Mohon tunggu...
Rizky Kurniawan
Rizky Kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pribadi

Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Syekh-Yusuf Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Andai Aku Sedang Menulis Kisah Patah Hati

20 Maret 2019   14:48 Diperbarui: 20 Maret 2019   15:06 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ad, besok cerpenmu sudah harus kelar, ya? Kamis sudah harus naik, soalnya." Budiarto, pimpinan redaksi majalah dinding SMA Pancar Budaya mengingatkan.

Fuad yang tengah duduk memeriksa esai kiriman siswa terkesiap. Dia menarik pandangan dari laptop.

"Kamu lupa?" tanya Budiarto yang kini sudah duduk menghadapi Fuad.

Fuad menggeleng. "Lupa sih enggak, cuma belum dapat inspirasi."

"Jangan lupa tema! Moral anak didik."

Moral anak didik, ulang Fuad, dalam hati. Fuad kembali memandangi kembali layar laptop. "Aku sudah edit dua esai, kamu bisa cek lagi," ucap Fuad kemudian. Dia menggeser komputer jinjing itu, menggadapkannya pada Budiarto. Iya, dalam kepengurusan klub Jurnalistik, posisi Fuad adalah editor. Selain itu, oleh sebab tulisan-tulisan remaja yang dua bulan lalu genap 16 tahun tersebut dinilai bagus dan banyak ditunggu siswa maupun guru, maka minggu terakhir setiap bulannya, Fuad masih mendapat halaman khusus pada kolom fiksi, spesialisasi cerpen.

Budiarto menarik laptop itu lebih dekat, dan langsung membacanya, sementara Fuad beranjak dari duduknya.

"Aku mau ke kantin, Bud. Habis itu langsung masuk kelas. Kalau dirasa masih kurang, seperti biasa, kasih tanda. Nanti kuperbaiki."

"Gampanglah itu. Yang penting itu cerpen jangan lupa."

Fuad mengangguk, untuk kemudian pergi meninggalkan ruang sekretariat Jurnalistik tersebut.

"Fu!" Tanpa melihat ke sumber suara, Fuad tentu mengenali siapa yang memanggilnya. Ya, hanya perempuan itu yang menyapanya dengan memenggal dua huruf depan namanya. Fivi. Suatu ketika, Fuad pernah bertanya kepada perempuan yang sejak SMP telah menjadi teman sekelasnya itu perihal nama Fivi. Menurut Fuad, pemberian nama tersebut sungguh konyol, karena sulit diucapkan dengan tepat, apalagi buat lidah orang Indonesia. Saat itu Fivi hanya tertawa terpingkal-pingkal, sambil menambahkan kalimat, "Kamu tanya langsung saja sama Mama. Beliau yang mau begitu."

Sejak SMP keduanya memang sangat dekat, apalagi dua tahun pernah duduk semeja. Masuk bangku SMA, keduanya masih berada di kelas yang sama, namun tidak menempati meja yang sama. Walau demikian, kedekatan keduanya tidak dapat dipungkiri siapa pun. Bahkan rekan sekelas mereka pernah beranggapan jika keduanya berpacaran lantaran terlihat sangat dekatnya mereka. Tapi, Fivi lekas meluruskan terkait anggapan teman sekelasnya tersebut. Kini, kelas XI, keduanya beda kelas.

"Gimana, Wenda cantik, kan?" Sambil melingkarkan tangan pada bahu Fuad, Fivi berkata demikian.

"Apaan sih, Vi. Aku itu laper, mau isi perut," balas Fuad tak acuh, dia terus melangkah.

Fivi mengikuti. "Makanya jangan sok sibuk, istirahat itu dipakai buat istirahatlah."

"Ini juga mau istirahat."

Fivi melirik jam yang melingkar di lengan kirinya. "Tapi cuma 17 menit lagi waktunya."

"Masalahnya, kalau kamu ngajak ngomong terus kayak gini, waktu istirahatku makin berkurang."

"Tapi kan masih tetap jalan."

"Tapi sama saja."

"Beda, Fufuuu."

"Udah, enggak usah bawel. Kamu sudah jajan?"

Fivi berhenti, menarik lengan Fuad. Seketika keduanya berhenti melangkah. "Nah, kamu sendiri yang ngajak ngomong," ucap Fivi kemudian, seraya menunjuk wajah Fuad dengan jari telunjuknya.

Fuad memandangi perempuan yang rambut sebahunya dibiarkan tergerai itu. Mata bulatnya selalu memancarkan keceriaan dan rasa optimisme. Fuad menyukainya, seringkali rasa optmis itu menular padanya. "Kamu sudah membuang waktuku lebih lama lagi," ucap pemuda itu akhirnya. Dia melanjutkan langkah ke arah kantin.

Fivi mengejarnya.

**

Fuad tahu dia tidak punya waktu lama di kantin, maka dia memesan batagor untuk mengganjal perut yang sudah kepalang lapar. Jus apel menemani sepiring batagor.

"Fu, ada rencana buat bikin ulasan khusus anggota Osis lagi enggak, sih?" Ya, Fivi ikut menemani Fuad di kantin, dia duduk di hadapan teman laki-laki terdekatnya itu. Tak lupa perempuan yang kali ini bersisian kelas dengan Fuad tersebut memesan jus alpukat sebagai teman menemani karibnya.

Fuad mengerti arah pembicaraan perempuan yang mengambil duduk di hadapannya. "Pemilihan ketua, wakil dan aggota Osis sudah lewat jauh. Dalam jurnalistik, unsur kebaruan itu penting. Novelty," balas Fuad. Siswa dari kelas XI IPA 1 itu membalas jawaban teman wanitanya dengan semasuk akal mungkin. Tujuannya jelas, agar bahasan bisa berubah dengan segera. Dia tidak nyaman.

Sambil memutar sedotan dalam gelas, Fivi menengadahkan kepala, berpikir. "Gimana kalau bahas cewek-cewek cantik di sekolah? Aku yakin Wenda masuk kriteria cewek paling cantik di SMA ini."

"Kenapa harus diskriminatif begitu usulanmu?"

"Ih, bukan.... Makasudku itu, biar kamu bisa dekat sama Wenda. Kamu bisa wawancara dia," balas Fivi sengit. "Lagian, enggak diskriminatif juga kalau bahas Wenda. Selain cantik, dia pintar. Juara umum, kamu ingat? Terus, wenda juga aktif di organisasi sekolah, dia supel. Pokoknya dia banyak menginspirasi."

Fuad menyesap jus apel, untuk mendorong kunyahan batagor dalam mulutnya. "Pertama, posisiku di Jurnalistik itu editor, bukan reporter. Kedua, minggu ini kami sedang mengambil tema, moral anak didik. Kamu nyimak berita akhir-akhir ini? Banyak guru yang justru dapat perlakuan kasar dari peserta didiknya," Fuad menjelaskan. Dia kembali menyesap minumannya. "Budiarto, pimpinan redaksi kami menganggap ini isu yang penting untuk mengisi kolom-kolom majalah dinding sekolah kita. Dalam resahnya, dia tidak ingin kejadian serupa ada di lingkungan sekolah ini. Jadi, enggak ada itu cewek-cewek cantic sekolah," tambahnya lagi. Kali ini pemuda berambut hitam sedikit ikal itu menatap lekat perempuan di hadapannya. Mata sipitnya bertemu dengan mata bulat cerah milik Fivi.

Fivi cemberut mendengar penjelasan itu. "Pinjam hapemu," katanya kemudian.

Tidak perlu menjawab, seperti biasa, Fivi langsung mengambil ponsel yang diletakkan Fuad tak jauh dari piring berisi batagor yang sudah sisa setengah.

Fuad memperhatikan Fivi yang kini sudah sibuk dengan ponsel miliknya. Agaknya, belakangan dirinya menjadi sangat heran dan cukup tersiksa dengan kelakuan Fivi yang memaksa untuk mengenal Wenda. Sebenarnya Wenda tidak terlalu asing buat Fuad. Meski tidak pernah mendiami kelas yang sama, nama Wenda cukup familiar oleh sebab kepintaran siswi tersebut. Sudah tiga kali selama penerimaan rapor namanya dipanggil sebagai murid tercerdas seangkatan mereka. Pernah juga sebenarnya sosoknya dimuat dalam kolom majalah dinding bersama siswa berprestasi lainnya. Hanya saja, menurutnya Fivi tidak mengerti. Dengan dipaksa menyukai orang lain begitu, sebenarnya Fuad merasa patah hati.

"Aku sudah follow akun Instagram Wenda pakai akunmu," ucap Fivi kemudian.

Sontak ucapan itu membuat Fuad tersedak. Dia segera menyesap minumannya kembali. Tenggorokannya terasa perih. "Kamu apa-apaan, sih, Vi?" ucap Fuad kemudian. Meminta Fivi mengembalikan ponselnya. "Kenapa harus maksa aku buat kenal dengan Wenda secara personal."

"Fufu, yang baik hatinya. Wenda itu cocok buat kamu. Dia cantik, cerdas, dan yang paling penting dia naksir kamu."

"Tapi jangan maksa buat aku naksir dia juga, Vi."

"Nah, justru itu. Kamu kenalan, biar akrab. Aku yakin enggak lama buat kamu juga naksir Wenda."

Fuad diam, dia kembali dengan batagornya. Sebenarnya selera makannya sudah sedikit berkurang dengan pembahasan ini.

"Jangan di unfollow! Pokonya kalau kamu unfollow, aku marah," Fivi berkata lagi, mengancam.

"Tapi, Vi."

"Enggak ada tapi," Fivi langsung memotong ucapan Fuad. "Janji?"

Fuad diam memadang lekat perempuan di hadapannya.

"Janji?"

"Iyaaa," Fuad berkata akhirnya. Entah mengapa begitu sulit untuk tidak mengikuti kemauan Fivi.

Fivi tersenyum senang. Dia meletakkan kembali ponsel kepunyaan Fuad tersebut di tempatnya semula.

**

Tak kurang dari 200 meter Fuad harus berjalan kaki untuk sampai ke halte tempat biasa dia menunggu angkot ke arah rumahnya. Jalan selebar tiga meter itu menghubungkan sekolahnya dengan jalan utama.

Biasanya dia berjalan kaki bersama. Budiarto dan beberapa anggota Jurnalistik jika kebetulan mereka ada kegiatan setelah jam pulang sekolah, atau bersama teman semejanya sekarang, Moko. Tapi, lebih sering dia akan berjalan bersama dengan Fivi. Menjelang sore di hari itu, dia hanya seorang diri menyusuri jalan Pancar Budaya. Teman sekolahnya sudah pulang sejak sejam yang lalu, termasuk juga Moko maupun Fivi. Sementara Budiarto dan kawan satu klubnya masih sibuk di sekretariat. Lusa majalah dinding sudah harus naik, banyak yang perlu dikerjakan. Dirinya? Tugasnya untuk mengedit dan memverifikasi konten sudah selesai, maka Budiarto memintanya untuk fokus pada kolom cerpen yang harus diisi.

"Kamu lebih baik pulang duluan, atau ke mana dulu gitu, biar dapat inspirasi. Sisa layout bisa dikerjakan kami. Yang penting cerpenmu harus selesai, biar besok bisa langsung dilayout bersama puisi-puisi yang sudah masuk sejak kemarin." Bagitu tadi Budiarto berkata, meminta Fuad untuk lekas pulang, atau ke mana pun agar cepat dapat inspirasi dan menulis.

"Biar dapat inspirasi," ulang Fuad sambil menyepak kaki ke udara. "Kamu tahu tidak, Bud. Aku sedang patah hati," gerutunya lagi.

Sejarak lima meter dari posisinya, Fuad melihat seekor monyet dalam kerangkeng. Si Ebel, begitu mereka menamai monyet malang itu. Fuad tentu kenal dengan Ebel, pemiliknya adalah penjual bambu batangan di seberang jalan. Saat pertama kali tahu kenyataan itu, Fuad tak habis pikir, kenapa si monyet dikerangkeng di seberang jalan. Apalagi kandangnya---jika memang itu bisa disebut sebagai kandang---terlalu kecil untuk si monyet, pikirnya waktu itu. Seingatnya, oleh ayahnya, di rumah, besi itu digunakan untuk melindungi mesin pompa air dari hujan. Malang, di sini digunakan sebagai kandang oleh pemilik si Ebel.

Fuad memelorotkan ranselnya. Dia ingat, ada pisang yang tidak sempat dimakannya tadi pagi---ibunya yang tiap hari selalu menyelipkan itu dalam ranselnya. Fuad segera mengambil pisang itu dan mengulurkannya pada Ebel.

Monyet itu tak acuh dengan pemberian Fuad. Dia hanya melirik, lantas menengok ke arah yang lain. Buang muka.

Kenapa? pikir Fuad. "Hey, kamu tak suka pisang?" katanya kemudian. Pemuda itu terlihat bingung.

Tak disangka, monyet itu memajukan bibir, dan memperlihatkan giginya. Seperti enggan diajak bicara.

Fuad penasaran. Dia lantas duduk di pinggir jalan, menghadapi si monyet. Biarlah, orang-orang akan berpikir apa, pikirnya, tak peduli. Kali ini Fuad tak peduli jika si monyet tak lekas mengambil pisang pemberiannya, dia tetap memasukkan pisang itu ke kerangkeng. Siapa tahu, nanti akan diambil si monyet. Fuad tetap duduk di sana sambil menunggu.

Cukup lama keduanya dalam posisi demikian. Fuad, memperhatikan si Ebel, sementara monyet itu memalingkan wajah ke arah lain. Enggan.

"Berapa usiamu?" tanya Fuad kemudian. Tentu dia mengerti, si monyet tidak akan membalasnya. Mau bagaimana? Dia tidak bisa berbahasa monyet. "Jika boleh kutebak, kamu sedang gundah?" katanya lagi.

Fuad menarik napas dalam. "Mungkin monyet seusiamu sudah seharusnya bisa kawin. Kau berhak memilih monyet perempuan idamanmu, memadu kasih dengannya, dan lekas punya anak. Anakmu mungkin akan sama sepertimu, seekor monyet. Tentu saja, monyet tetaplah monyet sebagaimana pisang adalah pisang.

"Bel, barangkali kita sama. Jika kamu di dalam kerangkeng sehingga kamu tidak bisa menemui monyet perempuan yang disukai, aku juga sesungguhnya terkerangkeng. Tepatnya perasaanku, Bel. Aku tidak berani mengungkapkan perasaan ini, sementara teman perempuanku justru ngotot mengenalkan pada perempuan yang menurutnya cocok denganku.

"Jika berada diposisiku, apa yang akan kamu lakukan, Bel?

"Jika saranmu aku harus berterus terang, maaf saja, Bel, aku tidak bisa. Aku merasa niatannya itu mempertebal kerangkeng milikku.

"Kau tahu, Bel. Aku menyayanginya, dan ingin membuatnya bahagia. Tapi, rupanya dia juga ingin lihat aku bahagia. Barangkali, kami ingin sama-sama membahagiakan orang yang kami sayangi, tanpa tahu apa yang sesungguhnya membuat kami bahagia. Kamu mengerti maksudku?" Kali ini Fuad memandang Ebel lebih lekat.

Monyet itu sekilas memadanya, untuk kemudian kembali berpaling, tak acuh.

Fuad menyerah, dia membuang napas panjang untuk kedua kali. "Apa para monyet sepertimu punya masalah yang sama ruwetnya? Oh, atau barangkali, untuk urusan perempuan dan perasaan memang sama saja, sulit?

"Ah, tapi aku yakin jika kamu dapat keluar dari kerangkeng ini, kamu bisa langsung berlari mencari monyet perempuanmu. Tak sesulit diriku barangkali.

"Eh, tapi kayaknya cukup sulit juga. Mungkin kamu akan tersesat di kota ini, Bel. Tempat ini jauh dari hutan. Dan jika pun tujuanmu kebun binatang, pusatnya ada di tengah kota. Sulit untuk mencapai ke sana. Kamu bisa mati terlindas truk duluan sebelum sampai kepada monyet perempuanmu.

"Maaf, Bel, bukannya menakut-nakuti. Baragkali memang kamu sama sepertiku, tidak akan pernah sampai pada perempuan yang kita inginkan jika pemilikmu tidak memberikan monyet perempuan untuk menemanimu di sini, atau Fivi yang menyadari perasaanku." Fuad kembali mengaitkan ransel pada bahunya, dia berdiri, siap pergi. "Ingat, Bel. Biar galau begitu, kau tetap harus makan," pesan pemuda itu kemudian. Dia beranjak.

Sejarak lima langkah Fuad meninggalkan Ebel, monyet itu beranjak dari duduknya. Dia lekas menyambar pisang yang tadi diletakkan Fuad di sudut lain kandangnya. Entah, dia memang mengerti ucapan Fuad, atau memang monyet itu hanya gengsi menerima pisang yang tadi disodorkan langsung oleh si yang empunya.

**

Lalu lintas siang itu cukup ramai, namun angkot yang ditunggu belum juga datang. Fuad sudah berdiri di halte bersama beberapa calon penumpang lainnya. Beberapa sudah naik angkot tujuan yang dikehendaki, beberapa turun dari angkot untuk naik angkot yang lain---transit.

Sejarak tidak kurang dari 15 meter, Fuad memperhatikan seorang anak berseragam sekolah membawa kotak berisi aneka minuman dan tisu, serta rokok, mengasong. Seketika pikirannya melayang pada moral anak didik, tema tulisan minggu ini. Dalam pikirannya, dia sedang membandingkan kasus pemukulan siswa pada guru dengan anak yang sedang dalam pandangannya. Yang satu sekolah dengan biaya orang tua, dan petantang-petenteng menantang guru, sementara satunya barangkali sedang berjuang untuk bagaimana bertahan hidup di kota ini. Mencari makan, sambil tetap bisa bersekolah.

"Karakter itu penting," begitu ungkap ayahnya belum lama saat menonton siaran tentang pemukulan oknum siswa pada gurunya. Fuad tak terlalu jauh bertanya mengenai karakter waktu itu. Barangkali ini yang dimaksud Ayah waktu itu, pikirnya.

"Setan! Jalan yang bener dong, lo. Mau mampus, hah?" Seorang pengendara motor berteriak mengagetkan Fuad dan mereka yang sedang berada di halte. Setelah memaki, pengemudi itu langsung tancap gas, ngacir dengan sepeda motornya.

Fuad melihat bocah pengasong itu sudah di seberang jalan. Fuad sadar, bocah itulah musabab si pengemudi tadi melontarkan umpatan tak pantas. Fuad berdiri, mencoba memperhatikan bocah tadi. Kakinya sudah hendak melangkah, ingin menghampiri. Tapi urung lantaran si bocah melangkah cepat, semakin menjauh. Sepertinya tidak apa-apa, pikir Fuad. Dia kembali duduk.

Tak lama angkot yang ditunggu telah datang, dia segera naik.

Dalam perjalanan dia terlihat masih memikirakan bocah berseragam sekolah yang mengasong tadi. Makian si pengendara motor melayang-layang dalam gendang telinganya. Tema moral anak didik juga ikut bergabung. Tak mau kalah, Ebel dan Fivi ikut merangsek dalam pikirannya. Sebenarnya, apa itu moral? pikirnya kemudian.

**

"Moral." Fuad mengulangi satu kata itu terus menerus. Menjelang tengah malam dia masih menghadapi layar monitor komputernya. Sejak tadi, kepalanya pusing memikirkan cerpen bertema moral anak didik yang dibebankan padanya. Sebetulnya, tangannya juga sudah gatal ingin mengetik pesan pada Buadiarto, bahwa dirinya tidak menemukan ide untuk menulis cerita semacam itu. Di sisi lain matanya enggan berpaling dari halaman word yang masih kosong melompong.

Kalau boleh jujur, hatinya sedang gundah. Dia mengingat Fivi yang terus merongrongnya agar dekat dengan perempuan lain, padahal sejatinya Fuad menyukai perempuan yang sudah dikenalnya sejak SMP itu. Ebel, monyet malang ... hatinya juga terasa perih saat melihat monyet itu duduk gundah, barangkali tak ada kekasih. Sementara hatinya juga memikirkan si bocah pengasong yang diteriaki setan. Hatinya patah.

Fuad berpikir, Andai aku sedang menulis kisah patah hati. Ya, pemuda itu merasa barangkali situasinya akan mudah jika tulisan yang dibebankan padanya adalah jenis tulisan dengan tema patah hati. Sesungguhnya, dia sedang berada dalam keadaan yang demikian.

Ide itu melesat dalam pikirannya. Fuad tersenyum. Jemarinya mulai bergerak, menuliskan judul pada halaman word yang kosong sejak tadi. Andai Aku Sedang Menulis Kisah Patah Hati.[]

Tangerang, 13 Februari 2019

Rizky Kurniawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun