Sejarak sekilo setengah meter dari Pasar Kebon Lonceng, mobil itu kembali berhenti untuk menurunkan penumpang. Debi ikut menghentikan laju skuternya tiga meter di belakang angkot.
"Itu, Debi. Itu orangnya," kata Rus setengah berbisik.
Debi memperhatikan siapa yang turun, lelaki kurus berumur tak jauh dari umur ayahnya. Saat lelaki itu mulai melangkah menyusuri gang, Debi pun melajukan skuternya lagi. Dia berusaha menjaga jarak aman. Tentu Debi tidak mau gegabah, siapa tahu Rus tidak benar-benar melihat lelaki itu membawa ponsel yang sejak tadi keduanya cari. Pelan-pelan, Debi melajukan skuter yang dibelikan ayahnya awal tahun ini.
"Nah itu. Itu Aji, Debi." Setengah berteriak Rus kegirangan melihat foto anaknya berada di genggaman lelaki di harapan mereka.
Debi tidak bisa melihat gambar Aji yang dimaksud Rus. Tapi dia tetap mengikuti. "Jangan merespons berlebihan ya, Teh. Kalaupun itu hape Teteh, kita belum tahu dia dapat dari mana."
Setelah 600 meter, lelaki itu berbelok ke sebuah rumah sederhana berpagar bambu. Debi menghentikan laju skuternya. Dari celah pagar, dia bisa leluasa memandang lelaki itu disambut dua anak laki-laki berbeda umur. Yang satu mungkin masih usia TK, sementara yang satunya usia SD. Keduanya menyambut lelaki itu dengan semringah.
"Ake," teriak bocah paling kecil. Dia berlari menghambur ke pelukan lelaki renta tadi.
"Ake bawa hape buat Abang," kata lelaki itu setengah berteriak.
"Ake bawa hape buat ujian Abang?" Anak yang lebih besar bertanya antusias.
Lelaki itu mengangguk, dan mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
Saat itulah keraguan Debi terjawab. Meski tidak jelas foto siapa yang ada di balik pelindung ponsel itu, tapi dia mengenali susunan foto yang terselip di bagian belakang ponsel yang sering Rus bawa-bawa. "Bener, Teh," bisik Debi kemudian.