Mohon tunggu...
Robigustas
Robigustas Mohon Tunggu... Penulis - Penulis riang

Suka pizza. *Setiap nama yang ada di cerpen, bukanlah nama sebenarnya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saingan

9 Juli 2023   20:03 Diperbarui: 9 Juli 2023   20:21 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ara dan Devi bertengkar. Saling mengumpat.

Tidak hanya saling lempar umpatan saja yang mereka lakukan. Mereka juga melakukan kontak fisik. Jambak-jambakan. Saling dorong. Kerudung keduanya hampir saja terbuka karena itu.

Saling menabok. Tampak seperti tidak ada rasa ampun maupun mengalah. Itu terjadi di lingkungan sekolah. Saat istirahat. Para siswa menyaksikan.

Akhirnya keduanya dilerai oleh guru yang sedang lewat. Keduanya dipangggil---menghadap guru BP.

Keduanya lantas menjelaskan asal muasal pertengkaran.

Ara mengklaim dirinya tidak bersalah. Ia menyalahkan Devi. Pun dengan Devi. Ia mengklaim dirinya tidak bersalah. Ara lah yang menurutnya bersalah.

Guru BP melerai. Di ruangan itu, mereka masih saja adu argumen. Guru BP yang bernama Ningsih pun bingung: apa yang sebenarnya terjadi.

Guru BP kemudian mengajak Arad an Devi ke ruangannya. Diminta cerita apa yang sesungguhnya terjadi. Tidak perlu malu-malu.

Keduanya kemudian menceritakannya. Keduanya duduk saling berhadapan. Saling menatap. Lebih tepatnya melotot. Tapi ditegur oleh guru BP.

"Sudah. Kalian jelasin di sini dengan sejelas-jelasnya," pinta guru BP.

Guru BP lantas tersenyum. Hampir saja tertawa.

Ternyata persoalan sepele, yang harusnya tidak sampai terjadi pertengkaran.

Namun, guru BP memahaminya: anak muda. Sedang labil-labilnya.

Guru BP itu tidak menghukum mereka. Ia hanya memberikan peringatan agar jangan diulangi lagi kejadian itu (pertengkaran). Malu kalau teman-teman tahu, kata dia.

Guru BP meminta keduanya kembali ke kelas masing-masing.

Keduanya baru duduk di bangku kelas II SMA. SMA swasta di daerah Jakarta Timur.

Keduanya sama-sama menjadi pusat perhatin. Menjadi buah bibir. Itu karena keduanya cantik. Putih.

Perbedaannya, Ara memakai kacamata, sedangkan Devi tidak. Dan kebanyakan siswa laki-laki mengidolakan mereka.

Sebetulnya, tidak hanya cantik. Keduanya juga pintar di kelas masing-masing. Guru-guru bahkan mengapresiasi keduanya, karena sering masuk tiga besar dalam peringkat kelas.

Teman-teman di kelas mereka heboh. Hampir semua temannya tahu apa yang terjadi. Ara dan Devi tidak mau tahu. Masak bodo.

Ada juga temannya (dekat), yang merasa peduli dengan keduanya. Memberikan nasihat begini dan begitu. Ara dan Devi hanya mendengarkan. Lagi-lagi tidak mau tahu.

Guru Bahasa Indonesia masuk ke dalam kelas Ara. Ara langsung disorot tajam olehnya. Ditanya apa yang terjadi tadi. Ara menjelaskan. Guru Bahasa Indonesia, Budi, tidak percaya. Sebab dia sudah tahu dari cerita guru BP, Ningsih.

"Kalau kamu merasa tersaingi, jangan begitu mestinya. Malu," Ara diingatkan.

Teman-teman yang tidak tahu apa yang diucapkan Pak Budi, penasaran. Mereka berbisik-bisik kepada teman sebangkunya. Guru Bahasa Indonesia itu menegur.

Di kelas sebelah, ada Devi, pun demikian. Diperingati sama seperti Ara.

Devi diperingati oleh guru matematika, Sulaiman.

Kata dia, mestinya Devi dengan jangan seperti itu lagi. Tidak baik. Kalau memang mau saingan, saingan lah secara sehat. Tidak perlu adu fisik yang akhirnya menjadi keributan di sekolah.

Guru-guru yang masuk ke kelas mereka hampir mengirim pesan berupa peringatan yang sama kepada keduanya. Mereka tidak mau kejadian itu terulang kembali. Khawatir bikin malu sekolah. Maklum, sekolah Arad an Devi ini adalah salah satu sekolah swasta favorit di Jakarta, bahkan di Indonesia. Jadi, rasanya tak pantas jika ada keributan yang meributkan hal-hal sepele.

Bel sekolah berbunyi. Tanda usai jam belajar di sekolah. Siswa maupun siswi satu persatu ke luar ruang kelas menuju pintu gerbang sekolah. Pun dengan Arad an Devi. Keduanya juga keluar.

Masih lirik-lirikan antara keduanya. Ara dengan teman-temannya. Devi dengan teman-temannya.

Teman-teman keduanya juga saling melirik. Ikut-ikutan. Solidaritas yang biasa dilakukan oleh anak-anak (perempuan) sekolah pada saat itu. Untung tidak dilanjutkan pertengkaran itu di luar sekolah.

***

Yusuf dipanggil guru BP ke ruangannya. Yusuf sudah tahu pasti akan dipanggil oleh guru BP, Ningsih. Itu, kata dia, pasti soal keributan beberapa hari lalu di sekolah, antara Arad an Devi.

Saat terjadi keributan, Yusuf tidak masuk. Ia sakit. Tapi, ia mengetahui cerita (keributan) itu dari teman-temannya. Sempat kaget.

Yusuf pun malu, sebenarnya. Ia tidak menyangka bahwa hal itu bisa terjadi. Bagaimanapun, dia merasa tidak enak dengan pihak sekolah.

"Kayak apa aja gua ini," katanya dalam hati.

Walaupun beberapa teman dekatnya kerap mengejeknya seperti bangga menjadi rebutan tetapi Yusuf bukanlah orang seperti itu.

Ia hanyalah anak yang menganggap dirinya biasa-biasa. Tidak lebih. Apalagi jika dibandingkan dengan teman-temannya yang lain soal, misal "kesombongan" materi, jauh. Hanya ada lima ruang kelas II.

Yusuf hanya anak yang sederhana. Tidak juga pintar. Biasa-biasa saja. Peringkat di kelas saja ia hanya masuk 10 besar. Tidak pernah meningkat. Tapi, kata kebanyakan teman-temannya, Yusuf memiliki sopan santun yang lebih dari siswa atau siswi biasanya. Mungkin saja ini yang membuat Ara dan Devi menunjukkan simpatinya.

Dari itu, ia, Ara, dan Devi, sama-sama cukup dikenal oleh banyak guru. Bahkan guru saja segan oleh Yusuf.

Yusuf juga tidak pernah satu kali terlihat dimarahi oleh guru-guru. Berbeda dengan yang lain. Maka ia sempat bingung mengapa guru BP memanggilnya. Sekaligus bingung terhadap perbuatan Ara dan Devi.

"Kamu tahu maksud saya memanggil?" tanya guru BP, Ningsih.

Yusuf terpaksa menjawab tidak tahu. Jawabannya dimaksudkan agar apa yang terjadi antara Ara dan Devi bisa cepat selesai. Juga agar dia tidak dilibatkan lebih jauh.

Kemudian guru BP menjelaskannya. Yusuf hanya terdiam saja. Sesekali ia mengangguk mendengarkan apa yang disampaikan oleh gurunya itu.

Guru BP itu meminta agar Yusuf bisa membantu memberi pengertian kepadanya. Yusuf menolak dengan halus. Menolak karena tidak merasa bukan siapa-siapa. Lagi pula, kata dia, ini soal haknya Ara dan Devi kepada dirinya. Ia tidak bisa mencegahnya.

Sang guru BP paham maksud Yusuf. Tapi, ia ingin Yusuf tahu, bahwa pertengakaran mereka tidak akan terjadi jika saja siswa berkulit sawo mateng itu lebih dahulu memberi pengertian atau lebih ke sikap.

Guru BP yakin, tidak mungkin Yusuf tidak memiliki rasa pada keduanya. Keduana sudah jelas primadona sekolah. Siapa saja mau sekali mendekati Ara dan Devi.

Yusuf hanya diam. Apa yang disampaikan oleg guru BP itu ada benarnya. Yusuf tidak memungkirinya.

Ia memang memiliki rasa kepada salah satunya. Hanya saja lagi-lagi ia tidak mau diketahui siapa pun, termasuk teman dekatnya.

Ia akan mencoba permintaan guru BP itu.

***

Ara terus memasang sinyal ke Yusuf.

Ara yang duduk di belakang, terus memberikan kode-kode berupa ucapan yang mengarah ke rasa suka kepada dirinya.

Yusuf hanya diam. Sesekali melirik untuk melihat apa yang tengah Ara lakukan di bangkunya.

Teman-teman Ara pun demikian. Memberikan kode-kode tertentu kepada Yusuf agar mau mengambil sikap untuk Ara.

Sekelas sudah mulai berisik. Heboh. Kadang jengkel dengan Yusuf karena dinilai tidak bergerak cepat, salah satunya teman sebangkunya, Fahmi.

"Gila! Disukai wanita cantik dan pintar bukannya langsung ditanggapi---malah diam," celetuk Fahmi.

Mereka tahu, bahwa Yusuf juga memiliki rasa yang sama seperti Ara. Hanya saja, Yusuf tidak berani dan tidak percaya diri untuk mengungkapkannya. Yusuf memang begitu dari dahulu. Tidak pernah ada keberanian. Bahkan cenderung dingin kepada wanita.

Segala kode yang diberikan Ara untuk memancing Yusuf terus dilancarkan.

Yusuf tetap bergeming. Cuek.

Yusuf malu sekali. Tapi, begitulah masa SMA. Kalau tidak ada "pengalaman" seperti itu, mungkin tidak bisa disebut SMA. Tiba-tiba Yusuf mulai manuver.

Dia tunjukkan foto Ara di depan teman sekelasnya. Teman sekelas kagetnya bukan main. Terlebih Ara, sampai-sampai ia tidak bisa berkata-kata lagi.

Ara heran dan bertanya-tanya mengapa Yusuf sampai memiliki fotonya.

Padahal, ia tidak pernah memberikannya kepada siapa pun (laki-laki) di kelas maupun di sekolah.

Jelas itu kehebatan Yusuf. Ternyata dia sudah lama benar-benar memiliki rasa suka ke Ara. Sejak lama. Hanya saja, ia tidak berani dan tidak percaya diri untuk mengungkapkan. Lebih ke malu sebenarnya.

Saat itu, sekelas heboh akibat "atraksi" Yusuf.

Keduanya pun didorong-dorong oleh teman mereka yang ada di dalam kelas untuk saling dekat.

Kelas makin heboh. Sampai-sampai siswa dari ruang kelas lain datang ke ruang kelas Yusuf dan Ara.

Kabar mereka akhirya sampai ke Devi. Devi marah.

Ia merasa kalah dengan Ara. Devi akan ambil tindakan.

Devi berencana melabrak Ara.

Sebelum rencana itu terwujud, keesokan harinya, Yusuf menyamperi Devi. Berbicara baik-baik kepadanya.

Yusuf menjelaskan dengan tenang ke Devi.

"Ini soal rasa, Dev. Bukan khianat. Mohon mengerti," kata Yusuf pelan, ketika bertemu di lorong sekolah, dekat kantin.

Devi hanya terdiam. Apa yang disampaikan Yusuf mengena ke dirinya. Tampaknya ia mulai mengerti, kalau rasa tidak mungkin khinat, ternasuk dia ke Yusuf, dam Yusuf ke Ara. Rasa Yusuf tidak ke Devi.

Tadinya ia marah. Kemudian ia sadar. Tapi, rasa itu sudah terlanjur kuat ke Yusuf. Devi mesti mengambil langkah revolusioner.

Sudah bertengkar, kalah pula dalam mendapatkan Yusuf. Devi, keluar dari sekolah.

Ia pindah sekolah. Teman-teman yang mengetahuinya kaget bukan main. Bisa-bisanya hanya soal rasa, Devi bertindak demikian.

Namun, itu yang terjadi. Yusuf tidak menyesal "menolak" Devi. Lebih baik jujur daripada memelihara kebohongan yang akan terus ditutupi kebohongan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun