Tentu, oleh karena penasaran, aku datang kembali ke pantai keesokan harinya, duduk di tempat yang sama dan kemudian menunggu beberapa saat. Benar saja, dia kembali datang, duduk, untuk kemudian memandang ke arah yang sama seperti hari sebelumnya. Matanya begitu berseri-seri saat lembayung senja terbentuk saat matahari turun ke barat. Aku bisa melihatnya, ada senyum terbit di wajah itu, menggantikan matahari yang tenggelam.
Dari sanalah aku mulai menyimpulkan, bahwa besoknya dia pasti akan kembali ke tempat ini lagihal yang juga kulakukan.
Di hari keempat, aku baru menyadari ... entah mengapa, aku selalu menunggu saat-saat senyum terbit di wajahnya, diembus angin laut. Dia tersenyum melihat lembayung senja yang kuning kemerahan, sementara aku tersenyum karena melihat dirinya tersenyum. Konyol memang, tapi memang itulah kenyataannya.
Seperti yang kutulis sebelumnya, dua pertanyaanku terjawab hari ini. Saat malam kembali menggantikan peran siang, perempuan itu berdiri, dan bersiap dengan sepedanya. "Aku Lara. Kamu pasti tahu, aku di sini menunggu Matahari," katanya tiba-tiba. Setelah berbicara begitu dia pergi.
**
"Kenapa kamu begitu menyukai senja?" Aku bertanya di suatu hari saat kami sama-sama duduk di bibir pantai, menikmati matahari di penghujung hari.
Lara menoleh sebentar ke arahku, sebelum akhirnya kembali ke arah sebelumnya dia memandang. Kami duduk berdekatan. Ya, hari keenam aku berani duduk lebih dekat dengannya, dan Lara sama sekali tidak terganggu dengan itu. Kami malah jadi lebih sering berbicara.
"Aku hanya menunggu Matahari," katanya.
"Maksudnya bagaimana?" kutanya.
Dia tidak menjawab dan aku tak memaksa lagi untuk itu.
**