Mohon tunggu...
nizami
nizami Mohon Tunggu... Penulis - Rakyat

Jangan jahat sama kucing kampung, mungkin malaikat lagi nyamar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Pak, Kenapa Manusia Harus Demo?"

29 September 2019   02:23 Diperbarui: 29 September 2019   02:59 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lestari, anak berumur tujuh tahun itu menyeritkan matanya, tanda serius. 

Bapak yang menyeruput kopi sambil membenari posisi duduknya, "Nak, kenapa kamu bertanya begitu?"

"Enggak sih pak, aku cuma lihat aja di televisi katanya kalau kita gak demo" Lestari memainkan rambutnya yang dikuncir kuda itu dengan polosnya "nanti negara akan hancur"

"Gini ya nak" Bola mata Lestari terlihat makin membesar tanda pensaran "semua itu gak akan terjadi" Lanjut Bapak.

"Lho, memangnya bapak tau masa depan?" 

"Enggak gitu, nak---"

"Aku juga lihat katanya di Papua itu anak-anak kepalanya dikampak!" Potong Lestari "Kampak itu bukannya yang suka Bapak pakai untuk memotong kayu bakar supaya jadi belah dua ya?"

"I---iya, tapi bukan itu yang jadi persoalan"

"Apa?"

"Kamu belum saatnya, untuk memikirkan masa depan negara, nak"

"Kenapa?"

"Ya gak usah pusing sih, Lestari. Kamu badannya masih gemuk, makanmu sehari tiga kali, tidurmu nyenyak diatas kasur empuk, Bapak juga sudah belikan komputer baru untuk kamu" Bapak merenggangkan punggungnya kelelahan karena baru pulang dari kemacetan Jakarta.

"Memangnya kalau anak kecil itu nggak boleh ya, Pak, mikirin masa depan negara gitu?"

"Boleh"

"Terus kenapa bapak bilang belum saatnya?"

"Lho, kamu" Bapak berdiri dari kursi kayu jati itu dan berjalan perlahan meninggalkan Lestari serta pertanyaannya.

Lestari berdiam,

Menatap malam yang dipeluk rembulan dan bintang yang berebutan cahanya, lalu menatap ke bawah, melihat nyamuk-nyamuk yang menyantap makan malam dari kaki mungilnya.

eh, kalian, kalau aku pukul, mati lho, gumamnya dalam hati. Lestari memutuskan meniup nyamuk-nyamuk lapar itu agar terhempas pergi.

"Lestari.. Masuk nak sudah jam sembilan, besok sekolah pagi kamu tuh!" Teriak Ibu dari dalam ruang televisi.

Lestari tidak menjawab, dia masuk dan mencuci kaki, sebelum masuk kamar, Lestari melirik Bapak yang sedang menonton televisi bersama Ibu, dari balik suara zzzttt zzzzrtrt terdengar pembicara di televisi

"zzztttr ... okt.. er.. Soeko Marsetyo yang di.. kar hidup-hidup kemarin, zzzttrr PB IDI berduka dengan bend...zztttr ra setengah tiang & memakai pita hitam sebagai penghormatan terhadap almarhum zzttrrr"

"LESTARI!"

"iya ma" Lestari berlari kecil karena takut dimarahi ibu.

Sebelum tidur Lestari duduk melamun diatas kasurnya, membayangkan kalau dia jadi dokter dan dibakar, kalau dia jadi anak-anak kepalanya dikampak, membayangkan ini, membayangkan itu.

Gak apa-apa deh, aku dijahatin orang, biar aja, kalau aku minta tolong pak presiden juga kan belum tentu ditolong, ya sudah, Tuhan. Aku berdoa sebelum tidurku ini, aku gak apa-apa dijahatin, asal aku gak jahat sama orang 

Anak kecil itu menutupi setengah badannya dengan selimut, dan terlelap dibawah nyanyian swinger AC.

Paginya, seperti biasa, Bapak harus ke kantor lagi mencari pundi, hampir tiap pagi sebelum ke kantor, Bapak mengantar Lestari.

Matanya masih menyala karena kurang tidur menatap semua yang ada di televisi semalam, Ibu sudah memasak karena tidak bergadang. Ayah emosinya sedang tinggi, seperti seorang Bapak pada umumnya, dia tak mau diganggu, tapi tetap bertanggung jawab.

"Mana sepatu mu, nak?"

"Sudah diluar, Pak"

Mereka berangkat menggunakan motor karena jarak sekolah Lestari tidak terlalu jauh dari rumah.

Mengemudi setengah ngantuk

Menghadang sapaan dinginnya pagi

Demi menjadi seorang manusia

yang disebut oleh mulut orang bahwa sudah dewasa

Sesampainya, Bapak berpesan untuk Lestari agar jangan beli minuman dingin karena dikhawatirkan flu, Lestari diam tak menjawab.

"Kenapa?" Tanya Bapak dengan suara parau "Kamu kenapa gak nurut sama Bapak?"

"Aku mau ngomong sama Bapak, tapi jangan marah, ya, janji?"

"janji"

"Lestari minta maaf"

"Lho, masih pagi sudah bikin dosa apa kamu?"

"Bukan, Pak, kemarin itu.."

"Oh apa ya, enggak apa-apa sih, Bapak gak marah"

"Bukan soal Bapak marah" Lestari menggelengkan kepalanya, terlihat poninya mengikuti.

"Soal apa, nak?"

"Soal kesalahan Lestari"

"Apa?"

"Lestari nggak memikirkan masa depan negara, Pak"

Bapak heran kenapa Lestari masih membahas perdebatan kanak-kanak kemarin, "Kalo enggak, apa dong" Bapak membenahi spion nya yang agak miring.

"Aku memikirkan masa depanku"

Hati Bapak mencair bagai Antartika yang diangkat dan dipanggang di wajan Sahara,

Cuaca dingin seketika jadi panas dan membingungkan

Bapak kehabisan kata-kata

kriiiing,

Dengan polosnya, Lestari berlari melambaikan tangan kepada bapak dan berlalu bersama kawan-kawan seragam putih-merahnya yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun