Yupz, demikian analogi saya terkait kondisi Laut China Selatan. Diplomasi merupakan opsi utama yang bakal dilakukan pemerinyah Indonesia untuk mempertahankan wilayahnya dari incaran negara asing.
Kita boleh bersahabat dan memiliki hubungan baik sejak puluhan hingga ratusan tahun. Namun, terkait kedaulatan, tidak ada tawar-menawar. Kita harus mempertahankan setiap jengkal wilayah di Tanah Air hingga tetes darah terakhir.
Termasuk, Laut Natuna Utara yang masuk dalam Laut China Selatan. Ini saya berbicara fakta.Â
Tepatnya, sebagai Warga Negara Indonesia yang dalam 15 tahun terakhir rutin menuangkan ide, gagasan, dan pemikiran dalam blog.
Maklum, dalam Konvensi PBB Tahun 1982 terkait Hukum Laut Internasional atau Hukum Perjanjian Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS), memutuskan perairan Natuna masuk dalam ZEE Indonesia.
Secara sah, Indonesia punya hak untuk mengendalikan kekayaan ekonomis di dalamnya untuk kepentingan rakyat. Itu meliputi menangkap ikan, menambang, eksplorasi minyak, navigasi dunia penerbangan, hingga menanam pipa dan kabel di bawah laut.
Di sisi lain, berdasarkan berita yang saya baca pada 2021 lalu, Kapal Perang Tiongkok mondar-mandir di Laut Natuna Utara hingga membuat nelayan kita yang sedang menangkap ikan jadi ketakutan.Â
Masih pada tahun yang sama, Tiongkok memperingatkan pemerintah Indonesia untuk menyetop pengeboran minyak dan gas alam di Laut Natuna Utara yang masuk dalam Laut China Selatan.
Aneh kan. Kita beraktivitas di wilayah sendiri tanpa mengganggu orang lain. Pada saat yang sama, tetangga sebelah justru protes dan meminta kita untuk menghentikan aktivitas tersebut.
Kalau saya pribadi sih, akan lantang bersuara kepada pemerintah untuk menegaskan satu kata: Lawan!
* Â Â Â * Â Â Â *