Eman menyesap kopi dari sendok, memastikan apakah takaran kopi dan gulanya sudah sesuai keinginan. Dia diam kemudian.
Sementara dari hadapan penggorengan Ma Sia melirik sesaat, dia mengira-ngira, apa gerangan yang membuat bocahnya bertanya seperti tadi? Tak ada yang salah, umurnya tak kurang dari 15, hal semacam itu tentu hal biasa, sebagaimana dulu dirinya sudah menikah bahkan sebelum umurnya genap 13. Tapi, apa sebenarnya yang menjadi soal? pikirnya.
"Aku merasa Egah adalah jodohku, Ambu," ucap Eman kemudian. "Tiap aku melihatnya, dia balas memandangi. Tiap aku tersenyum kepadanya, dia sudi membuat senyum untukku."
Ma Sia diam, dia tentu kenal gadis itu. Gadis baik-baik, dari keluarga baik-baik, pikirnya.
"Kupikir, kisah kami akan sama sederhananya dengan kisah Ambu dan Bapak, seperti juga halnya kisah cinta dari pemuda lain di kampung ini. Tapi ...," Eman memutus ucapannya. Ditariknya napas dalam-dalam, lantas melanjutkan, "dia mau pergi."
Ma Sia masih belum menanggapi, dia pikir Eman akan lekas melanjutkan. Tapi, tampaknya bocah itu masih memikirkan sesuatu. Barangkali sedang merangkai kalimat di otaknya. "Apa yang membuatnya pergi?" Ma sia bertanya kemudian.
Eman beranjak menuju tangga yang memisahkan bangunan utama dengan dapur berlantai tanah. Bocah itu duduk di sana, meletakkan gelas di sampingnya. Sekarang, dari jarak itu keduanya berhadapan. "Ambu tentu tahu, bapaknya meninggal sebulan lalu."
Ma Sia mengangguk, dia tentu tahu.
"Ada kerabat dari kerabatnya yang datang ke rumah keluarga Egah tempo hari. Kerabat dari kerabatnya itu mengajak Egah untuk bekerja bersamanya, di Jakarta. Aku takut kehilangan Egah, Ambu."
"Tunggu dulu, bagaimana kau bisa tahu Egahmu itu akan pergi? Maksudku, kerabat dari kerabatnya itu ... apa kau yakin?"
"Kabar itu sudah santer beberapa hari belakangan di kalangan kami, remaja surau, Ambu."