Mohon tunggu...
Robigustas
Robigustas Mohon Tunggu... Penulis - Penulis riang

Suka pizza. *Setiap nama yang ada di cerpen, bukanlah nama sebenarnya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Pahlawan Kesiangan"

27 Juni 2023   07:11 Diperbarui: 27 Juni 2023   07:35 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tidak seperti biasa, Irwan sudah berada di ruangannya. Biasanya, ia berada di dalam ruangannya menjelang jam makan siang. Ternyata, hari ini ia akan menginterview calon karyawan baru.

Ada tiga orang yang akan diinterview olehnya. Dua perempuan, satu laki-laki. Semuanya, kalau diterima akan menjabat sebagai supervisor.

Di lobi memang tampak banyak calon karyawan yang akan bergabung pada perusahaan startup ini. Semuanya mengenakan pakaian sama: hitam putih, dengan kemeja berwarna putih dan celana bahan berwarna hitam.

Tampak pula petugas keamanan lantai dasar (lobi) sibuk mendata mereka yang akan mengikuti seleksi karyawan. Cukup hiruk.

Banyak posisi yang sedang dibuka oleh perusahaan yang bergerak di bidang jasa ini. Tapi paling banyak untuk posisi sales dan marketing. Sekira butuh 30-an orang, dengan masing-masing cabang di sales dan marketing.

"Nanti akan ada yang tes sama gua. Lu tolong bantu nilai ya, Pur?" Irwan, berpesan ke Purwa sebagai atasannya.

Purwa menjawab oke.

Selain Purwa, ada Ihsan, ia juga dimintai tolong oleh Irwan untuk membantu menilai tiga calon karyawan nanti yang akan diinterviewnya.

Ihsan menjawab sama: oke. Ihsan sama seperti Purwa, supervisor.

Jarum jam menunjukkan masih pukul 9 pagi. Biasanya, calon karyawan akan mengikuti serangkaian tes, seperti tertulis, juga interview dengan HRD.

Apabila HRD menyatakan baik (baca: lulus), barulah diserahkan ke user-nya.

User bisa dikatakan sebagai penentu untuk calon karyawan yang ingin bekerja. Sebab user-lah yang nanti menjadi atasannya langsung. Purwa sudah melewati masa itu.

 "Ngopi dulu, Pak. Masih jam 9, nih," ajak Purwa ke Irwan.

Irwan pun menanggapi dengan oke. Keduanya segera turun ke lobi. Ihsan minta ikut, dengan menahan pintu lift yang hampir saja tertutup.

Ketiganya sampai di lobi. Irwan berbisik-bisik ke Purwa, "Banyak benar yang ngelamar ya, Pur."

Purwa menganggukan kepala, tanda setuju dengan Irwan.

Ketiganya tidak lama berada di bawah, di warung kopi. Sebelum pukul 10, ketiganya sudah naik ke lantai 5. Ruangan ketiganya berada di sana. Tempatnya orang-orang sales dan marketing.

***

Seli menjadi calon karyawan pertama yang diinterview Irwan. Seperti pada umumnya perusahaan, kalau ingin menerima karyawan baru, Seli dimintta untuk mengenalkan dirinya, menceritakan pengalamannya, hingga karena apa ia merasa pantas diterima di perusahaan.

Semuanya dijawab Seli. Tidak begitu butuh waktu lama untuk menjawab apa yang ditanyakana oleh Irwan.

Seli berusia 24 tahun. Tinggal tidak jauh dari kantor perusahaan.

Calon kedua yang diinterview Irwan adalah Dahlah. Ia lulusan S1. Sama seperti Seli.

Dahlah pun diminta hal sama seperti Seli: mengenalkan dirinya, menceritakan pengalamannya, hingga karena apa ia merasa pantas diterima di perusahaan.

Dahlah tinggal cukup jauh dari kantor perusahaan. Butuh 1 jam ia ke sini.

Calon karyawan ketiga yang diinterview Irwan bernama Dimas. Dimas baru lulus. Belum menikah. Tinggal tidak jauh dari kantor perusahaan.

Dimas juga ditanyakan hal yang sama seperti Seli dan Dahlah.

Namun, pada akhirnya, Dimas tidak lulus, karena belum memiliki pengalaman.

Sedangkan Seli dan Dahlah lulus. Diterima di perusahaan yang pusatnya di sini, di Jakarta.

Seli dan Dahlah pun langsung diminta Irwan besok sudah bisa masuk kantor.

"Masuk kantor pukul 9 pagi. Di sini pulangnya pukul 4 sore. Untuk pakaian, bebas tetapi sopan," Irwan menyampaikan sebelum mengakhiri interview keduanya.

Keduanya menjawab, "Baik, Pak."

***

Irwan, kini memiliki empat orang "pembantu". Purwa, Ihsan, Seli, dan Dahlah. Harusnya lima---dikurangi Dimas yang tak lulus. Irwan tak masalah. Tim dengan empat orang ini diyakini juga bisa membuat angka-angka penjualan naik signifikan.

Benar saja, keempat orang itu dapat mendongkrak angka penjualan. Kurang dari satu tahun, Seli dan Dahlah sudah diberikan bonus. Purwa dan Ihsan juga diberikan bonus.

Keempatnya satu tim. Di bawah Irwan.

Melihat timnya jaya, Irwan dipanggil atasannya. Penasaran mengapa angka anak-anaknya (biasa disebut begitu oleh Irwan) bisa naik dengan signifikan.

Atasannya pun akhirnya bertemu tim Irwan. Diperkenalkan lah satu per satu personel tim itu. Walaupun Purwa dan Ihsan lebih dahulu bergabung di perusahaan ini, tapi belum pernah satu kali atasan Irwan turun ke "lapangan" menemuinya. Ini karena masuknya Seli dan Dahlah.

Tersiar kabar ke banyak orang tentang keberhasilan Irwan mendidik anak-anaknya. Sampai-sampai bos besar, pemilik perusahaan melirik timnya Irwan, terutama Seli.

Seli, dibanding dengan Purwa, Ihsan, dan Dahlah, menyumbang angka terbanyak. Ia, dalam sebulan menyumbang angka 100 penjualan dari target 120 per bulan selama kurang enam bulan. Mendekati Seli adalah Purwa: 90. Disusul Dahlah, kemudian Ihsan.

Mulai nama Seli menjadi buah bibir. Ia pun tidak menyangka.

Namun, sebagai pribadi yang "masak bodo", ia menganggap itu hanya keberuntungan. Hanya hoki, katanya.

Teman-teman Irwan banyak penasaran dengan Seli. Sampai-sampai meminta nomor kontak Seli kepada Irwan. Banyak alasan untuk itu.

Seli mendengar kabar itu, lagi-lagi ia "masak bodo". Ia hanya bekerja. Tidak lebih. Dan tidak mau memikirkan hal lain.

***

Seli mulai merasa terganggu dengan "pamornya".

Ia kemudian menceritakan itu kepada Purwa. Purwa menjawab atau merespons apa-apa yang menjadi gangguannya.

Seli dan Purwa makin intens komunikasi, karena ia tak sanggup dengan "pamornya". Ada pula cerita lain yang diceritakan Seli, yaitu soal "orang lain".

Purwa menganggap Seli berlebihan (soal pamor). Itu biasa saja bagi Purwa. Tak ada yang istimewa. Dalam dunia sales marketing, semua bisa terjadi, termasuk di kemudian hari angka Seli jatuh.

Adapun orang-orang yang menjadi seperti pengagum Seli, dianggap Purwa norak. Apalagi mereka yang sampai mengajak Seli keluar untuk makan dan lain sebagainya, dinilai Purwa tidak beradab. Sebab sebagian mereka telah memiliki anak dan isteri.

Purwa jengkel. Tak habis pikir dengan para pengagum Seli itu. Baginya, Seli itu hanya wanita biasa. Tapi, Seli memang cantik.

Seli terus komunikasi dengan Purwa. Keduanya merasakan ada kedekatan, walaupun terbatas: hanya teman. Tapi, dengan intensitas itu, Seli malah merasakan kenyamanan dengan Purwa.

Purwa tidak tahu akan hal itu.

Ia hanya tahu, bahwa Seli adalah temannya. Sekantor. Anak baru yang di bawahnya (karena lebih duhulu masuk). Anak baru yang diterima karena ia yang membantu memberikan nilai ke Irwan, atasannya itu (yang meminta).

Seiring waktu, Seli makin "menggila". Menunjukkan tingkah layaknya suka kepada seseeorang.

Purwa mulai risih. Purwa jaga jarak. Tapi tidak bisa. Sebab keduanya berada di satu ruang sama, bersama Ihsan dan Dahlah juga.

Purwa terjebak.

***

Seli dan Purwa makin intens melakukan komunikasi. Purwa merasa ada yang salah dengan dirinya, terlebih Seli karena telah ada "seseorang".

"Untuk menyelamatkannya dari para pengagumnya, kayaknya gua jadi 'pahlawannya' aja, lah," Purwa berbicara dalam hati.

Purwa menjadi "pahlawannya". Bermaksud untuk meminimalisir keadaan para pengagumnya. Purwa makin dekat dengan Seli.

Purwa makin menunjukkan kedekatannya dengan Seli. Kata Purwa tak mengapa laku demikian terjadi. Demi menyelamatkan Seli, katanya.

Tapi sial, Purwa malah lebih "menggila" daripada Seli. Setiap komunikasi, Purwa kerap menunjukkan rasa tidak biasanya. Sikap dan perilaku Purwa seperti orang yang sedang menyukai seseorang. Bahkan, setiap pulang kantor, kadang Seli diantar hingga ke rumahnya.

Tersiar kabar kedekatan Purwa dengan Seli.

***

Hampir tiga tahun kedekatan Seli dengan Purwa berjalan. Perjalanan keduanya seperti orang yang benar-benar sedang memiliki hubungan. Ada emosional di dalamnya.

Purwa tak menyangka bisa bersikap begitu kepada Seli. Pun Seli sebaliknya. Keduanya sama-sama bertanya di dalam hati.

Seiring berjalannya waktu, hubungan mereka makin kuat. Orang di dalam gedung dengan 10 lantai itu bahkan sudah ada yang beberapa tahu "hubungan" mereka. Seli "masak bodo". Purwa sebaliknya. Ia risih, karena seperti menjadi artis. Lebih dari itu, merasa bersalah karena telah menjadi "pahlawannya".

Seli mengetahui perasaan Purwa. Tapi Seli tidak peduli. Merasa tidak ada yang salah, karena menurutnya apa yang ia rasa adalah cinta. Tidak dibuat-buat.

Purwa tidak menyalahkannya. Sulit memang membuktikan cinta itu salah atau tidaknya. Sebab Purwa pun demikian. Tapi, tidak benar juga menurut Purwa mencintai wanita yang nyatanya ada "orang lain" selain dirinya.

Purwa tahu itu enam bulan belakangan ini.  Seli menutupnya dari Purwa, Dahlah, Ihsan, Irwan, dan orang lain di dalam kantor.

"Cukuplah hanya aku yang kau jadikan 'pengisi waktu kosongmu', Seli," pinta Purwa.

Tidak lama, Seli resign dari kantor. Diikuti Irwan. Kemudian Dahlah dan Ihsan.

Tak ada lagi komunikasi antara Purwa dengan Seli hingga bertahun-tahun lamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun