Heln mengangguk, wajahnya semakin sumringah. "Iya, kemarin malam Tony resmi melamarku," jawab Heln antusias.
"Ya Tuhan ... selamat," Nisa langsung menghambur memeluk Heln, erat, lama. Ada perasaan bahagia tengah menguar dengan luar biasanya di sana.
Semenit kemudian keduanya saling melepaskan. Wajah bahagia masih terpancar dari keduanya.
"Enam bulan. Aku diberi waktu enam bulan untuk menikmati sisa masa lajangku, Nisa. Tony akan menikahiku. Ini gila, Nisa. Ini gila!" Kali ini air mata tak sengaja menetes dari pelupuk mata Heln.
Nisa segera menggenggam tangan Heln, lalu kembali tarsenyum. Ikut bahagia. "Selamat," katanya lagi.
***
Sepuluh tahun sudah sejak Fajar pergi dari kehidupan Nisa. Umurnya sudah memasuki kepala tiga awal. Sahabatnya Heln sudah dikaruniai tiga orang anak. Klara sudah menikah enam bulan lalu. Butiknya sudah berkembang sejak Kevin—suami Klara—ikut bergabung memanajemen butik. Sekarang Nisa sudah tidak terlalu sibuk dengan butik. Fokusnya kali ini beralih. Dia lebih senang dengan kegiatan sosial, di sebuah tempat yang dinamakan sebagai sanggar alfabet. Sebuah tempat bermain anak dengan segudang aktifitas positif di dalamnya. Nisa kebagian tempat sebagai pendongeng di sanggar itu. Seminggu tiga kali dia pasti akan mendongeng untuk anak-anak di sanggar tersebut, menyenangkan anak-anak juga dirinya.
Itulah beberapa di antara banyaknya hal yang berubah dalam kehidupan Nisa. Dari semuanya itu hanya satu hal yang belum berubah, perasaannya pada Fajar. Lelaki itu masih tak nampak hingga sepuluh tahun ini.
"Nisa, paman tidak bermaksud untuk mencampuri segala urusanmu. Tapi, apa tidak sebaiknya kamu segera mempunyai pendamping. Banyak laki-laki mapan di luar sana yang bersedia menjadi suamimu. Apa tidak sebaiknya kau pilih satu di antara mereka?"
Nisa terperanjat saat mendengar ucapan itu tiba-tiba keluar dari mulut pamannya, sekitar empat tahun lalu—saat itu enam tahun sepeninggal Fajar. Nisa terenyuh mendengar ucapan pamannya. Mungkin pamannya tidak salah mengucapkan hal yang demikian, tapi perasaannya berkata lain. Fajarlah satu-satunya orang yang akan menjadi pendamping hidupnya—berlaku pula ketika Fajar memang benar-benar hilang dari peredaran dalam arti sebenarnya. Itu sudah kesepakatan antara jiwa dan raganya. Jadi, harus tetap seperti itu.
Setahun dari hari itu Nisa menyadari satu hal, firasatnya tentang Fajar. Tujuh tahun telah berlalu, Fajar tak kunjung datang. Namun begitu, kini hatinya tidak lagi gundah. Bahkan hati kecilnya merelakan jika Fajar memang benar-benar hilang dari peredaran dalam arti sebenarnya. Atau yang lebih parah, dia akan rela jika Fajar menemukan orang lain untuk bisa didampingi. Tiga tahun berikutnya tidak lagi banyak bicara soal Fajar. Bahkan alamat surelnya tak pernah dicek lagi sejak saat itu. Banyak hal lain yang mesti ia kerjakan. Namun satu yang pasti, keyakinannya tentang kepulangan Fajar tidak pernah pudar. Dan dia yakin, dirinya adalah rumah tempat Fajar 'berpulang'.