Mohon tunggu...
Rofinus D Kaleka
Rofinus D Kaleka Mohon Tunggu... Insinyur - Orang Sumba. Nusa Sandalwood. Salah 1 dari 33 Pulau Terindah di Dunia. Dinobatkan oleh Majalah Focus Jerman 2018

Orang Sumba, Pulau Terindah di Dunia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tari Mbuku, Gadis Desa, Pujaan Hati Rangga Mone

9 Mei 2019   08:14 Diperbarui: 12 Mei 2019   16:28 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Ceritera yang saya sajikan ini semata-mata fiksi. Nama yang ada di dalamnya juga bukan nama sebenarnya. Hanya saya kurang yakin apakah cocok cerpen atau tidak. Tapi pastinya sebuah cerita.)

*****   

Suatu malam saat sedang di ruang belajar, kami melihat teman kami sedang ngelamun dan cemas. Tidak seperti biasanya, ia paling tekun belajar dan wajar jika menjadi bintang pelajar di sekolah kami.

Kendati kami sebetulnya prihatin kepadanya, namun tidak ada seorang pun di antara kami yang berani bergerak dari tempat duduk kami untuk menghampiri dan menanyakan kondisinya. Karena aturan di asrama tempat tinggal kami, khusus untuk anak-anak laki-laki remaja siswa SMP setempat, tidak membolehkan. Wajib disiplin saat sedang di ruang belajar. Jika ada yang kedapatan mondar-mandir di ruang belajar, maka akan dihukum "berlutut sambil belajar" oleh Bapak Asrama. Mati kutu, bukan?

Malam berlalu tiada terasa dan kami menghampiri pagi yang indah dengan penuh ceria. Namun teman kami yang satu itu masih saja belum bergairah. Semacam kehilangan semangat untuk beranjak ke sekolah.

*****

"Stand up please. Good morning, teacher," sapa kami kepada ibu guru yang sedang memasuki pintu ruangan kelas kami.

"Good morning too," balas ibu guru. Matanya mengawasi seluruh ruangan. Ia menuju meja Rangga Mone.

"Kenapa kamu tidak semangat? Apa kamu sedang sakit?" tanya ibu guru wali kelas III itu.

"Tidak apa-apa bu. Hanya kurang enak badan saja," jawab Rangga Mone.

"Baiklah, kalau begitu," kata ibu guru itu, kemudian menuju ke meja guru untuk memulai mengajar.

Guru-guru di sekolah kami memang tampak sangat menyayangi Rangga Mone. Hal ini wajar saja. Mana ada guru yang tidak menyayangi siswa seperti Rangga Mone. Selain pandai, ia juga rajin, tidak sombong, dan sopan serta tutur katanya santun.

Ia juga suka bergaul. Tidak pilih-pilih. Tampak Tulus. Wajarlah, jika teman-temannya suka berempati kepadanya.

Rangga Mone juga rupawan. Tidak suka usil lagi. Wajar. Jika gadis-gadis remaja di sekolahnya pun senang merapat kepadanya. Bahkan ada beberapa gadis remaja yang menyukainya.

*****

Ketika lonceng istirahat sudah bunyi, kami mulai mendekati Rangga Mone dan coba mengorek informasi tentang situasi yang dialaminya. Mula-mula ia berusaha mengelak, tidak mau membuka apa yang sedang dirasakannya. Tapi karena kami terus mendesaknya, maka ia pun mau membaginya, dengan persyaratan kami harus merahasiakan. Deal!

"Sudah seminggu ini saya menyatakan cinta saya kepada seseorang. Tapi belum ada jawaban darinya," tutur Rangga Mone.

"Masih anak-anak juga, kamu sudah mulai cinta-cintaan sih. Jadinya pusing begini. Kiranya ada apa begitu. Akhirnya, macam orang yang mau mampus saja," goda salah satu teman kami.

"Bersabar teman. Pasti gadis itu akan segera balas surat kamu. Kalau saya lihat-lihat sih, kalian sangat cocok. Seperti raja dan ratulah," kata teman kami yang lain memberi semangat.

"Siapa jembatannya? Supaya saya temui," sambung saya. "Jembatan" adalah orang yang menjadi perantara surat cinta. Waktu itu, kalau menyatakan cinta belum berani mengatakan secara langsung. Masih pakai jembatan.

"Jangan ... jangan ... jangan. Nanti ketahuan banyak orang," kata Rangga Mone. Rupanya ia khawatir kalau gadis yang dicintainya itu diketahui oleh teman-temannya dan akan menggoda atau menjahilinya.

Kami bergegas segera masuk kelas kembali, setelah lonceng tanda waktu istirahat telah berbunyi.

*****

Tari Mbuku adalah siswi yang berada satu kelas di bawah tingkat Rangga Mone. Gadis remaja inilah pujaan hati Rangga Mone.

Cantik ya,  memang cantiklah. Kulitnya sawo matang. Wajahnya bulat telur. Rambutnya lurus sampai di bahu. Senyumnya manis dan anggun. Bodinya seperti peragawati. Pandai dan santun. Olahragawati pula di sekolahnya. Bintang sekolah juga.

Sejak sehari setelah dikirimi surat oleh Rangga Mone, sikap Tari Mbuku tidak seperti biasanya. Mulai berubah drastis. Jangankan mendekat seperti sebelumnya. Wajahnya pun diusahakan tidak mengarah ke sisi Rangga Mone.

Ini isyarat kalau Tari Mbuku sudah menerima dan membaca isi surat Rangga Mone.

Tentu saja Rangga Mone senang karena suratnya sudah diterima oleh gadis pujaan hatinya.  

Seminggu lebih berlalu,  belum juga ada kabar surat balasan dari Tari Mbuku. Bagi Rangga Mone rasanya seperti bertahun-tahun lamanya. Hati Rangga Mone makin gelisah.

Ketika hampir dua minggu, baru  "jembatan" mendatangi Rangga Mone dan menyerahkan surat dari Tari Mbuku.

"Selamat pagi. Ini buku yang kamu pinjam," kata jembatan itu. Begitulah cara teman-teman waktu itu kalau menitipkan surat cinta.

"Terima kasih. Titip salam ya," balas Rangga Mone, sebelum jembatan tadi meninggalkannya.

Hati Rangga Mone saat itu sangat senang. Malah gembira kegirangan. Ingin rasanya ia melompat-lompat. Namun ia tidak bergegas membuka surat tersebut untuk mengetahui isinya. Ia berencana akan membukanya saat sudah tiba di asrama.

Saat magrib pun tiba. Rangga Mone segera menyalakan pelita minyak tanah di ruang belajar. Kemudian ia segera mengambil surat dari dalam tasnya. Tas yang terbuat dari daun pandan. Tangannya bergetar saat membuka amplopnya.

Secepat kilat Rangga Mone membaca surat dari Tari Mbuku. Isinya di luar dugaan dan harapannya. Tidak seperti yang terisyarat dari sikap dan gestur tubuh Tari Mbuku saat dekat-dekat merapat dengannya.

"Mohon maaf kak, saya belum berpikir untuk pacaran. Masih konsentrasi untuk belajar. Lebih baik kita sebagai kakak dan adik saja," tulis Tari Mbuku dalam suratnya.

Isi surat Tari Mbuku ini bagi Rangga Mone adalah penolakan halus atas cintanya. Terjadi gempa lokal. Tubuhnya cukup gemetar. Perasaannya berkecamuk tak karuan.  Kepalanya nyut-nyut.  Sepanjang malam itu. Wajar. Maklum. Realitis.

Walau hati Rangga Mone kurang menerima, namun otaknya logis menerima.  Ia memaklumi dengan suatu harapan yang tetap kuat, jika suatu waktu nanti gadis pujaannya itu akan menjadi kekasih hatinya.

Sepertinya ia sudah mendahului pikiran Ron Holland yang muncul belakangan, "Apa yang kamu pikirkan itulah yang akan kamu didapatkan".

Tambolaka, 8 Mei 2019

   

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun