"Kamu pernah bertanya langsung kepadanya?"
Eman menggeleng, "Kupikir itu memang kabar benar. Yang melatari itu pun cukup kuat, Ambu. Egah bekerja untuk membantu ambunya. Adik-adiknya masih kecil."
Ma Sia kembali ke arah wajan, pisangnya sudah kecoklatan. Dengan cekatan dia mengangkatnya.
"Aku pamit ke ladang, Ambu," Eman beranjak dari duduknya.
"Kopimu belum tandas," ucap Ma Sia.
"Sudah tak selera."
"Kalau begitu, bawa pisang ini ke ladang."
Eman menggeleng, "Tidak usah, Ambu. Aku bisa menarik ubi nanti." Tak menunggu ucapan ambunya, Eman mengambil penutup kepala, kemudian pergi.
Itulah saat terakhir kali Ma Sia berbicara dengan Eman, dan menyusulnya ke ladang, dan mencarinya ke lereng, dan kembali lagi ke rumah, sampai kemudian duduk di beranda, mengenang. Angin petang menampar-nampar wajahnya.
"Munding," lirih perempuan paruh baya itu. Dia beringsut dari duduknya.
**