"Ah, belum tentu dia seperti itu. Itu kan hanya rumor, faktanya kan rezeki, jodoh, dan kematian yang mengatur Thian. Kita jangan usilan, mending kembali bekerja."
* Â Â Â * Â Â Â *
Sejak itu, aku rutin menemuinya. Tak kuperdulikan apa kata mereka tentang Yang Liu, yang ironisnya tetangga sejak kecil. Terlepas latar belakangnya baik atau buruk. Toh, aku senang berteman dengan Yang Liu. Termasuk ketika menunggui di rumahnnya seusai pulang dari sembahyang di sebuah kelenteng.
Saat itu, ada seorang perempuan setengah baya menghampiriku. Tanpa tedeng aling-aling, beliau yang mengaku sebagai ahli nujum memintaku agar jangan mendekati Yang Liu. Sebuah permintaan yang nyaris mustahil kukabulkan. Bagaimanapun, aku punya hak untuk berteman dengan siapa saja tanpa dirintangi. Itu wilayah pribadi. Privasi.
"Terserah Anda kalau tidak percaya. Yang pasti, sebagai sesama manusia, saya sudah mengingatkan," ujar perempuan yang menyebut dirinya sebagai suhu, atau guru spiritual itu kepadaku. Saat itu, aku hanya mengangguk tanda menerima nasihatnya. Dan, dalam hati tentu saja menolak, sebab aku tidak ingin disetir orang lain.
"Sebelum pergi, saya ingin memberi sesuatu sebagai penangkal. Saya harap Anda menerimanya."
"Terima kasih, suhu."
"Satu hal lagi, lihatlah altar persembahan itu. Bukankah ada yang aneh dengan patung Guan Yu?"
"Ya Bu. Di kediaman kami, Patung itu memegang golok dengan tangan kanan. Tapi, di sini malah sebaliknya."
"Nah itulah. Yang penting Anda harus hati-hati," katanya sambil memberikan selembar daun yang penuh aksara.
* Â Â Â * Â Â Â *