Riuh air terjun, kicau burung, dengungan serangga dan teriakan monyet di kejauhan menjadi temannya duduk sejak berjam-jam yang lalu.
Eman, nama bocah itu, duduk bersila di atas batu besar. Direntangkannya tangan ke belakang, menahan beban tubuh, sementara kepalanya masih menengadah, memerhatikan bagaimana air berloncatan dari atas sana. Rambut ikalnya lembab sebagaimana wajahnya yang sedikit kuyup lantaran tampias air.
Ada hal yang menggelitik saat belakangan ia memandang puncak curug itu. Apa yang membuat kerbau melompat dari atas sana? pikirnya. Dalam nalarnya, tak ada satu pun peristiwa tanpa pemicu. Seperti halnya yang tengah dia lakukan saat ini, berdiam di tempat ini, pemicunya adalah Egah akan pergi, sementara dia mencintai gadis itu.
"Apa yang membuatmu melompat, Kerbau?" ucap Eman pelan.
"Ada kerbau betina di bawah." Itu suara Ma Sia. Dia menemukan Eman, putranya, duduk di bawah curug, seperti yang diduganya.
Eman tentu kaget dengan kehadiran ambunya. Rupanya sura alam telah menyembunyikan langkah Ma Sia. Eman memerhatikan perempuan itu mendekat, ikut duduk takzim di sampingnya. Semua kelakuan ambunya itu diperhatikannya dengan saksama.
Ma Sia tersenyum memandang Eman.
"Apa benar, Ambu?" tanya Eman setelah beberapa saat hanya diam.
"Apa?"
"Kerbau itu melompat lantaran ada kerbau betina di bawah?"
Ma Sia memandang puncak curug "Mungkin," perempuan itu menaikkan kedua bahunya. "Lagipula, apa yang membuatnya melakukan itu selain daripada cinta?"