Belilah Kolak dan Takjil Buka Puasa di Pedagang yang Sepi
RAMADAN merupakan bulan penuh berkah. Baik itu untuk mendapatkan pahala dengan beribadah maupun dalam mencari rezeki.
Ya, setiap Ramadan, memang perputaran roda ekonomi sangat menggeliat. Di awal bulan, dengan banyaknya warga yang berdagang makanan untuk berbuka puasa.
Baik itu kolak, gorengan, cemilan, kurma, minuman segar, dan sebagainya. Biasanya, berjejer di pinggir jalan yang menggugah selera.
Sementara, pertengahan bulan diramaikan dengan belanja busana jelang Lebaran. Baik itu baju, sepatu, busana muslim, dan sebagainya.
Jelang Idul Fitri, giliran moda transportasi yang kebanjiran berkah masyarakat yang ingin mudik. Pulang ke kampung halaman bisa dengan bus, kereta api, pesawat, ferry, atau travel.
Intinya, sepanjang 30 hari pada Ramadan, perputaran ekonomi di Tanah Air sangat menggeliat. Termasuk, saya sebagai ojek online (ojol) yang turut dapat berkah bulan puasa.
* Â Â Â * Â Â Â *
RINAI yang membasahi ibu kota sejak Sore membuat suasana kian syahdu. Di jalan raya, kemacetan mengular karena hari ini, pertama masuk kerja setelah libur cukup panjang.
Pada saat yang sama, suara jemaah di Masjid dan Musala terdengar merdu. Sahut-sahutan saat melaksanakan Salat Tarawih.
Tepatnya, saat saya melintasi kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kebetulan, saya baru selesai mengantar makanan dari mal di Senayan.
Setelah buka puasa, saya langsung tancap gas menyalakan aplikasi ojol. Hari kedua Ramadan 1445 H, Rabu (13/3) saya absen Tarawih.
Buka pun di pinggir jalan disela-sela mengantar orderan. Beda dengan hari pertama, saya sahur dan buka di rumah bersama keluarga yang dilanjutkan Tarawih.
Setiap buka, menu saya identik. Air putih, kolak, dan gorengan.
Saya tidak bisa langsung makan berat seperti nasi, karena bikin ngantuk. Biasanya, baru santap usai Tarawih atau pukul 21.00 WIB.
Nah, saat itu, saya buka di Rawabelong, Jakarta Barat. Cukup air mineral, kolak pisang, dan bala-bala yang dibuat Ibu di rumah.
Usai nganter orderan, saya duduk sejenak di emperan toko. Lanjut ngemil bala-bala dengan dicocol cengek.
Ketika itu, jalanan lumayan macet. Dari  belakang, terdengan jemaah yang sedang menunaikan Salat Tarawih.
Pada saat yang sama, arah Jam 9 dari posisi saya duduk, terdapat seorang pedagang. Saya amati sedang termenung duduk depan meja kayu panjang.
Tampak, dagangannya masih banyak. Terlihat bungkus lontong, kolak, dan kerupuk mie.
Saya pun spontan melirik jam di tangan kanan. Menunjukkan pukul 20.39 WIB.
Alias, sudah lewat dua jam lebih sejak buka puasa. Namun, dagangan tersebut masih cukup banyak.
Sementara, berjarak beberapa meter di sampingnya ada deretan meja jualan yang sudah sepi. Pertanda, sang pemiliknya sudah pulang karena dagangannya habis.
Beda dengan ibu tersebut yang masih duduk. Meski jalanan ramai, tidak ada yang singgah untuk beli.
Maklum, buka puasa sudah lewat. Jarang ada yang mau beli kolak atau gorengan.
Seketika, saya terpantik. Jadi teringat Ibu saya yang jualan depan rumah pada 1996-2019.
Saya pun beranjak menuju dagangan tersebut. Engga ada niat apa-apa.
Sekadar ingin beli buat santap berat. Secara, sejak buka puasa hanya ngemil kolak dilanjutkan bala-bala.
Ternyata, menunya cukup lengkap. Ada Mie Goreng, Kwetiaw, Bihun, Tahu Isi, Lontong, dan Kerupuk Mie.
Saya beli sebungkus Kwetiaw, dua Tahu Isi, dan Kerupuk Mie. Sambalnya dipisah.
Ibu itu melayani dengan cekatan. Tampak, rautnya sangat semringah.
Usai mendapat kembalian, saya pun mengucapkan terima kasih. Disambut sang penjual dengan khidmat.
Tak lama, bunyi orderan di salah satu aplikasi. Saya pun bergegas meninggalkan lokasi tersebut.
Sepanjang jalan saya jadi ingat pengalaman Ibu yang jualan lebih dari 20 tahun. Sebagai single parents, Ibu merupakan wanita yang luar biasa.
Tanpa kenal lelah dalam membesarkan dua anaknya. Juga anak angkatnya sejak 2013 silam.
Setiap Senin-Jumat sejak pagi hingga Sore, jualan nasi, lauk, dan sayur. Kebetulan, dekat rumah banyak usaha konveksi, sablon, dan percetakan yang karyawannya pada makan di tempat kami.
Sabtu, Minggu, dan Libur, ganti dengan kue atau cemilan. Belinya, di Pasar Kue Subuh Senen, Jakarta Pusat.
Ketika Ramadan, jam dagang Ibu pun berubah dengan dua kali. Mulai pukul 15.00 hingga selesai buka dan 02.00 WIB sampai jelang imsak.
Seperti halnya pedagang, adakalanya ramai. Jualan cepat habis.
Di sisi lain, kadang juga harus siap saat sepi. Dagangan numpuk, bahkan tidak balik modal sama sekali.
Ya, itu risiko sebagai pedagang. Dulu, seusai Tarawih saya sering melihat Ibu saya merenung depan dagangannya yang masih banyak.
Ketika ditanya, pasti dijawab, "Udah dikit. Mau abis, kok. Tenang aja."
Padahal, aslinya masih banyak.
Sumpah, masih banyak banget.
Kejadian ini bukan sekali dua kali.
Namun, Ibu berkata gitu bukan bermaksud bohong.
Melainkan, untuk membesarkan hati kami, anak-anaknya. Bahwa, dagangannya habis atau tidak, Ibu ingin memastikan kepada kami, bahwa dunia tetap baik-baik saja.
Itu mengapa, saya kalau melihat pedagang, khususnya saat Ramadan ini, jualannya masih banyak meski sudah lewat Maghrib, saya usahakan beli. Minimal kolak atau gorengan yang memang bisa dinikmati hingga Sahur.
Ya, tidak ada salahnya untuk melariskan dagangan mereka yang sepi. Terutama, jika yang jualan adalah tetangga atau masih satu lingkungan.
* Â Â Â * Â Â Â *
- Jakarta, 15 Maret 2024
* Â Â Â * Â Â Â *
Artikel Terkait
-
-
* Â Â Â * Â Â Â *
...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H