“Kamu betah di sana, Nak?”
Mila diam saja. Ibu jarang bertanya hal seperti ini. Biasanya pertanyaan yang Ibu tanyakan standar saja seperti biasanya makan apa dan jam berapa, bagaimana teman-teman kampus, dan lain-lain. Ibu seharusnya sudah paham betul sifat Mila yang tidak suka pertanyaan macam ini.
“Ya, begitulah.” Mila memasukkan beberapa botol yoghurt ke dalam keranjang belanjaan.
“Mila,” ujar Ibu lagi. “Ibu tahu betul sebenarnya bukan ini yang kamu inginkan. Ibu tahu kamu ingin kuliah keluar negeri. Tapi bukan di sana. Ibu tahu kamu ingin kuliah di mana. Kamu sudah memimpikannya sejak SMA. Bahkan waktu kamu gagal kuliah S1 keluar negeri, kamu selalu bilang, ‘kalau tidak bisa kuliah S1 di sana, masih ada kesempatan S2’. Tapi sekarang…”
“Bu,” desah Mila. “Gak usah dibahas lagi, deh.”
“Mila, kamu bukan orang yang mudah menerima hal yang di luar keinginan kamu. Keadaan kamu yang sekarang ini bikin Ibu merasa bersalah.” Suara Ibu bergetar.
“Ibu, udah deh.” Mila menghembuskan napas keras. Di menuju meja kasir dan mengeluarkan dompetnya. Di seberang sana Ibu tidak berkata apa-apa, tapi Mila tahu Ibu sedang menahan tangis.
“Semuanya 5.800 won,” ujar kasir itu. Dia tersenyum manis. “Saya kasir baru di sini, saya siswi SMA yang baru lulus. Mohon bantuannya.” Dia membungkuk sopan. Mila membalasnya hanya dengan mengangguk kecil. “Anda sepertinya suka sekali dengan yoghurt. Anda sampai membeli setengah lusin.”
“Tidak juga.”
“Anda dari luar negeri?” Kasir itu memasukkan belanjaan ke dalam kantung plastik.
“Hm-mh.” Mila memberikan selembar 10.000 won padanya.
“Kuliah?”