“Aku sehat, Bu.” Mila membuka pintu minimarket. “Nggak sakit apa-apa kecuali mimisan waktu musim dingin.” Dia mengambil keranjang belanja sambil terus berbicara di telepon.
“Syukur kalau begitu,” ucap Ibu di ujung telepon. “Ibu juga di sini sehat. Adik-adikmu juga.”
Mila mengambil satu cup mi instan dari ujung rak. “Uang yang kemarin aku kirim cukup?” tanya Mila. Dia beralih ke bagian minuman bersoda.
“Ibu kan sudah bilang, jangan kirim uang. Pakai uang beasiswamu sebaik-baiknya. Ditabung saja, kamu kan tinggal di negeri orang. Kalau terjadi apa-apa terus kamu nggak punya dana darurat gimana?”
Mila tertawa mendengus. “Apa-apa itu maksudnya apa?”
“Ya apa gitu, sakit atau apa, kan kamu nggak bisa ngandelin siapa-siapa di sana.”
“Aku punya tabungan kok, Bu. Uang yang aku kirim sudah dipotong untuk tabungan.”
“Tapi kok banyak?”
“Aku tinggal di kota kecil, Bu. Jadi biaya hidupnya murah. Tidak keluar uang untuk ongkos, ke kampus naik sepeda, makan masak sendiri. Jadi hemat.”
“Tapi yang penting, jaga kesehatan, ya,” ucap Ibu untuk kesekian ribu kalinya.
“Iya, iya.” Mila tidak menemukan soda yang biasa dia beli. Diliriknya kasir yang yang sedang mengelap kaca pintu. “Permisi.”
Kasir itu menoleh. “Ya?”
“Kenapa soda yang di sini tidak ada?” tanya Mila.
Kasir itu berlari kecil ke arah Mila. Melihat bagian rak yang kosong, kemudian membungkuk. “Maaf, stoknya sedang habis. Baru akan dikirim besok pagi.”
“Oh. Terima kasih.”
“Sama-sama.” Kasir itu membungkukkan badan kemudian berbalik.
“Siapa tadi, La?” Ibu masih berbicara telepon.
“Kasir minimarket, Bu. Tadi aku tanya kenapa soda yang biasa aku beli tidak ada.” Mila mengambil kaleng soda merek lain.
“Kamu minum soda? Sejak kapan?” suara Ibu terdengar kaget.
“Sering kok, Ibu saja yang tidak tahu.” Mila memasukkan kaleng soda itu ke keranjang setelah memastikan tidak ada kandungan alkohol di dalamnya.
“Oh, begitu.” Hening sejenak. Mila berjalan ke bagian minuman lainnya. “Mila,” ujar Ibu lembut.
“Hm?”
“Kamu betah di sana, Nak?”
Mila diam saja. Ibu jarang bertanya hal seperti ini. Biasanya pertanyaan yang Ibu tanyakan standar saja seperti biasanya makan apa dan jam berapa, bagaimana teman-teman kampus, dan lain-lain. Ibu seharusnya sudah paham betul sifat Mila yang tidak suka pertanyaan macam ini.
“Ya, begitulah.” Mila memasukkan beberapa botol yoghurt ke dalam keranjang belanjaan.
“Mila,” ujar Ibu lagi. “Ibu tahu betul sebenarnya bukan ini yang kamu inginkan. Ibu tahu kamu ingin kuliah keluar negeri. Tapi bukan di sana. Ibu tahu kamu ingin kuliah di mana. Kamu sudah memimpikannya sejak SMA. Bahkan waktu kamu gagal kuliah S1 keluar negeri, kamu selalu bilang, ‘kalau tidak bisa kuliah S1 di sana, masih ada kesempatan S2’. Tapi sekarang…”
“Bu,” desah Mila. “Gak usah dibahas lagi, deh.”
“Mila, kamu bukan orang yang mudah menerima hal yang di luar keinginan kamu. Keadaan kamu yang sekarang ini bikin Ibu merasa bersalah.” Suara Ibu bergetar.
“Ibu, udah deh.” Mila menghembuskan napas keras. Di menuju meja kasir dan mengeluarkan dompetnya. Di seberang sana Ibu tidak berkata apa-apa, tapi Mila tahu Ibu sedang menahan tangis.
“Semuanya 5.800 won,” ujar kasir itu. Dia tersenyum manis. “Saya kasir baru di sini, saya siswi SMA yang baru lulus. Mohon bantuannya.” Dia membungkuk sopan. Mila membalasnya hanya dengan mengangguk kecil. “Anda sepertinya suka sekali dengan yoghurt. Anda sampai membeli setengah lusin.”
“Tidak juga.”
“Anda dari luar negeri?” Kasir itu memasukkan belanjaan ke dalam kantung plastik.
“Hm-mh.” Mila memberikan selembar 10.000 won padanya.
“Kuliah?”
“Hm-mh,” jawab Mila lagi. “Beasiswa. Dari pemerintah negara saya,” tambah Mila. Dia khawatir kasir ini mengira beasiswa dari pemerintah negaranya. Biasanya, kalau seperti itu orang akan menatapnya nyinyir karena menganggap dia sudah menghabiskan pajak negara ini.
Kasir itu manggut-manggut. “Ini kembaliannya. Silakan datang lagi.” Kasir itu membungkuk lagi.
Mila mengangguk sopan sambil berlalu. Mila menuju counter untuk mengambil air panas. Dia membuka kemasan mi instan dan mengisinya dengan air panas.
“Bu?”
“Ya?” Suara Ibu sedikit sengau.
“Bu, sudahlah. Buat apa menangis?”
Mila membuka pintu keluar sambil membawa belanjaan dan mi instannya. Di menuju kursi di luar minimarket. Ibu masih tidak bersuara. Hanya hembusan napas berat dan suara menahan tangis yang kentara.
“Bu, aku butuh disemangati, bukan ditangisi.” Mila menghempaskan tubuhnya di kursi.
“Maaf,” ujar Ibu. Selalu, setiap Mila memintanya untuk tidak menangis.
Hening lagi. Mila mengaduk-aduk mi instannya sambil murung. Ingin menunggu ibunya bersuara tapi tak kunjung usai. Ingin menutup telepon namun enggan.
“Bu,” ujar Mila. “Ibu pasti tahu.”
“Tahu apa?”
“Yang aku impian sejak SMA itu bersepeda menuju kampus di Tokyo, atau Osaka, atau Kyoto juga boleh. bukan di Yeungnam. Ingin liburan sambil melihat bunga sakura berguguran di Hokkaido, bukan di Gyeongsan. Ingin jalan-jalan di sekitar Harajuku, bukan di Gangnam. Ingin melihat Gunung Fuji dari jendela kamar, bukan rumah sakit jompo. Ingin melihat pemandangan dari puncak menara Tokyo Tower, bukan dari Seoul Tower. Tapi…”
Mila tercekat. Di seberang tangis Ibu sudah pecah. “Jika semua ini yang diberikan untukku, bukannya musibah, penyakit kanker, atau kemalangan lainnya, bukankah seharusnya aku bersyukur?”
Mila memandang langit malam itu. Lapar yang menimpanya karena hanya makan pisang tadi pagi tiba-tiba hilang.
“Aku memang nggak betah, Bu. Tapi aku nggak apa-apa. Selama aku nggak apa-apa, Ibu nggak usah khawatir.”
Ibu terdengar sesenggukan. “Iya, Nak. Iya…”
Mila mengusap ujung matanya. “Aku sekarang makan dulu, ya. Sudah lapar. Salam buat adik-adik.”
“Iya, Nak. Makan yang banyak, ya. Nanti salammu Ibu sampaikan.”
“Dah, Bu.”
“Dah, Sayang.” Telepon ditutup.
Mila mengaduk-aduk mi instannya sambil menahan tangis. Menutup pembicaraan dengan alasan makan adalah cara terbaik agar Ibu tidak mendengarnya menangis. Andai Ibu tahu, bahwa dia tidak hanya ingin pergi untuk kuliah keluar negeri sendirian saja, tapi dia ingin pergi bersamanya.
Setelah memastikan bahwa mi-nya sudah matang, Mila meniup mi keras-keras dan langsung memakannya. Panas di mulut langsung terasa tapi dia tahan. Jika para seniornya bertanya mengapa wajahnya seperti habis menangis, Mila bisa beralasan kalau dia memakan mi yang terlalu panas karena saking laparnya. Dia tidak bisa bilang kalau dia habis menangis setelah ditelepon ibunya.
“Aku sudah bilang kalau aku tidak bisa.” Mila menoleh cepat. Seorang laki-laki berbicara di telepon sambil berjalan menuju minimarket. Mila buru-buru mengusap wajahnya dan menundukkan wajah, menutupi matanya yang pasti sudah bengkak.
“Aku tidak tahu kapan selesainya, makanya daripada aku mengecewakanmu aku lebih memilih tidak ikut.” Laki-laki itu duduk di kursi di seberang Mila. Sepertinya dia tidak menyadari kehadiran Mila. “Bukan, bukan karena kerja. Ah, bisa dibilang begitu tapi tidak secara langsung.”
Dia masih berbicara tanpa menoleh sedikitpun.
“Sudahlah, aku ikut lain kali saja. Aku benar-benar tidak bisa bolos, aku sudah bayar mahal. Ini investasi untuk karirku.” Laki-laki itu diam sejenak. “Oke, bye.”
Laki-laki itu menutup telepon dan menghela napas. Dia bangkit berdiri sambil menoleh sekitar. Kemudian dia melihat sesosok rambut panjang yang menunduk dalam.
“Ya ampun!” teriaknya kaget. Dia melompat ke belakang. Mila menoleh dengan mi menjuntai dari bibirnya, melirik ke arah laki-laki itu. “Bikin kaget saja!” ujar laki-laki itu.
Mila memalingkan muka tanpa suara. Laki-laki itu menoleh kanan kiri, seperti memastikan sesuatu. “Kau siapa?” Mila menelan mi yang belum selesai dikunyah baru membuka mulut hendak menjawab ketika laki-laki itu memotong. “Kau tidak bawa kamera, kan?”
Mila sampai lupa mengatupkan mulutnya karena bingung.
Dia menoleh kanan-kiri lagi. “Kau tidak bawa wartawan, kan?”
Kali ini Mila mengernyit.
Laki-laki kembali duduk di kursi dan terus menoleh ke kanan dan ke kiri. “Kau tidak menguntitku, kan?”
Kali ini Mila tidak tertarik. Dia kembali berkonsentrasi pada mi instannya. Laki-laki itu diam sambil menatap Mila lekat-lekat. Mengamati gerak-geriknya.
“Kau ini… tidak kaget atau pura-pura tidak kaget bertemu denganku?”
Mila pura-pura tidak mendengar. Laki-laki itu diam sejenak. Wajahnya mengernyit seperti menemukan serangga di kolong meja.
“Jangan-jangan, kau tidak tahu aku?”
Mila menyeruput kuah mi dengan nikmat.
“Kau tidak suka menonton tv?”
Mila tidak menggubrisnya.
Laki-laki itu tampak kesal. “Hei, seenak itukah? Setidaknya jawab pertanyaanku.”
Mila meletakkan cup mi instannya yang tandas. “Saya tidak menonton tv. Saya sibuk.”
“Hanya menjawab saja lama sekali,” cibir laki-laki itu. “Baguslah, berarti aku tidak perlu khawatir kau akan berbuat macam-macam.”
Mila membuka kaleng sodanya sambil mendengus kesal. Seterkenal apa sih orang ini?
Laki-laki itu melirik Mila. “Kau makannya lahap sekali. Minum soda juga.” Mila tidak tahu perlu menanggapinya atau tidak. “Sepertinya aku juga harus beli.”
Laki-laki itu beranjak dari kursi, meninggalkan Mila sendirian. Dia meneguk sodanya sedikit demi sedikit, merasakan sejuknya air yang mengalir setelah panas yang melewati kerongkongannya. Menatap langit sebentar, lalu meminum sodanya lagi.
Laki-laki itu membeli mi instan dan soda yang sama dengan Mila. Namun ketika dia kembali ke meja, yang tersisa hanya meja yang kosong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H