Mohon tunggu...
ROBERTUS DARVINO KARNO
ROBERTUS DARVINO KARNO Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lahir pada bulan November, tanggal 15, 1993. Menyukai pemikiran Herakleitos tentang Pantha Rei. Bahwa sesuatu itu mengalir dan dinamis.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kata Hati Part III-Diary Perjalanan ke Samosir

26 April 2022   22:49 Diperbarui: 26 April 2022   23:49 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Foto: Dokpri

PART 3

Waktu menunjukkan pukl 05.00 pagi, Sabtu akhir pekan pertama bulan Maret. Kami segera membersihkan badan dan mengemas kembali barang-barang bawaan ke dalam tas. 

Desiran angin pagi di depan hotel Horas Abadi yang berhadapan langsung dengan danau Toba menggelitik pori-pori kulit. Udaranya sangat segar dan sejuk. Sembari menunggu teman-teman yang lain saya memilih duduk di depan bal-bale hotel sambil menarik sebatang rokok Acika ditemani segelas kopi.

Ayo, ayo jalan. Terdengar suara dari kamar sebelah meminta kami untuk segera bergegas. Itu adalah Febri yang sedari tadi sudah bersiap. Satu persatu keluar dari kamar hotel berjalan menuju tempat parkira mobil. Sebelum berangkat kami berpamitan dengan pihak hotel dan memberikan sebuah amplop yang berisi beberapa lembar uang sebagai tanda sewa atas penginapan semalam.

Hati-hati kalian yah, semoga perjalanannya hari ini menyenangkan. Ucap inang Abadi sembari menyalami kami satu persatu. Selepas pamitan kami langsung meninggalkan hotel itu. 

Hari masih remang-remang memantulkan sisa cahaya rembulan malam dari langit-langit cakrawala. Waktu menunjukkan pukul 05.30 ketika kami menianggalkan Tuk-Tuk daerah tempat kami menginap selama satu malam. Kami meninggalkan Tuku-Tuk persis saat gerimis, sisa hujan semalam yang lebat mengguyur sebagian besar wilayah pulau Samosir. Jalan-jalan dipenuhi dengan genangan air.

Pagi hari kendaraan masih sangat sepi karena mobilitas masyarakat belum begitu padat. Di depan kami Bang Firman mengendarai mobil kijangnya dengan laju yang cukup kencang berhubung hari semakin pagi. Sebentar lagi matahari terbit dan memantulkan sinarnya yang panas. Itu akan membuat kami kewalahan mendaki Holbung. 

Bang Firman ini sangat setia mendampingi dan menemani kami. Hari ini dia merelakan waktunya untuk menemani kami mengunjugi tempat-tempat yang telah ada dalam list agenda.

Dalam agenda yang telah dibuat, hari kami akan melakukan perjalanan ke beberapa tempat yakni; bukit Holbung, Sibea-bea dan Onanrunggu. Kami harus pergi pagi-pagi buta supaya bisa mendaki bukit Holbung sebelum panas mentari menyengat. Di sepanjang jalan menuju Sibea-bea saya menikmati pemandangan danau yang sangat indah. 

Di pinggir jalan terdapat rumah warga Samosir dengan kekhasan budaya Batak. Satu hal yang saya banggakan dengan orang Batak adalah perihal budaya. Mereka sangat terikat dan terkontrol oleh sistem budayanya. Dalam pandangan klasik kelekatan denga budaya memang merupakan sutau kekuatan primordial yang tak mudah dilepaskan oleh seorang. Tetapi perlu diingat bahwa kebudayaan memiliki makna yang sangat dalam yakni pemersatu seluruh warga lokal. Orang yang mencintai budayanya adalah orang yang mengenal hakekat dan identitasnya. Sebaliknya melupakan budaya adalah melupakan budaya menandakan orang yang tidak mengenal siapa dirinya.

Ada satu hal yang selalu membuatku bertanya-tanya ketika melihat rumah yang dibangun dengan tekhnik lobi di mana rumah itu dibuat menyerupai perahu. Pintu masuknya sangat pendek, jika diukur mungkin tingginya hanya satu meter lebih. 

Saya mendapatkan jawaban dari rasa "kepo" saya ini dari seorang teman kuliah ketika mempresentasikan tugas Filsafat Nusantara terkait kearifan lokal. Beliau menjelaskan bahwa pintu tersebut sengaja dibuat pendek karena memiliki sebuah gagasan filosofis yang kuat dalam budaya Batak. 

Bagi orang Batak setiap tamu yang masuk ke rumah harus menunduk kepada tuan rumah. Dia harus bersikap sopan dan rendah hati. Tidak boleh melakukan hal yang sembarangan. Tuan rumah adalah raja. Mungkin ini yang dimaksudkan dengan filosofi Hasangapon yang didefinisikan meiliki kehormatan atau kemuliaan.

Dari Tuk-Tuk ke Sibea-bea ternyata membutuhkan waktu yang cukup lama yakni kurang lebih satu setengah jam. Kami harus melewati jalan yang berkelok-kelok dikelilingi oleh tebing dan pepohonan yang tinggi menjulang. Pelahan semburat cahaya mentari pagi memancar dari cela-cela bukit. Sangat indah dan menawan. 

Setelah berjalan cukup jauh tibalah kami di titik pemisah antara pulau samosir dan pulau Sumatra. Meski untuk menyeberang kami tetap menggunakan jalur darat karena tidak ada titik yang yang memutuskan antara Samosir dan Sumatra. 

Dalam perencanaan pemerintah Kabupaten Samosir akan membuat titik pemisah dengan membelah daratan tersebut dan membangun jembatan besar sebagai sarana penyeberangan. Dengan demikian titik pemisahnya menjadi jelas.    

Kami tiba di Sibea-Sibea sekitar pukul 08.00 pagi. Di pintu gerbang terdapat beberapa kendaraan roda empat dan roda dua yang parkir berjejer. Ternyata gerbang belum dibuka. Kami pun harus menunggu selama kurang lebih tiga puluh menit. 

Kemudian gerbang dibuka dan kami pun bisa memasuki area wisata bukit Holbung. Dari bukit ini keindahan danau toba sangat menawan. View danau pada pagi hari memang sangat indah mempesona. Saya benar-benar menikmati pemandangan yang sangat indah ini. 

Tuhan memang sungguh luar biasa. Karya tangan-Nya sangat emngagumkan. Di puncak bukit sedang dibangun patung Tuhan Yesus dengan ukuran yang sangat besar. Dalam hati sayang merenungkan betapa religiusnya orang-orang Samosir sehingga mereka membangun patung rohani sebagai sarana untuk memperdalam keimanan mereka.

Kami harus menghemat waktu berada di bukit itu berhubung agenda-agenda kami sudah dikemas dalam bentangan waktu yang sudah tersusun rapi. Kami mempunyai waktu tiga puluh menit untuk berfoto ria supaya ada kenangan dari Sibea-bea.

Setelah berfoto bersama kami segera meninggalkan tempat itu dan berangkat ke Holbung. Ini perjalanan yang tidak mudah. Jalannya curam, mendaki dan berkelok-kelok serta berluang. Pengemudi harus ekstra hati-hati dalam mengemudi kendaraan. Setelah hampir satu jam melewati jalan yang ekstrim itu akhirnya kami tiba juga di bukit Holbung. Kami tiba sekitar pukul 09. 15 menit.

Dari kejauhan saya menatap deretan perbukitan yang berbaris apik mengeilingi danau Toba. Tinggi sekali. Rupanya dari sana pemandangan danau Toba akan kelihatan semakin cantik. Ekspetasi ini menyuruhku untuk segera mendaki bukit tersebut. Tanpa berlama-lama kami pun bergegas.

Ingat, waktu kita Cuma satu setengah jam untuk mendaki. Itu berarti sekitar pukul 11.00 kita harus sudah berada di sini kembali. Sahut saudara Dowen untuk mengingatkan kami akan waktu yang diperlukan mendaki bukit itu. Maklum sore ini kami harus segera kembali ke Siantar setelah makan siang di Onanrunggu yang sudah dijadwalkan jam 1 siang. Kapal terakhir yang akan mengantar kami kembali ke Siantar sekitar pukul 16.00. Itu berarti lagi-lagi kami harus menggunakan waktu dengan efektif.

Pendakian pun dimulai. Pada bukit yang pertama tenagaku masih sangat fresh. Di situ kami menjumpai banyak kawula muda. Semalam mereka ngecamp di sini menikmati alam yang indah. Dengan tenaga yang masih nyali, kami melanjutkan pendakian ke bukit yang kedua. Lagi-lagi kami menjumpai anak-anak muda yang duduk melingkar sembari menikmati kopi pagi dan menyanyi ria. Mereka kelihatan sangat happy.

Permisi bang, permisi kak. Sahut kami ketika melewati rombongan anak-anak muda tersebut. 

Mari bang. Silahkan lewat. Balas beberapa orang dari mereka.

Masih jauh sekali puncaknya yah bang. Tanyaku pada seseorang yang sedang asyik menyeduh kopi di tangannya.  

Masih jauh bang, ini pun orang abang belum seberapanya mendaki bukit ini. Baru bukit kedua nih bang. Sahut pemuda itu membalas pertanyaanku.

Aku terus melanjutkan pendakian berpacu dengan beberapa teman-teman lainnya. Kulihat dari kaki bukit yang ketiga, puncak Holbung masih sangat jauh. Hingga akhirnya, bukt demi bukit dilalui dan tibalah kami di puncak bukit Holbung. Beberapa dari kami memilih kembali karena kelelahan.

Dari puncak itu saya menyaksikan panorama danau Toba yang sangat indah. Aku menatap dalam diam bebukitan yang berjejer apik mengelilingi danau itu. Bukit yang tinggi menjulang. Sesungguhnya dari puncak Holbung kita masih bisa melihat beberapa bukit yang lebih tinggi. Namun, entah kenapa Holbung adalah bukit yang sangat diminati oleh para wisatawan.

Di bukit itu kami menjumpai dua orang wanita paruh baya yang sedang asyik berfoto dan mengambil video untuk keperluan konten YouTube. Dengan spontan saya berkenalan dengan keduanya.

Mia. Sahut wanita bertubuh ramping dengan rambut pikal sembari mengulurkan tangannya.

Aku Vino kak. Balasku.

Aku Efa. Sahut yang satunya lagi sembari mengulurkan tangan menjabat tanganku.

Aku Vino kak, balasku.

Berawal dari perkenalan yang sederhana hingga berlanjut ke foto bareng dan take video lalu bertukaran nomor whats up untuk mentransmisikan hasil jepretan dari masing-masing kamera. Bukan untuk basa-basi.

Orang asli mana mba, sahutku pada kak Mia yang sedang mengambil video.

Aku orang Jakarta bang. Balasnya.

Kalau abang orang mana, pasti orang Timur yah, kedengaran dari dialegnya. 

Benar kak, aku dari Flores. Saat ini tinggal di Siantar karena sedang kuliah di Unika St. Thomas Medan. 

Kalau kak Efa orang mana. Tanyaku pada kak Efa yang sedang asik memotret

Aku orang Batu Bara bang. Balasnya.

Aku udah pernah ke Flores, ke Labuan Bajo, Wae Rebo dan Todo lokasi wisata Mbaru niang itu. Sahut kak Mia.

Wah keren mba. Uda sampai ke daerah saya. Balasku menanggapi kak Mia.

Jadi abang orang Manggarai, timpal kak Mia.

Iya kak. Benar. 

Wah, keren yah pariwisata di sana. Makin berkembang. Sahutnya lagi.

Obrolan kami semakin banyak membahas seputaran wisata. Aku kagum dengan keduanya. Mereka memiliki pengalama traveling yang luar biasa. Sudah menjelajah beberapa daerah di Indonesia. 

Dengan demikian semakin banyak ilmu traveling yang mereka pelajari. Selain itu wawasan mereka juga tentu saja semakin diperkaya. Karena setiaptempat wisata yang dikunjungi pasti memiliki latar belakang sejarah, budaya dan nilai filososfisnya tersendiri. Mungkin hal itulah yang membuat orang suka menjelajah tempat-tempat wisata.

Bermula dari perkenalan itu diskusi kami pun berlanjut pada saat turun dari bukit. Kak Mia menceritakan pengalamannya berkunjung ke Labuan Bajo, ke pulau Komodo dan beberapa tempat wisata di Flores Manggarai. Asyik, keren dan inspiratif. Betapa bahagianya masa muda mereka, bisa mengelilingi daerah-daerah wisata di Indonesia. Bagi saya Indonesia memang merupakan Firdaus yang memiliki banyak keindahan alam yang mempesona. Obrolan kami terasa sangat hangat. Keduanya sangat ramah dan very welcome.

Karena keterbatasan waktu kami pun terpaksa harus mendahuli mereka menuruni bukit itu, berhubung waktu sudah hampir menunjukkan pukul 11.00. sewaktu mendaki kami sudah berjanji untuk tiba kembali di kaki bukit pada pukul 11.00. Jika mendaki sangat melelahkan tentu untuk kembali tidak begitu melelahkan tetapi tetap saja badan terasa perih karena menuruni bukit yang tajam. Hingga akhirnya kami tiba di tempat parkiran mobil dengan nafas yang terengah-engah, kecapaian, letih dan lelah.

Setelah beristirahat beberapa menit, meneguk air putih, kami segera bergegas meninggalkan Holbung menju Onanrunggu. Di sana ada sebuah keluarga yang sudah menunggu kedatangan kami. Untung saja Bang Firman mengetahui jalan pintas yang mempercepat dan mempermudah perjalanan ke Onanrunggu. Kami melewati kampung Sihotang yang letaknya persisi di bawah kaki bukit Holbung. Dari atas bukit Sihotang tampa sangat indah. 

Deretan pematang sawah, perkebunan dan rumah-rumah warga memanjkan mata setiap pengunjung Holbung. Setiba di Sihotang kami menyeberang dengan sebuah kapal Very berukuran mini khusus mengangkut kendaraan. Kurang lebih 20-an menit kami menyeberang dan tibalah kami di Palipi. Selanjutnya menuju Onanrunggu.

Di Onanrunggu kami dijamu dengan menu makanan yang sangat lezat. Ikan panggang, daun ubi, buah-buahan dan bebrapa menu lainnya. Saya sangat menikmati jamuan yang disajikan oleh tuan rumah tersebut. Setelah makan siang kami pun berpamitan. Tentu saja saya merasa sangat berterimakasih atas kebaikan keluarga ini. Kebakan itu memang tercecer di mana-mana. Bahkan ketika kamu berpikir bahwa kamu adalah yang paling buruk, setidaknya bagi Tuhan kamu tetaplah mahluk yang diciptakan-Nya dengan sungguh amat baik.

Kami kembali ke Tomok, melewati jalan yang berkelok-kelok, berbukit-bukit dan beberapa titik krusial yang perlu dilalui dengan penuh kewaspadaan. Kami tiba di Tomok sekitar pukul 16.00 dan langsung menuju ke pelabuhan Ambarita untuk mengejar jadwal kapal yang akan berlayar ke pelabuhan Ajibata. Kami berterimakasih kepada Bang Firman yang sudah membantu kami dalam perjalanan ini. Beliau sangat baik dan setia menemani kami ke beberapa tempat yang telah dikunjugi. Setiba di pelabuhan kami segera membeli tiket kapal dan kembali ke Sinaksak-Siantar.  

Sehari setelah perjumpaan itu aku menulis di catatan harianku demikian.

Hari itu, Akhir pekan pertama awal bulan Maret, telah terjadi transfigurasi. Perjumpaan dengan kak Mia dan kak Efa. Itulah perubahan rupa yang saya alami. Mungkin pertemuan itu sederhana saja. Tetapi bagi saya sangat bermakna. Perjumpaan dengan orang asing tak harus membuat kamu terasa asing apalagi diasingkan. Maka tidak ada pilihan lain selain kamu harus memberanikan diri berkenalan, bertanya dan membangun komunikai. Kelak alam menentukan kegunaan dari semua pertanyaan itu. 

Perbedaan di antara kami lantas tak membuat jarak. Tidak ada rasa enggan setelah komunikasi dibangun. Tidak ada lagi orang asing ketika ego dilepaskan dan melihat suatu realitas dengan kacamata yang lebih universal, bahwa semua saudara-sesama manusia yang diciptakan Tuhan. Kita tidak pernah berkembang jika kita tidak membuka diri dengan orang lain. Mendengarkan orang lain bercerita tentang pengalamannya juga akan memeperkaya wawasanmu kelak. 

Terimakasih Holbung. Terimakasih pribadi-pribadi yang telah membuka wawasanku tentang indahnya persaudaraan, indahnya perbedaan dan indahnya Indonesia Raya. 

Sekian tentang dyari perjalanan ke Samosir. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun