Mohon tunggu...
Rizky Kurniawan
Rizky Kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pribadi

Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Syekh-Yusuf Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Matahari dan Perempuan yang Mencintainya

13 Agustus 2018   19:30 Diperbarui: 13 Agustus 2018   19:54 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku berdiri di pantai yang sama, memandang juga ke arah yang sama. Lembayung senja di pantai barat yang membawaku mengenalmu, mengagumimu, mencintaimu, lantas membiarkanmu pergi. Aku kembali ke tempat ini tentu untuk mengingatmu.

**

Satu waktu di hari sabtu, entah mengapa aku merasa ingin ke pantai. Ketahuilah, rumahku tak jauh dari pantai, tapi malas rasanya untuk datang ke sana. Pasir hitam, laut keruh, banyak sampah, itu yang membuatku malas datang ke pantai dekat rumah. Tapi tidak sore itu, aku ingin mendatanginya.

Dari rumah, kukayuh sepeda tua milik bapak. Begitu tiba, kutaruh sepeda itu sekenanya di tepi pantai yang berpasir. Lalu aku duduk, mengamati bagaimana ombak bisa menyentuh pantai, dan bagaimana orang-orang begitu menyenanginya.

Aku ingin menjadi lautan, yang tidak tenang tapi orang tetap mau datang.

Sama, aku tidak begitu peduli dengan sampah yang dibiarkan berserakan di bibir pantai. Beberapa terseret ombak ke tengah laut, lalu menghilang dari pandangan. Sumpah, aku tidak peduli. Aku hanya peduli kepada diriku yang terus memikirkan bagaimana pantai begitu disenangi. Ya, hanya itu.

Sampai akhirnya, seseorang datang mengusik. Perempuan, mengayuh sepeda kumbang, rambutnya diikat ke belakang. Dia menghentikan sepedanya sekitar lima langkah di sisi kanan tempatku duduk. Dia melakukan hal yang sama, duduk dan memandang lautan sore, dari bibir pantai berpasir hitam ini.

Kami tidak saling sapa, tidak saling mengusik. Dia selalu memandang ke arah yang sama, hanya aku yang beberapa kali melirik ke arahnya. Entahlah, sepertinya dia tidak peduli, dia hanya terus memandang ke arah yang sama sampai matahari benar-benar tenggelam ke peraduan.

Betulan, dia di sana sampai matahari benar-benar digantikan malam. Aku yang beberapa kali memerhatikannya, bisa menangkap wajah antusiasnya kepada senja. Kuyakin, jika melihat bagaimana dia memandang, orang-orang dapat dengan mudah menyimpulkan kalau perempuan itu menyukai senja.

Sore berganti malam, dia beringsut dari duduknya, dan segera pergi dengan sepeda kumbangnya. Meninggalkanku di sini sendiri dengan dua buah pertanyaan. "Siapa kamu, dan sedang apa kamu di sini?"

Ya, dua buah pertanyaan itu .... Dua buah pertanyaan yang kemudian terjawab dihari keempat.

Tentu, oleh karena penasaran, aku datang kembali ke pantai keesokan harinya, duduk di tempat yang sama dan kemudian menunggu beberapa saat. Benar saja, dia kembali datang, duduk, untuk kemudian memandang ke arah yang sama seperti hari sebelumnya. Matanya begitu berseri-seri saat lembayung senja terbentuk saat matahari turun ke barat. Aku bisa melihatnya, ada senyum terbit di wajah itu, menggantikan matahari yang tenggelam.

Dari sanalah aku mulai menyimpulkan, bahwa besoknya dia pasti akan kembali ke tempat ini lagihal yang juga kulakukan.

Di hari keempat, aku baru menyadari ... entah mengapa, aku selalu menunggu saat-saat senyum terbit di wajahnya, diembus angin laut. Dia tersenyum melihat lembayung senja yang kuning kemerahan, sementara aku tersenyum karena melihat dirinya tersenyum. Konyol memang, tapi memang itulah kenyataannya.

Seperti yang kutulis sebelumnya, dua pertanyaanku terjawab hari ini. Saat malam kembali menggantikan peran siang, perempuan itu berdiri, dan bersiap dengan sepedanya. "Aku Lara. Kamu pasti tahu, aku di sini menunggu Matahari," katanya tiba-tiba. Setelah berbicara begitu dia pergi.

**

"Kenapa kamu begitu menyukai senja?" Aku bertanya di suatu hari saat kami sama-sama duduk di bibir pantai, menikmati matahari di penghujung hari.

Lara menoleh sebentar ke arahku, sebelum akhirnya kembali ke arah sebelumnya dia memandang. Kami duduk berdekatan. Ya, hari keenam aku berani duduk lebih dekat dengannya, dan Lara sama sekali tidak terganggu dengan itu. Kami malah jadi lebih sering berbicara.

"Aku hanya menunggu Matahari," katanya.

"Maksudnya bagaimana?" kutanya.

Dia tidak menjawab dan aku tak memaksa lagi untuk itu.

**

Aku merasa pertemuan kami di tiap penghujung waktu adalah keindahan. Sama seperti halnya matahari yang hampir tiba di tepi barat, membentuk lembayung senja.

Jika Lara datang untuk menunggu mataharinya, maka aku datang untuk menemuinya. Jika Lara tersenyum saat mataharinya tenggelam, maka aku tersenyum saat terbit senyum di wajahnya. Ya, seperti itu. Aku mengagumi bagaimana dia mengagumi matahari di penghujung hari.

Kadang-kadang kami tertawa, membicarakan matahari, membicarakan lautan, maka akhirnya aku jatuh hati. Suka karena terbiasa, mungkin karena itu. Entah, aku tidak pernah tahu perasaannya terhadapku.

**

Aku lupa itu hari keberapa, oh ... mungkin bulan keberapa. Ya, kami terlalu lama bersama. Sampai-sampai aku melupakan waktu, untuk selalu bisa terus dan terus jatuh cinta kepadanya. Ya, tentu aku mencintainya, tapi tidak pernah memberitahu perihal itu pada Lara.

Seperti biasa, kami duduk di tempat yang sama, bersebelahan dengan dua sepeda yang mendampingi kami di sisi kanan dan kiri. Kami memandang lautan, sampai lembayung itu tercipta. Lara kembali tersenyum, dan aku tersenyum karenanya, tentu hal yang biasa.

Yang tidak biasa adalah beberapa detik setelah itu, dia memandangiku, maka aku memandanginya. Aku tidak mengantisipasi sebelumnya, ketika Lara merebahkan kepalanya di bahuku. Aku sungguh tidak keberatan, maka kubiarkan. Aku hanya mendengar deru napasnya yang beradu dengan sapuan angina pantai yang kian kencang.

Aku merasa kalau Lara juga memiliki perasaan yang sama sepertiku. Lihatlah, dia bersandar begini mungkin karena dia juga merasakan hal yang sama, bentuk perasaan lain dari hanya sekadar saling kenal, bentuk perasaan lain dari hanya sekadar saling mengagumi, bentuk perasaan yang sulit digambarkan namun sungguh tampak dirasakan. Ya, bentuk perasaan yang disebut sebagai cinta. Mungkin.

Dia menarik kepalanya dari bahuku. Dia menatapku lagi, dan tentu kubalas tatapan itu.

Hal berikutnya yang terjadi adalah, Lara mendekatkan wajahnya kepadaku. Aku betul-betul tidak bisa mengantisipasi apa yang dilakukan perempuan yang kukagumi beberapa bulan belakangan ini.

Bibirnya menyentuh bibirku.

Aku terpaku beberapa saat di sana. Ini yang pertama, selama kuhidup. Tak pernah perasaanku senyaman ini. Aku membalasnya.

Sungguh, aku tidak menghitung berapa lama kami melakukan itu. Yang jelas, ciuman itu berlangsung lama, dalam, dan tidak tergesa-gesa. Aku melepaskan perasaanku terhadapnya, dan kuyakin hal yang sama juga dilakukannya.

Dia melepaskan dirinya atas diriku. "Aku di sini sedang menunggu Matahari, harusnya kamu mengerti," katanya kemudian. Setelah berucap begitu, Lara pergi dengan sepeda kumbangnya. Meninggalkanku dengan pengalaman, perasaan dan kebingungan.

**

Hari ini, kutahu kamu tidak akan datang ke tempat ini. Apalagi menemuiku kembali setelah sekian lama. Ya, aku mengerti ... kamu menunggu Matahari, mencintainya. Sementara aku di sini mencintaimu.

Kuibaratkan kau sore yang menunggu matahari. Sore akan indah ketika matahari datang. Sementara aku lautan. Lembayung senja terpantul di lautan, hal yang sementara tentunya, karena sore dan matahari lebur menjadi malam, menyisakan lautan sendirian.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun