Mohon tunggu...
Rizky Kurniawan
Rizky Kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pribadi

Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Syekh-Yusuf Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Kerbau yang Melompat ke Dasar Curug

14 Desember 2018   09:05 Diperbarui: 14 Desember 2018   09:24 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bocah itu duduk di atas batu, menengadahkan kepala. Dia memerhatikan air yang berloncatan, deras menuruni lereng curam. Ada beberapa undakan, tapi itu tak menghalangi airnya untuk turun. Barangkali, begitulah seharusnya manusia hidup, meluncur bersama keberanian, pikir si bocah.

Si bocah tak menghitung, sudah berapa lama berada di sana. Tapi, dia meyakini bahwa ambunya kini sedang mencarinya.

**

Ma Sia mulai kuatir anaknya belum juga pulang, padahal waktu sudah hampir magrib. Terakhir Eman pamit padanya untuk pergi ke ladang, semana biasa. Tapi saat Ma Sia menyusul, si bocah tak ada di sana. Orang-orang di ladang juga bilang tak melihat Eman sejak pagi. Ma Sia kemudian naik sedikit ke lereng, barangkali bocah itu ada di sana. Si bocah suka sekali rebung bambu, mungkin dia sedang memilah bambu muda untuk kemudian dibawa ke rumah. Tapi, lagi-lagi Ma Sia tidak menemukannya, hanya ada seekor Ular Gibuk melingkar di bawah batang-batang bambu yang menjulang, tersamarkan daun-daun yang gugur. Ma Sia akhirnya kembali menuruni lereng. Kemana bocah itu, pikirnya.

Perempuan itu kini duduk gelisah di beranda rumah panggungnya yang reot. Ayam-ayam sudah mengajak anak-anaknya mendekam di kandang, di kolong rumah, sementara Eman belum juga kelihatan batang hidungnya.

Beberapa pemuda terlihat melintasi rumah itu, membawa ember berisi air bersih. Tadi, Ma Sia memberhentikan salah satunya, dan bertanya apakah Eman ada di pemandian? Pemuda yang ditanya menggeleng.

Bagaimana cinta bisa membuatnya seperti itu, pikir perempuan paruh baya tersebut. Ma Sia merasa pernah jatuh cinta, kepada suaminyakini sudah tiadatapi tak pernah dia merasakan apa yang Eman rasakan. Barangkali, seingatnya, suaminya pun tak pernah berperilaku seperti Eman. Dari mana Eman bisa berpikir seperti itu, lagi-lagi Ma Sia memaksa dirinya untuk berpikir.

Kegelisahan Eman sudah dilihatnya sejak tengah malam. Ma Sia terbangun saat merasa ada yang mengetuk-ngetuk bagian rumah panggungnya. Beberapa kali suara itu timbul tenggelam, berganti dengan suara kereot yang lain. Ma Sia kemudian terlonjak, dia beranjak dari tikar tipis yang dipakainya untuk tidur.

Setelah mendengar dengan saksama, dia kemudian meyakini bahwa suara itu berasal dari ruang kecil yang dipakai Eman untuk tidur. Tidak melongok ke kamar atau sekadar menarik gorden yang digunakan untuk pintu kamar, Ma Sia mengintip melalui celah kecil bilik bambu. Benar dugaannya, suara itu berasal dari sana. Eman dilihatnya begitu gelisah. Dia tidur menghadap bilik, kemudian mengetuk-ngetuknya. Tak berapa lama dia berbalik, tidur miring ke arah sebaliknya. Tak lama kembali lagi menghadap bilik. Gelisah betul kau, nak, pikir Ma Sia.

Berpikir tak ada apa-apa pada rumahnya selain si bocah yang tengah gelisah, Ma Sia hendak kembali ke kamarnya di sudut lain.

"Kenapa kau pergi, Cinta?" Lirih, suara itu didengar Ma Sia. Tentu Eman asal muasal kalimat itu.

Tak salah, bocahku sedang jatuh cinta, pikir Ma Sia. Kemudian dia benar-benar beranjak dari depan bilik pembatas kamar anaknya.

Di sepertiga malam terakhir, Ma Sia kembali terjaga. Kali ini dia mendengar isakan anaknya, menyebut nama Tuhan, meminta kepadanya untuk tidak menjauhkan dirinya dengan seseorang yang disebutnya sebagai cinta. Betul, nak. Begitulah cara mencinta yang baik, memintalah kepada si empunya hidup. Setelah berpikir begitu, Ma Sia kembali terlelap.

Eman bangun pagi-pagi sekali, pergi ke pemandian, pulang membawa dua ember air bersih, seperti hari-hari biasa.

Ma Sia sedang menggoreng pisang saat Eman menuang air panas ke dalam gelas bersisi kopi bubuk dan gula. Ini juga sebagaimana biasa, pikir Ma Sia. Barangkali, bocah itu sudah tak lagi gelisah atas apa yang sejak semalam mengganggunya.

"Ambu, bagaimana Bapak jatuh cinta pada Ambu, waktu itu?" Pertanyaan tersebut meluncur saat Eman mengaduk kopinya.

Ma Sia tentu sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu. Dia mencoba menahan diri, mencoba menjawab pertanyaan senormal bagaimana biasanya dia menjawab pertanyaan si bocah sebelum ini. "Aku tentu tidak tahu, anakku. Pertanyaan itu jelas ditujukan untuk bapakmu, bagaimana mungkin aku dapat menjawab?"

Masih menghadapi kopi yang mengepul, Eman kemudian menarik napas dalam. "Kalau begitu, bagaimana Ambu dan Bapak saling jatuh cinta, sampai kemudian menikah?" tanya si bocah berikutnya.

Ma sia membalik goreng pisang di dalam kuali. "Barangkali tak ada beda dengan cerita orang-orang di kampung ini. Kami saling pandang saat pergi mengaji ke surau. Tak terlalu lama setelahnya, bapakmu datang menemui bapakku. Dia kemudian meminta pada bapakku untuk menjadikanku istrinya, kakekmu setuju. Ya, hanya seperti itu.

"Seperti anak gadis lain yang menghormati keinginan orang tuanya, aku mengangguk setuju. Lagipula, bapakmu pemuda baik-baik, dan berasal dari keluarga yang baik-baik pula. Jadi, tak ada alasan aku untuk tidak menerimanya," terang Ma Sia. Dia mengangkat pisang goreng dari wajan, dan menyemplungkan pisang yang lain.

"Hanya sesederhana itu, Ambu?"

"Ya, hanya sesederhana itu."

Eman menyesap kopi dari sendok, memastikan apakah takaran kopi dan gulanya sudah sesuai keinginan. Dia diam kemudian.

Sementara dari hadapan penggorengan Ma Sia melirik sesaat, dia mengira-ngira, apa gerangan yang membuat bocahnya bertanya seperti tadi? Tak ada yang salah, umurnya tak kurang dari 15, hal semacam itu tentu hal biasa, sebagaimana dulu dirinya sudah menikah bahkan sebelum umurnya genap 13. Tapi, apa sebenarnya yang menjadi soal? pikirnya.

"Aku merasa Egah adalah jodohku, Ambu," ucap Eman kemudian. "Tiap aku melihatnya, dia balas memandangi. Tiap aku tersenyum kepadanya, dia sudi membuat senyum untukku."

Ma Sia diam, dia tentu kenal gadis itu. Gadis baik-baik, dari keluarga baik-baik, pikirnya.

"Kupikir, kisah kami akan sama sederhananya dengan kisah Ambu dan Bapak, seperti juga halnya kisah cinta dari pemuda lain di kampung ini. Tapi ...," Eman memutus ucapannya. Ditariknya napas dalam-dalam, lantas melanjutkan, "dia mau pergi."

Ma Sia masih belum menanggapi, dia pikir Eman akan lekas melanjutkan. Tapi, tampaknya bocah itu masih memikirkan sesuatu. Barangkali sedang merangkai kalimat di otaknya. "Apa yang membuatnya pergi?" Ma sia bertanya kemudian.

Eman beranjak menuju tangga yang memisahkan bangunan utama dengan dapur berlantai tanah. Bocah itu duduk di sana, meletakkan gelas di sampingnya. Sekarang, dari jarak itu keduanya berhadapan. "Ambu tentu tahu, bapaknya meninggal sebulan lalu."

Ma Sia mengangguk, dia tentu tahu.

"Ada kerabat dari kerabatnya yang datang ke rumah keluarga Egah tempo hari. Kerabat dari kerabatnya itu mengajak Egah untuk bekerja bersamanya, di Jakarta. Aku takut kehilangan Egah, Ambu."

"Tunggu dulu, bagaimana kau bisa tahu Egahmu itu akan pergi? Maksudku, kerabat dari kerabatnya itu ... apa kau yakin?"

"Kabar itu sudah santer beberapa hari belakangan di kalangan kami, remaja surau, Ambu."

"Kamu pernah bertanya langsung kepadanya?"

Eman menggeleng, "Kupikir itu memang kabar benar. Yang melatari itu pun cukup kuat, Ambu. Egah bekerja untuk membantu ambunya. Adik-adiknya masih kecil."

Ma Sia kembali ke arah wajan, pisangnya sudah kecoklatan. Dengan cekatan dia mengangkatnya.

"Aku pamit ke ladang, Ambu," Eman beranjak dari duduknya.

"Kopimu belum tandas," ucap Ma Sia.

"Sudah tak selera."

"Kalau begitu, bawa pisang ini ke ladang."

Eman menggeleng, "Tidak usah, Ambu. Aku bisa menarik ubi nanti." Tak menunggu ucapan ambunya, Eman mengambil penutup kepala, kemudian pergi.

Itulah saat terakhir kali Ma Sia berbicara dengan Eman, dan menyusulnya ke ladang, dan mencarinya ke lereng, dan kembali lagi ke rumah, sampai kemudian duduk di beranda, mengenang. Angin petang menampar-nampar wajahnya.

"Munding," lirih perempuan paruh baya itu. Dia beringsut dari duduknya.

**

Riuh air terjun, kicau burung, dengungan serangga dan teriakan monyet di kejauhan menjadi temannya duduk sejak berjam-jam yang lalu.

Eman, nama bocah itu, duduk bersila di atas batu besar. Direntangkannya tangan ke belakang, menahan beban tubuh, sementara kepalanya masih menengadah, memerhatikan bagaimana air berloncatan dari atas sana. Rambut ikalnya lembab sebagaimana wajahnya yang sedikit kuyup lantaran tampias air.

Ada hal yang menggelitik saat belakangan ia memandang puncak curug itu. Apa yang membuat kerbau melompat dari atas sana? pikirnya. Dalam nalarnya, tak ada satu pun peristiwa tanpa pemicu. Seperti halnya yang tengah dia lakukan saat ini, berdiam di tempat ini, pemicunya adalah Egah akan pergi, sementara dia mencintai gadis itu.

"Apa yang membuatmu melompat, Kerbau?" ucap Eman pelan.

"Ada kerbau betina di bawah." Itu suara Ma Sia. Dia menemukan Eman, putranya, duduk di bawah curug, seperti yang diduganya.

Eman tentu kaget dengan kehadiran ambunya. Rupanya sura alam telah menyembunyikan langkah Ma Sia. Eman memerhatikan perempuan itu mendekat, ikut duduk takzim di sampingnya. Semua kelakuan ambunya itu diperhatikannya dengan saksama.

Ma Sia tersenyum memandang Eman.

"Apa benar, Ambu?" tanya Eman setelah beberapa saat hanya diam.

"Apa?"

"Kerbau itu melompat lantaran ada kerbau betina di bawah?"

Ma Sia memandang puncak curug "Mungkin," perempuan itu menaikkan kedua bahunya. "Lagipula, apa yang membuatnya melakukan itu selain daripada cinta?"

"Tapi, siapa tahu ada harimau di puncak?"

"Itu juga mungkin, walau tak pernah satu kali pun aku dengar auman harimau dari puncak sana," jawab Ma Sia. "Kau pernah dengar?"

Eman menggeleng.

Ma Sia membalasnya dengan senyum. "Kalau begitu bolelah kita anggap kalau kerbau itu melompat karena cinta. Betinanya menunggu di bawa. Mungkin di pojok sana," Ma Sia menunjuk satu sudut. Daratan yang cukup lapang untuk menampung dua ekor kerbau berdiri, sekelilingnya semak dan batu berlumut.

"Aku tidak mengerti, Ambu," ucap Eman. "Jika itu benar, apa yang melatari kerbau itu melompat?"

"Mungkin, dulu ada kerbau jantan, entah dari daratan lain di atas sana, yang tak sengaja melihat kerbau betina yang berendam di sini. Pejantan itu jatuh cinta. Pertemuan itu tentu tak sekali dua kali. Di satu waktu si betina memintanya untuk melompat, untuk membuktikan kata cinta yang tiap kali diucapkan si pejantan. Untuk itulah si kerbau jantan melompat, dia mungkin bertaruh pada takdir untuk menjemput cintanya."

"Apa kerbau itu mati?"

"Seperti yang kau dengar dari cerita penduduk. Dia mati."

Eman menarik napas dalam.

"Mungkin dari sana kita bisa belajar, bahwa cinta itu butuh pengorbanan dan kerelaan. Pun misalnya kerbau itu hidup, pada akhirnya di antara kerbau itu pun nantinya harus berkorban dan merelakan kembali, jika suatu hari nanti di antara mereka ada yang harus mati karena hal lain, misalnya," ucap Ma Sia. "Kita juga barangkali bisa belajar dari tekad si kerbau, sama halnya dengan air yang melompat dari atas sana. Berusaha, menyerahkan hasilnya pada Yang Punya Kuasa. Mungkin begitu juga seharusnya seseorang yang sedang jatuh cinta bertindak. "

Eman terlihat berpikir, berusaha mencerna apa yang baru saja diucapkan ambunya.

"Lagipula, anakku, jika tidak ada peristiwa kerbau melompat waktu itu, tentu saja curug ini tidak akan dinamakan Curug Munding," ucap Ma Sia lagi.

Eman tertawa mendengarnya.

"Sudah hampir magrib, ayo pulang," ajak Ma Sia.

Eman mengangguk. Keduanya beranjak.

**

Matahari melambung saat satu keluarga dan beberapa tetangga berkumpul di halaman, di depan sebuah mobil kijang hitam. Egah akhirnya dijemput oleh kerabat dari kerabatnya. Hari ini gadis itu akan diboyong ke Jakarta untuk bekerja.

Egah menyalami satu persatu orang yang hadir melepas kepergiannya. Lama dia mencium punggung tangan ambunya, meminta restu, hingga pada suatu momen ambunyalah yang merengkuh tubuh kecil anak gadisnya itu ke dalam pelukan. "Doakan Egah, Ambu," ucap si gadis, mendekap erat tubuh ambunya.

"Tak akan putus doa ini untukmu, putriku," bisik Ambu di telinga Egah. Keduanya saling melepas pelukan.

Semua yang ada di halaman itu sudah dipamitinya, dia kemudian beranjak, hendak masuk ke dalam mobil. Saat hendak melakukan itulah Egah melihat seseorang berdiri di muka gerbang bambu rumahnya yang terbuka. Eman.

Eman menghampiri gadis itu, melangkah dengan keyakinan. "Ijinkan aku untuk melihatmu pergi. Setidaknya, biarkan aku untuk tidak melompat seperti munding," ucap Eman saat keduanya saling berhadapan.

"Yang kamu lupa adalah, aku akan tetap menjadi aku seperti halnya dirimu yang akan selalu menjadi dirimu. Doakan aku di sana. Kelak, saat aku kembali, kuharap kamu sudah punya keberanian untuk memintaku pada Ambu. Sama seperti juga dirimu, bapakku sudah sebulan pergi. Insya Allah, Bapak mengijinkan selama Ambu merestui." Gadis itu kemudian beranjak, menenteng tas di bahunya, masuk ke dalam mobil.

Ada perasaan hangat menjalar di seluruh tubuhnya. Eman melepas kepergian Egah.

Selesai
11 November 2018
Rky

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun