Mohon tunggu...
Rizky Kurniawan
Rizky Kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pribadi

Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Syekh-Yusuf Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Andai Aku Sedang Menulis Kisah Patah Hati

20 Maret 2019   14:48 Diperbarui: 20 Maret 2019   15:06 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Enggak ada tapi," Fivi langsung memotong ucapan Fuad. "Janji?"

Fuad diam memadang lekat perempuan di hadapannya.

"Janji?"

"Iyaaa," Fuad berkata akhirnya. Entah mengapa begitu sulit untuk tidak mengikuti kemauan Fivi.

Fivi tersenyum senang. Dia meletakkan kembali ponsel kepunyaan Fuad tersebut di tempatnya semula.

**

Tak kurang dari 200 meter Fuad harus berjalan kaki untuk sampai ke halte tempat biasa dia menunggu angkot ke arah rumahnya. Jalan selebar tiga meter itu menghubungkan sekolahnya dengan jalan utama.

Biasanya dia berjalan kaki bersama. Budiarto dan beberapa anggota Jurnalistik jika kebetulan mereka ada kegiatan setelah jam pulang sekolah, atau bersama teman semejanya sekarang, Moko. Tapi, lebih sering dia akan berjalan bersama dengan Fivi. Menjelang sore di hari itu, dia hanya seorang diri menyusuri jalan Pancar Budaya. Teman sekolahnya sudah pulang sejak sejam yang lalu, termasuk juga Moko maupun Fivi. Sementara Budiarto dan kawan satu klubnya masih sibuk di sekretariat. Lusa majalah dinding sudah harus naik, banyak yang perlu dikerjakan. Dirinya? Tugasnya untuk mengedit dan memverifikasi konten sudah selesai, maka Budiarto memintanya untuk fokus pada kolom cerpen yang harus diisi.

"Kamu lebih baik pulang duluan, atau ke mana dulu gitu, biar dapat inspirasi. Sisa layout bisa dikerjakan kami. Yang penting cerpenmu harus selesai, biar besok bisa langsung dilayout bersama puisi-puisi yang sudah masuk sejak kemarin." Bagitu tadi Budiarto berkata, meminta Fuad untuk lekas pulang, atau ke mana pun agar cepat dapat inspirasi dan menulis.

"Biar dapat inspirasi," ulang Fuad sambil menyepak kaki ke udara. "Kamu tahu tidak, Bud. Aku sedang patah hati," gerutunya lagi.

Sejarak lima meter dari posisinya, Fuad melihat seekor monyet dalam kerangkeng. Si Ebel, begitu mereka menamai monyet malang itu. Fuad tentu kenal dengan Ebel, pemiliknya adalah penjual bambu batangan di seberang jalan. Saat pertama kali tahu kenyataan itu, Fuad tak habis pikir, kenapa si monyet dikerangkeng di seberang jalan. Apalagi kandangnya---jika memang itu bisa disebut sebagai kandang---terlalu kecil untuk si monyet, pikirnya waktu itu. Seingatnya, oleh ayahnya, di rumah, besi itu digunakan untuk melindungi mesin pompa air dari hujan. Malang, di sini digunakan sebagai kandang oleh pemilik si Ebel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun