"Ad, besok cerpenmu sudah harus kelar, ya? Kamis sudah harus naik, soalnya." Budiarto, pimpinan redaksi majalah dinding SMA Pancar Budaya mengingatkan.
Fuad yang tengah duduk memeriksa esai kiriman siswa terkesiap. Dia menarik pandangan dari laptop.
"Kamu lupa?" tanya Budiarto yang kini sudah duduk menghadapi Fuad.
Fuad menggeleng. "Lupa sih enggak, cuma belum dapat inspirasi."
"Jangan lupa tema! Moral anak didik."
Moral anak didik, ulang Fuad, dalam hati. Fuad kembali memandangi kembali layar laptop. "Aku sudah edit dua esai, kamu bisa cek lagi," ucap Fuad kemudian. Dia menggeser komputer jinjing itu, menggadapkannya pada Budiarto. Iya, dalam kepengurusan klub Jurnalistik, posisi Fuad adalah editor. Selain itu, oleh sebab tulisan-tulisan remaja yang dua bulan lalu genap 16 tahun tersebut dinilai bagus dan banyak ditunggu siswa maupun guru, maka minggu terakhir setiap bulannya, Fuad masih mendapat halaman khusus pada kolom fiksi, spesialisasi cerpen.
Budiarto menarik laptop itu lebih dekat, dan langsung membacanya, sementara Fuad beranjak dari duduknya.
"Aku mau ke kantin, Bud. Habis itu langsung masuk kelas. Kalau dirasa masih kurang, seperti biasa, kasih tanda. Nanti kuperbaiki."
"Gampanglah itu. Yang penting itu cerpen jangan lupa."
Fuad mengangguk, untuk kemudian pergi meninggalkan ruang sekretariat Jurnalistik tersebut.
"Fu!" Tanpa melihat ke sumber suara, Fuad tentu mengenali siapa yang memanggilnya. Ya, hanya perempuan itu yang menyapanya dengan memenggal dua huruf depan namanya. Fivi. Suatu ketika, Fuad pernah bertanya kepada perempuan yang sejak SMP telah menjadi teman sekelasnya itu perihal nama Fivi. Menurut Fuad, pemberian nama tersebut sungguh konyol, karena sulit diucapkan dengan tepat, apalagi buat lidah orang Indonesia. Saat itu Fivi hanya tertawa terpingkal-pingkal, sambil menambahkan kalimat, "Kamu tanya langsung saja sama Mama. Beliau yang mau begitu."