Fivi cemberut mendengar penjelasan itu. "Pinjam hapemu," katanya kemudian.
Tidak perlu menjawab, seperti biasa, Fivi langsung mengambil ponsel yang diletakkan Fuad tak jauh dari piring berisi batagor yang sudah sisa setengah.
Fuad memperhatikan Fivi yang kini sudah sibuk dengan ponsel miliknya. Agaknya, belakangan dirinya menjadi sangat heran dan cukup tersiksa dengan kelakuan Fivi yang memaksa untuk mengenal Wenda. Sebenarnya Wenda tidak terlalu asing buat Fuad. Meski tidak pernah mendiami kelas yang sama, nama Wenda cukup familiar oleh sebab kepintaran siswi tersebut. Sudah tiga kali selama penerimaan rapor namanya dipanggil sebagai murid tercerdas seangkatan mereka. Pernah juga sebenarnya sosoknya dimuat dalam kolom majalah dinding bersama siswa berprestasi lainnya. Hanya saja, menurutnya Fivi tidak mengerti. Dengan dipaksa menyukai orang lain begitu, sebenarnya Fuad merasa patah hati.
"Aku sudah follow akun Instagram Wenda pakai akunmu," ucap Fivi kemudian.
Sontak ucapan itu membuat Fuad tersedak. Dia segera menyesap minumannya kembali. Tenggorokannya terasa perih. "Kamu apa-apaan, sih, Vi?" ucap Fuad kemudian. Meminta Fivi mengembalikan ponselnya. "Kenapa harus maksa aku buat kenal dengan Wenda secara personal."
"Fufu, yang baik hatinya. Wenda itu cocok buat kamu. Dia cantik, cerdas, dan yang paling penting dia naksir kamu."
"Tapi jangan maksa buat aku naksir dia juga, Vi."
"Nah, justru itu. Kamu kenalan, biar akrab. Aku yakin enggak lama buat kamu juga naksir Wenda."
Fuad diam, dia kembali dengan batagornya. Sebenarnya selera makannya sudah sedikit berkurang dengan pembahasan ini.
"Jangan di unfollow! Pokonya kalau kamu unfollow, aku marah," Fivi berkata lagi, mengancam.
"Tapi, Vi."