"Lagipula, anakku, jika tidak ada peristiwa kerbau melompat waktu itu, tentu saja curug ini tidak akan dinamakan Curug Munding," ucap Ma Sia lagi.
Eman tertawa mendengarnya.
"Sudah hampir magrib, ayo pulang," ajak Ma Sia.
Eman mengangguk. Keduanya beranjak.
**
Matahari melambung saat satu keluarga dan beberapa tetangga berkumpul di halaman, di depan sebuah mobil kijang hitam. Egah akhirnya dijemput oleh kerabat dari kerabatnya. Hari ini gadis itu akan diboyong ke Jakarta untuk bekerja.
Egah menyalami satu persatu orang yang hadir melepas kepergiannya. Lama dia mencium punggung tangan ambunya, meminta restu, hingga pada suatu momen ambunyalah yang merengkuh tubuh kecil anak gadisnya itu ke dalam pelukan. "Doakan Egah, Ambu," ucap si gadis, mendekap erat tubuh ambunya.
"Tak akan putus doa ini untukmu, putriku," bisik Ambu di telinga Egah. Keduanya saling melepas pelukan.
Semua yang ada di halaman itu sudah dipamitinya, dia kemudian beranjak, hendak masuk ke dalam mobil. Saat hendak melakukan itulah Egah melihat seseorang berdiri di muka gerbang bambu rumahnya yang terbuka. Eman.
Eman menghampiri gadis itu, melangkah dengan keyakinan. "Ijinkan aku untuk melihatmu pergi. Setidaknya, biarkan aku untuk tidak melompat seperti munding," ucap Eman saat keduanya saling berhadapan.
"Yang kamu lupa adalah, aku akan tetap menjadi aku seperti halnya dirimu yang akan selalu menjadi dirimu. Doakan aku di sana. Kelak, saat aku kembali, kuharap kamu sudah punya keberanian untuk memintaku pada Ambu. Sama seperti juga dirimu, bapakku sudah sebulan pergi. Insya Allah, Bapak mengijinkan selama Ambu merestui." Gadis itu kemudian beranjak, menenteng tas di bahunya, masuk ke dalam mobil.