Semua anak terlihat antusias dengan dongeng Nisa tentang Isal si salmon. Bahkan saat cerita berakhir, tepuk tangan bergemuruh sebagai tanda apresiasi dari anak-anak. Selalu ada sensasi yang membahagiakan tiap cerita usai. Sensasi yang sama persis ketika surel-surel itu masih berdatangan, sama persis ketika mendengar suara Fajar, sama juga saat menyaksikan kebahagiaan Heln dan Klara yang ketika itu dipersunting pujaan hatinya masing-masing. Namun bedanya, ini terus menerus—setiap hari—sama seperti sebelum Nisa dan Fajar terpaut jarak—kini benar-benar hilangÂ.
Setelah selesai mendongeng, Nisa kembali ke ruangannya. Ada beberapa urusan administrasi yang harus diselesaikan.
"Silahkan masuk, Pak Fajar," ucap Rio mempersilahkan lelaki dengan pakaian rapi berjas untuk masuk ke ruangan Nisa. "Mbak Nisa, Perwakilan PH dari surabaya yang tadi saya ceritakan sudah datang," ucapnya lagi.
Nisa mengangkat kepalanya, melihat siapa yang dipanggil Fajar barusan. Nafasnya sesak seketika, mulutnya kelu, matanya tidak berkedip barang sekali. Perasaan itu tidak pasti apa bentuknya. Dia tidak bisa membedakan mana rindu, mana marah. Mana cinta, mana benci.
Orang yang dipandang tak kalah kagetnya. Rindu itu bergelora bersama rasa bersalahnya.
Tidak ada yang mengkomando, air mata itu turun bersamaan. Tangis haru. Hal yang demikian itu membuat Rio yang bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.
"I—ini, Pak Faj ...," nama itu tak sempat selesai diucapkan Rio. Dia memperhatikan Nisa kali ini berdiri, menyeka air matanya yang kian membanjiri pipi. Segaris senyum yang dia rasa aneh merekah di sana. Tapi detik berikutnya, Nisa menghambur mendatangi ke arahnya dan Fajar. Langkahnya cepat. Rio menduga Nisa akan menghambur memeluk orang yang ada dibelakangnya. Jelas ada perasaan rindu di sana, siapapun akan merasakan.
Selangkah, dua langkah, kemudian beberapa langkah, Rio mempersilahkan Nisa melewatinya. Kemudian terus melangkah ke arah Fajar. Tapi tebakannya salah besar. Tidak ada pelukan, tidak ada kata-kata. Nisa hanya terus melangkah ke luar tanpa menoleh sedikitpun ke arah Fajar.
"Mbak," panggil Rio.
"Biar saya saja," ucap Fajar, yang dibalas dengan anggukan Rio. Fajar segera mengejar Nisa yang sedikit berlari menuju ke arah jalan. Adegan kejar-kejaran itu tak ayal menjadi pusat perhatian banyak orang. Namun keduanya sama sekali tidak memperdulikan itu, masa bodoh mereka mau berpikir apa. Jika dilihat-lihat keadaan itu terlihat seperti adegan di film-film.
Nisa memberhentikan taksi, dan segera masuk ke dalam. Hanya sepersekian detik berikutnya taksi itu melaju. Fajar tidak berhasil mencegah. Otaknya berpikir cepat, dia kembali ke arah sanggar.