Cinta, aku nelangsa ...
Tiap detik kuarungi waktu
Tiap detik pula aku merasa sepi
Cinta, aku nelangsa ...
Tiap hari aku menanti
Tiap hari pula aku tersakiti
Tulisan terakhir yang mengisi lembar terakhir catatan hariannya.
Enam bulan Nisa menjalani hubungan jarak jauh dengan kekasihnya, Fajar. Tak ada pertemuan selama itu, hanya ada seperangkat komputer tua dan catatan harian yang tiap menjelang hari usai, selalu ia temui.
Surel-surel dari Fajar selalu menghiasi hari-hari Nisa di tiga bulan pertama, setiap hari—tiap pagi dan menjelang tengah malam. Surel itu bercerita, surel itu mengingatkan, surel itu menenangkan. Begitulah, Nisa hanya butuh kabar. Tapi sebulan berikutnya, kiriman surel Fajar mengendur bagai benang layangan yang diulur, semakin jauh—sebab surel itu hanya mampir satu kali dalam tempo waktu dua sampai tiga hari. Bahkan lebih parah, bulan berikutnya tanpa ada surel dalam satu bulan. Hanya kalimat-kalimat sepi yang kian sumbang tertulis dalam catatan harian yang kian menjubal.
Awal bulan ini, Fajar menghubunginya melalui telepon. Suara yang telah dirindu, suara yang bak candu, menghipnotisnya untuk tetap percaya pada Fajar. Kata-kata Fajar lagi-lagi 'bercerita', 'mengingatkan', dan 'menenangkan' batinnya yang kering kerontang. Obrolan setengah jam seolah telaga di tengah gurun tandus—menyapulenyapkan dahaga. Sampai-sampai musnah sudah perkara tidak ada surel di bulan kelima. Semuanya termaafkan, walau sebenarnya Nisa tidak merasa kekasihnya telah salah karena tidak menghubungi selama satu bulan lamanya.
Bulan keenam berjalan. Hingga sampailah pada hari ini, di penghujung bulan. Lagi-lagi tanpa surel ataupun sambungan telepon. Fajar kembali hilang dari dunia ‘maya', satu-satunya tempat yang masih bisa dijamah Nisa. Kali ini batinnya tersiksa, selain tidak ada komunikasi, lahan untuk meluapkan perasaannya pun kini sudah habis. Dia tidak menyangka bahwa ratusan lembar kertas itu akan habis dalam waktu enam bulan. Dia juga tidak menyangka bahwa komunikasinya lebih banyak pada note bersampul cokelat dari pada dengan Fajar.
Seharian Nisa memikirkan perkataan Heln kemarin siang, tentang pantas tidaknya hubungan ini jika masih dipertahankan. Ada rasa sesak saat Heln—sahabatnya—berkata seperti itu. Ucapan Heln memang benar. Namun begitu, Nisa masih berkeras untuk tetap mencoba bertahan.
"Ini cuma masalah waktu, Nisa. Tidak lama lagi semuanya jelas. Buat apa kamu susah payah bertahan, padahal orang yang kamu perjuangkan tidak peduli padamu sama sekali?" Ucap Heln dengan intonasi cukup keras sambil menatap tajam Nisa. Dan kata-kata itu berhasil menggaum di telinga Nisa sampai saat ini.
Naif rasanya jika Nisa tidak mengakui kalau hatinya gamang. Fisiknya berteriak ingin menyudahi saja. Namun perasaannya, seolah masih tak gentar menghadapi 'tantangan' ini.
***
Nisa sudah tidak membantu Heln di kedai kopinya. Sudah sebulan ini Nisa sibuk dengan butik kecil miliknya sendiri. Berbekal dua buah mesin jahit tua yang dibeli dari Ibu Heln, kios yang pernah berjaya sebagai tempat usaha—fotocopy—milik orang tuanya, kini kembali bergeliat secara perlahan. Walau beralih fungsi, namun dalam hatinya ada rasa bangga yang menguar. Dia selalu didampingi Klara, sepupunya. Biarpun masih sekolah, Klara tetap menjadi orang yang selalu diandalkan untuk urusan menjahit. Heln sesekali datang ke butik kecil miliknya untuk sekedar berkunjung atau menanyai kabar Fajar.
Dua tahun sudah Fajar hilang dari kehidupan Nisa. Tak ada yang tahu saat ini lelaki pujaannya itu ada di mana. Namun yang pasti, Nisa masih menunggu, menanti jawaban atas kepastian hubungan mereka. Heln sudah tidak lagi menyuruh Nisa untuk menyudahi hubungannya dengan Fajar. Sebab Heln tahu, betapapun kalimatnya tajam menghujam, Nisa tidak pernah gentar. Seperti ada perisai yang maha kuat, yang meneguhkan hatinya untuk tetap bertahan, walau kekasihnya tenggelam entah di mana.
Setiap hari sejak terakhir Fajar menghubunginya melalui telepon, Nisa tidak pernah absen untuk mengecek komputer. Barangkali ada surel yang masuk dari kekasihnya. Namun sayang, surel itu tak kunjung datang. Nama Fajar tidak pernah muncul. Entah badai macam apa yang membuatnya enggan menampakkan diri barang sebentar.
"Nisa, kamu tahu apa yang terjadi kemarin?" Teriak Heln saat baru tiba di butik milik Nisa. Tanpa memperdulikan ekspresi lawan bicaranya yang masih bingung, Heln kemudian menarik kursi ke hadapan Nisa. Wanita yang hari ini terlihat sumringah itu kemudian dengan anggun duduk di atasnya. Tangan kirinya memegang lengan kanan Nisa yang sedang memegang gunting. Nisa menghentikan aktifitasnya, dia tahu Heln minta diperhatikan.
"Ada apa?" Tanya Nisa.
Heln kemudian meletakkan tas yang sebelumnya tersampir di bahunya ke atas mesin jahit. Lalu kedua tangannya diletakkan di atas mesin jahit, mengetuk-ngetuk bagian yang seperti meja dengan sepuluh jarinya.
Nisa terlihat heran, dia memperhatikan gerak tangan sahabatnya tersebut. Beberapa detik Nisa terdiam, kemudian tersenyum ke arah Heln. Heln balas tersenyum padanya. "Ini sungguhan?" Tanya Nisa tak percaya.
Heln mengangguk, wajahnya semakin sumringah. "Iya, kemarin malam Tony resmi melamarku," jawab Heln antusias.
"Ya Tuhan ... selamat," Nisa langsung menghambur memeluk Heln, erat, lama. Ada perasaan bahagia tengah menguar dengan luar biasanya di sana.
Semenit kemudian keduanya saling melepaskan. Wajah bahagia masih terpancar dari keduanya.
"Enam bulan. Aku diberi waktu enam bulan untuk menikmati sisa masa lajangku, Nisa. Tony akan menikahiku. Ini gila, Nisa. Ini gila!" Kali ini air mata tak sengaja menetes dari pelupuk mata Heln.
Nisa segera menggenggam tangan Heln, lalu kembali tarsenyum. Ikut bahagia. "Selamat," katanya lagi.
***
Sepuluh tahun sudah sejak Fajar pergi dari kehidupan Nisa. Umurnya sudah memasuki kepala tiga awal. Sahabatnya Heln sudah dikaruniai tiga orang anak. Klara sudah menikah enam bulan lalu. Butiknya sudah berkembang sejak Kevin—suami Klara—ikut bergabung memanajemen butik. Sekarang Nisa sudah tidak terlalu sibuk dengan butik. Fokusnya kali ini beralih. Dia lebih senang dengan kegiatan sosial, di sebuah tempat yang dinamakan sebagai sanggar alfabet. Sebuah tempat bermain anak dengan segudang aktifitas positif di dalamnya. Nisa kebagian tempat sebagai pendongeng di sanggar itu. Seminggu tiga kali dia pasti akan mendongeng untuk anak-anak di sanggar tersebut, menyenangkan anak-anak juga dirinya.
Itulah beberapa di antara banyaknya hal yang berubah dalam kehidupan Nisa. Dari semuanya itu hanya satu hal yang belum berubah, perasaannya pada Fajar. Lelaki itu masih tak nampak hingga sepuluh tahun ini.
"Nisa, paman tidak bermaksud untuk mencampuri segala urusanmu. Tapi, apa tidak sebaiknya kamu segera mempunyai pendamping. Banyak laki-laki mapan di luar sana yang bersedia menjadi suamimu. Apa tidak sebaiknya kau pilih satu di antara mereka?"
Nisa terperanjat saat mendengar ucapan itu tiba-tiba keluar dari mulut pamannya, sekitar empat tahun lalu—saat itu enam tahun sepeninggal Fajar. Nisa terenyuh mendengar ucapan pamannya. Mungkin pamannya tidak salah mengucapkan hal yang demikian, tapi perasaannya berkata lain. Fajarlah satu-satunya orang yang akan menjadi pendamping hidupnya—berlaku pula ketika Fajar memang benar-benar hilang dari peredaran dalam arti sebenarnya. Itu sudah kesepakatan antara jiwa dan raganya. Jadi, harus tetap seperti itu.
Setahun dari hari itu Nisa menyadari satu hal, firasatnya tentang Fajar. Tujuh tahun telah berlalu, Fajar tak kunjung datang. Namun begitu, kini hatinya tidak lagi gundah. Bahkan hati kecilnya merelakan jika Fajar memang benar-benar hilang dari peredaran dalam arti sebenarnya. Atau yang lebih parah, dia akan rela jika Fajar menemukan orang lain untuk bisa didampingi. Tiga tahun berikutnya tidak lagi banyak bicara soal Fajar. Bahkan alamat surelnya tak pernah dicek lagi sejak saat itu. Banyak hal lain yang mesti ia kerjakan. Namun satu yang pasti, keyakinannya tentang kepulangan Fajar tidak pernah pudar. Dan dia yakin, dirinya adalah rumah tempat Fajar 'berpulang'.
"Mbak, Mbak Nisa." Seseorang menyadarkan lamunannya. Itu adalah Rio, satu dari banyak Mahasiswa yang ikut bersamanya mengurus sanggar Alfabet.
"Eh, maaf."
"Sudah waktunya mendongeng," ucapa Rio sopan.
"Oh, oke. Aku segera ke sana." Nisa segera bangkit dari duduknya.
Saat hendak kembali ke ruangan tempat mendongeng—yang memang terpisah dari ruangan para relawan ini—Rio berbalik. "Oya, Mbak. Nanti siang kita akan kedatangan ilustrator yang akan membicarakan lebih lanjut tentang kontrak kita dengan rumah produksi di Surabaya tempo hari."
Nisa mengerutkan keningnya. "Lho, kok yang datang ilustratornya?" Tanya Nisa heran.
"Aku kurang tahu juga, Mbak. Mungkin mau coba mendalami karakter yang Mbak buat. Mungkin portofolio waktu itu kurang jelas," jawab Rio mencoba menarik kesimpulan.
"Ah, yasudah," ucap Nisa akhirnya.
Satu lagi yang membanggakan atas perubahan yang terjadi dalam hidup Nisa. Tokoh dongengnya dipercaya untuk diadaptasi menjadi tayangan layar kaca dalam bentuk animasi. Peminatnya adalah salah satu rumah produksi dari Surabaya.
Tokoh itu bernama Isal. Seekor ikan salmon tangguh yang ingin kembali ke tempat kelahirannya walau menempuh jarak ratusan kilometer. Tujuannya untuk menemukan Ibunya. Kata banyak hewan yang pernah ditemui sepanjang perjalanannya, Ibu Isal pasti akan kembali ketika akan mati. Isal bertekad untuk menemui Ibunya sebelum mati. Itu karena Isal yakin ibunya akan memberi jawaban atas pertanyaan yang selama ini mengganjal di hatinya.
Hari ini Isal diceritakan sedang menghadapi Borno, seekor beruang buas yang kejam. Dia tak segan membunuh dan memakan salmon-salmon yang melintas di wilayahnya. Kali ini giliran Isal. Dia berupaya lolos dari jerat Borno si beruang. Dengan kecerdasannya, Isal berhasil membujuk Borno untuk tidak memakannya.
Semua anak terlihat antusias dengan dongeng Nisa tentang Isal si salmon. Bahkan saat cerita berakhir, tepuk tangan bergemuruh sebagai tanda apresiasi dari anak-anak. Selalu ada sensasi yang membahagiakan tiap cerita usai. Sensasi yang sama persis ketika surel-surel itu masih berdatangan, sama persis ketika mendengar suara Fajar, sama juga saat menyaksikan kebahagiaan Heln dan Klara yang ketika itu dipersunting pujaan hatinya masing-masing. Namun bedanya, ini terus menerus—setiap hari—sama seperti sebelum Nisa dan Fajar terpaut jarak—kini benar-benar hilangÂ.
Setelah selesai mendongeng, Nisa kembali ke ruangannya. Ada beberapa urusan administrasi yang harus diselesaikan.
"Silahkan masuk, Pak Fajar," ucap Rio mempersilahkan lelaki dengan pakaian rapi berjas untuk masuk ke ruangan Nisa. "Mbak Nisa, Perwakilan PH dari surabaya yang tadi saya ceritakan sudah datang," ucapnya lagi.
Nisa mengangkat kepalanya, melihat siapa yang dipanggil Fajar barusan. Nafasnya sesak seketika, mulutnya kelu, matanya tidak berkedip barang sekali. Perasaan itu tidak pasti apa bentuknya. Dia tidak bisa membedakan mana rindu, mana marah. Mana cinta, mana benci.
Orang yang dipandang tak kalah kagetnya. Rindu itu bergelora bersama rasa bersalahnya.
Tidak ada yang mengkomando, air mata itu turun bersamaan. Tangis haru. Hal yang demikian itu membuat Rio yang bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.
"I—ini, Pak Faj ...," nama itu tak sempat selesai diucapkan Rio. Dia memperhatikan Nisa kali ini berdiri, menyeka air matanya yang kian membanjiri pipi. Segaris senyum yang dia rasa aneh merekah di sana. Tapi detik berikutnya, Nisa menghambur mendatangi ke arahnya dan Fajar. Langkahnya cepat. Rio menduga Nisa akan menghambur memeluk orang yang ada dibelakangnya. Jelas ada perasaan rindu di sana, siapapun akan merasakan.
Selangkah, dua langkah, kemudian beberapa langkah, Rio mempersilahkan Nisa melewatinya. Kemudian terus melangkah ke arah Fajar. Tapi tebakannya salah besar. Tidak ada pelukan, tidak ada kata-kata. Nisa hanya terus melangkah ke luar tanpa menoleh sedikitpun ke arah Fajar.
"Mbak," panggil Rio.
"Biar saya saja," ucap Fajar, yang dibalas dengan anggukan Rio. Fajar segera mengejar Nisa yang sedikit berlari menuju ke arah jalan. Adegan kejar-kejaran itu tak ayal menjadi pusat perhatian banyak orang. Namun keduanya sama sekali tidak memperdulikan itu, masa bodoh mereka mau berpikir apa. Jika dilihat-lihat keadaan itu terlihat seperti adegan di film-film.
Nisa memberhentikan taksi, dan segera masuk ke dalam. Hanya sepersekian detik berikutnya taksi itu melaju. Fajar tidak berhasil mencegah. Otaknya berpikir cepat, dia kembali ke arah sanggar.
"Ini Mas," sambil terengah-engah Rio menyerahkan sebuah kunci. "Ini kunci motor saya, silahkan dipakai. Motornya itu," ucapnya lagi sambil menunjuk sebuah motor matic berwarna hitam yang diparkir di depan sanggar.
Dengan sedikit ragu Fajar mengambil kunci itu.
"Mbak Nisa pasti ada di rumah," ucap Rio berikutnya yang dibalas dengan anggukan Fajar. Fajar bergegas menghampiri motor yang terparkir itu dan melesatkannya.
Sepanjang perjalanan Nisa menangis tersedu-sedu. Perasaannya tidak bisa digambarkan siapapun. Dia tidak menyangka akan ada hari ini. Dia tidak menyangka sepuluh tahunnya menunggu telah berakhir hari ini. Dia rindu, tapi dia benci.
Mobil telah berhenti di rumah yang menjadi tempat tinggalnya bersama paman dan sepupunya Klara. Kedatangannya dengan terurai air mata tak ayal membuat Klara yang sedang kedatangan Heln dan anak-anaknya khawatir. Heln yang melihat itupun sama khawatirnya. Mereka berpandangan beberapa saat, kemudian beranjak hendak menghampiri Nisa. Namun langkah mereka berhenti saat melihat siapa yang berlari di belakang Nisa, seorang yang akrab—sangat akrab mungkin. Seseorang yang menghilang dari kehidupan Nisa sepuluh tahun lamanya.
"Nisa...," Fajar berhasil meraih tangan Nisa sesaat sebelum Nisa masuk ke dalam rumah.
Nisa tertarik kebelakang, dan berputar tepat diberanda rumah. Kali ini mereka berpandangan. Mata yang bahkan tak sanggup untuk dilihatnya lagi. Pandangan meneduhkan itu lagi. Kerinduan itu lagi. Kali ini hatinya luluh tidak mencoba berontak atau beranjak. Wajah itu ditatapnya lamat-lamat. Tetap tampan. Hidung mancung itu, mata cokelat muda itu. Sungguh ia rindu. Lelaki itu masih terlihat tampan walau beberapa helai rambutnya sudah berwarna putih. Jas yang dikenakan Fajar membuatnya kelihatan lebih dewasa dan berwibawa. Candu itu datang lagi, tak sanggup rasanya jika menyuruhnya pergi. Dilema besar kini tengah mengungkung perasaan Nisa.
Lama keduanya bertatapan. Empat tangan dari dua manusia yang saling merindu itu bertautan, menghasilkan getaran kecil.
"Maafkan aku," ucap Fajar lirih.
"Dari mana saja kamu? Kenapa tidak pernah mengirimiku surel? Kenapa tidak membalas surel? Kenapa tidak sekali saja kamu mangabariku? Kenapa harus selama ini? Kenapa, Fajar? Kenapa?" Walau terbata Nisa berhasil mengungkapkan pertanyaan yang selalu menindih hatinya. Air mata itu masih mengalir.
"Maafkan aku," hanya itu kata yang mampu diucapkan Fajar. Dia merasa dosanya terlalu besar. "Maafkan aku, Nisa," ucap Fajar lagi.
"Tapi kenapa? Apa sebenarnya arti hubungan kita di matamu? Aku menunggui tanpa kabar sama sekali. Kamu bilang yang memberikan umur untuk hubungan jarak jauh seperti ini hanya komunikasi, Jar. Aku manut. Dan … aku butuh itu sepuluh tahun ini. Tapi kamu, kamu kemana?" Kali ini tubuh itu ambruk, lutut Nisa menubruk lantai—berlutut.
Fajar ikut berlutut menghadap Nisa, dia segera meraup wajah itu. Wajah yang selalu dia rindukan. Iya tahu, wajah itu kini terluka. Rambutnya yang tergerai itu menutupi sebagian dari wajahnya. Fajar segera menyeka rambut itu kebelakang telinga Nisa, kemudian kedua ibu jarinya dikomando untuk menyeka air matanya.
"Aku hanya tidak ingin calon istriku dinafkahi oleh seorang tukang tato," ucap Fajar pelan namun penuh makna. "Aku kembali sebagai orang baru, bukan si pembuat tato." Detik berikutnya kedua tangan itu menghambur memeluk Nisa. Mengusap punggungnya, dan bibir itu mengcup keningnya. Pelukan itu dibalas Nisa. Penantian lamanya telah berakhir hari ini. Rasa benci luruh bersamaan dengan datangnya perasaan bahagia yang membuncah.
"Maafkan Paman." Tanpa sadari keduanya, seseorang ikut bergabung. Tangan yang sudah ringkih itu kemudian memegang bahu Nisa juga Fajar. Keduanya kali ini menyadari siapa gerangan yang datang. "Maafkan Paman," ucap lelaki yang umurnya sudah melampaui setengah abad itu lagi. Kali ini lebih lirih, lebih mengungkap penyesalannya.
Selesai ...
Oleh: Rizky Kurniawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H