Di balik semua itu, Liliana mulai merencanakan sesuatu yang lebih besar. Ia tidak bisa menerima bagaimana semua orang, termasuk Kenandra, selalu berpihak pada Ariana. Ia merasa bahwa ia adalah korban sebenarnya, dan ia bertekad untuk membalas semuanya. Liliana tahu bahwa untuk menghancurkan Ariana, ia harus menghancurkan kepercayaan Kenandra terlebih dahulu.
Rencana Liliana mulai berjalan perlahan, seperti racun yang merayap dalam diam. Ia tahu bahwa konfrontasi dengan Ariana secara langsung hanya akan membuatnya semakin terpojok. Maka, ia memutuskan untuk memutar keadaan dengan cara yang lebih licik. Ia mulai menyebarkan desas-desus kecil di antara anggota keluarga dan kerabat dekat, menyiratkan bahwa Ariana memiliki niat tersembunyi terhadap Kenandra.
"Aku tidak ingin mencampuri urusan mereka," ujar Liliana suatu hari pada bibi mereka saat sedang menikmati the.
"Tapi aku tidak bisa menahan perasaan bahwa Ariana terlalu bergantung pada Kak Ken. Aku takut itu akan menjadi masalah di masa depan."
Bibi itu memandang Liliana dengan tatapan penasaran.
"Apa maksudmu?" tanyanya, suaranya penuh rasa ingin tahu.
Liliana hanya mengangkat bahu dengan ekspresi polos.
 "Aku tidak tahu pasti, tapi kau tahu sendiri bagaimana Ariana. Dia selalu tampak rapuh, tapi mungkin itu hanya cara untuk mendapatkan perhatian lebih dari Kak Ken."
Perkataan itu, meski disampaikan dengan nada santai, mulai menyebar seperti api di antara kerabat. Sebagian besar menganggapnya hanya gosip belaka, tetapi beberapa mulai memandang Ariana dengan kecurigaan. Dalam salah satu kunjungan mereka ke rumah Kenandra, kerabat yang mendengar rumor ini mulai membicarakannya dengan beberapa pekerja rumah tangga. Desas-desus itu pun merembet ke dalam rumah, menciptakan atmosfer yang semakin tidak nyaman bagi Ariana.
Sementara itu, Ariana sendiri mulai merasakan tekanan dari perubahan sikap orang-orang di sekitarnya. Ia sering kali mendapati dirinya menjadi subjek bisikan-bisikan pelan atau tatapan aneh saat berada di ruang keluarga. Namun, ia tidak mengatakan apa-apa pada Kenandra. Sebaliknya, ia mencoba menjauh dan menghabiskan lebih banyak waktu sendirian di kamarnya atau perpustakaan.
Kenandra mulai khawatir dengan perubahan ini. Ia sering mencoba mendekati Ariana, tetapi gadis itu selalu mencari alasan untuk menghindarinya. Suatu malam, ia akhirnya memutuskan untuk berbicara dengan Ariana.
"Ariana, apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya ketika menemukan gadis itu di perpustakaan.
 Ariana tampak terkejut dengan kedatangannya, tetapi ia segera menundukkan kepala, menghindari tatapannya. "
Tidak ada apa-apa, Kak Ken," jawabnya pelan.
Kenandra tidak puas dengan jawaban itu. Ia mendekati Ariana dan duduk di kursi di depannya.
"Jangan berbohong. Semua orang di rumah ini mulai bersikap aneh terhadapmu, dan aku tahu kau merasakannya. I know there's something going on."
Ariana menggigit bibirnya, tampak ragu untuk berbicara. Akhirnya, ia menghela napas panjang.
"Aku tidak tahu dari mana asalnya, tapi aku merasa ada yang menyebarkan rumor tentang aku... dan tentang kita."
"Kita?" Kenandra mengernyit. "Apa maksudmu?"
Ariana mengangkat bahu, jelas tidak nyaman.
"Beberapa orang mulai memandangku dengan tatapan aneh, seolah-olah aku melakukan sesuatu yang tidak pantas. Aku mendengar bisikan-bisikan mereka, tapi aku tidak tahu apa yang mereka katakan dengan pasti."
Kenandra merasakan kemarahan perlahan membara di dalam dirinya. Ia tahu betul siapa yang mungkin berada di balik semua ini. Liliana. Hanya gadis itu yang memiliki keberanian untuk memainkan permainan kotor semacam ini.
"Dengar, aku akan mencari tahu siapa yang bertanggung jawab," ujar Kenandra dengan nada tegas.
"Kau tidak perlu menghadapi ini sendirian."
Ariana tersenyum tipis, tetapi ada kesedihan di matanya.
"Terima kasih, Kak Ken. Tapi, aku tidak ingin ini menjadi lebih besar daripada yang sudah terjadi. Mungkin lebih baik aku menjauh untuk sementara waktu."
"Tidak," potong Kenandra tajam.
"Kau tidak akan ke mana-mana. Ini rumahmu juga, dan aku tidak akan membiarkan siapa pun membuatmu merasa seperti ini."
Ariana terdiam, matanya berkaca-kaca. Namun, sebelum ia bisa mengatakan apa-apa, pintu perpustakaan terbuka dan Liliana masuk dengan senyum lebar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI