Mohon tunggu...
Randy Mahendra
Randy Mahendra Mohon Tunggu... Penulis - Warga Biasa

Warga Biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pembunuhan di Pagi Buta

22 Januari 2024   23:56 Diperbarui: 22 Januari 2024   23:57 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Terima kasih, gadis manis," kata Sahid sembari menyeringai sehingga wajahnya yang terlalu sering terbakar matahari menjadi berkerut-kerut. Maria menjawabnya dengan menganggukkan kepala. Ia terlihat gugup. Dan cepat berbalik menghindari Sahid. Sedangkan Syarif merunduk tak berani menatap Maria. Seolah ia ingin menyembunyikan wajahnya di balik meja. Syarif cepat berubah dari satu keadaan, ke keadaan yang lain.  Kini ia mirip bocah kecil kena marah ayahnya. Melihat ekspresi anak lelakinya, mendadak Sahid berhenti menyeringai. Sembari memandangi anaknya, jarinya diketuk-ketukkan di atas permukaan meja.

Di meja lain, para nelayan berceloteh seenak mereka. Sesekali terdengar pisuhan, ejekkan, ledakan marah, dan tertawa yang panjang.

Bahkan ketika Maria sudah di kamar, suara mereka menghasilkan bunyi seperti dengung lebah. Membikin Maria sulit terlelap. Ia berguling ke kiri dan ke kanan. Saat-saat seperti itu, ia akan merindukan suasana lain. Mungkin saja jika ia melanjutkan sekolah suasananya akan berbeda.

Tak ada dengung lebah. Melainkan suasana sunyi di asrama. Hari-hari dipenuhi dengan belajar dan belajar. Berdoa dan berdoa.

Ia ingat bagaimana rencana melanjutkan sekolah itu gagal. Saat itu ketika Maria sedang bimbang, Syarif dengan suaranya yang berat berhasil menahannya. "Kau tega meninggalkanku, Maria?" Maria diam. "Kau tidak boleh pergi, Maria," bujuk Syarif. "Kau tidak boleh pergi, manisku, yang mempunyai mata seperti bulan sabit." Maria diam. "Aku mencintaimu, Maria." Maria diam. Syarif putus asa. Beberapa detik mereka saling diam. Hanya debur ombak yang tak henti-henti menengahi mereka. Lalu seperti tahu apa yang ingin didengar oleh Syarif, Maria segera berkata, "aku tetap di sini, Syarif."

Kemudian Syarif akan  merayuannya lagi dengan membabi buta. Dengan rayuannya yang manis. Sehingga membikin pipi Maria merona merah. Begitulah, akhirnya mereka memilih untuk tidak melanjutkan sekolah.

Maria menepis kenangannya itu. Lalu ia mencari-cari suara Syarif di luar sana: di meja di ruang kedai yang tak begitu luas. Tapi yang terdengar tinggal sayup-sayup suara ibu berdebat dengan pelanggan terakhir yang tentu saja sedang mabuk. Kemudian terdengar derit suara pintu kedai ditutup. Dan suara klentang-klenting gelas dan botol yang dibereskan dari meja.

Boneka yang hilang di pagi hari

Pagi hari sebelum orang-orang bangun dari tidurnya, sesosok jasad tergeletak di pantai. Tubuhnya terhempas-hempas oleh ombak. Tiap ombak menghempas tubuhnya, tangannya bergerak-gerak seperti ingin menggapai sesuatu. Seolah jasad itu masih hidup. Tapi tubuh itu tinggal sesosok jasad yang sudah  mati.

Saat cahaya matahari mulai berkilauan di ufuk timur, jasad itu terlihat semakin jelas. Jasad yang tergeletak itu adalah Maria. Jasad yang masih memancarkan cahaya kecantikan. Orang tak akan percaya jika yang tergeletak di atas pasir itu adalah sesosok mayat. Meski kulitnya mulai membiru, tapi tetap saja ia seperti gadis belia yang sedang tidur. Hanya tertidur. Maka orang pertama yang menemukan jasad itu pun terkecoh.

"Bangun, Maria. Bangun!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun