap dilakukan oleh aparat-aparat di lapangan dengan berbagai dalih pembenar yang mereka lontarkan.
Lagi-lagi sungguh membingungkan. Jelas-jelas Presiden sendiri dengan tegas menginstruksikan agar jangan tangani mural dengan tindakan represif. Namun faktanya tindakan-tindakan represif terus menerus dilakukan aparat di lapangan dan berbagai daerah.Â
Apakah instruksi Presiden hanyalah drama semata? Istilah dalam bahasa Jawanya, "Culke Ndase, Gandoli Buntute" yang arti dalam bahasa Indonesianya "Dilepaskan kepalanya, dipegang erat ekornya". Artinya tetap saja tidak bisa kemana-mana.Â
Ada yang menafsirkan bahwa perintah Presiden itu tidaklah sungguh-sungguh. Hanyalah perintah basa-basi agar citra Presiden tetap baik, meskipun sebenarnya di belakang layar tetap membiarkan aparat bertindak yang sebaliknya. Jadi ketika ada apa-apa, citra Presiden tetap baik dan ada aparat lapangan yang bisa dikorbankan sebagai yang buruk.
Kentut Kuda Digital
Tentu saja fenomena penghapusan mural sebagai cerminan kemunduran demokrasi ini menjadi polemik perdebatan yang seru. Sayangnya perdebatan tersebut tidak mampu menemukan titik temu dan solusi jalan keluar yang jitu.
Entah kenapa polarisasi pro pemerintah dan anti pemerintah atau oposisi telah membawa diskusi atau perbincangan yang ada seakan-akan membentur tembok penghalang menuju kesepakatan yang menguntungkan bagi masyarakat.Â
Masing-masing hanya mau mendengarkan dan membenarkan pendapat golongannya sendiri-sendiri, sementara pemerintah membiarkannya bahwa menikmati keuntungan dari hal itu karena kesalahan yang dilakukan tidak pernah benar-benar disalahkan secara kemufakatan. Â
Sungguh sangat disayangkan di saat ketika teknologi komunikasi dan informasi telah berkembang pesat dan sangat memanjakan pemakainya, yang dihasilkan justru perpecahan dan keriuhan yang membuat esensi-esensi demokrasi, persatuan dan kesatuan, musyawarah untuk mufakat jauh panggang daripada api.Â