“Tahu apa?”
“Yang aku impian sejak SMA itu bersepeda menuju kampus di Tokyo, atau Osaka, atau Kyoto juga boleh. bukan di Yeungnam. Ingin liburan sambil melihat bunga sakura berguguran di Hokkaido, bukan di Gyeongsan. Ingin jalan-jalan di sekitar Harajuku, bukan di Gangnam. Ingin melihat Gunung Fuji dari jendela kamar, bukan rumah sakit jompo. Ingin melihat pemandangan dari puncak menara Tokyo Tower, bukan dari Seoul Tower. Tapi…”
Mila tercekat. Di seberang tangis Ibu sudah pecah. “Jika semua ini yang diberikan untukku, bukannya musibah, penyakit kanker, atau kemalangan lainnya, bukankah seharusnya aku bersyukur?”
Mila memandang langit malam itu. Lapar yang menimpanya karena hanya makan pisang tadi pagi tiba-tiba hilang.
“Aku memang nggak betah, Bu. Tapi aku nggak apa-apa. Selama aku nggak apa-apa, Ibu nggak usah khawatir.”
Ibu terdengar sesenggukan. “Iya, Nak. Iya…”
Mila mengusap ujung matanya. “Aku sekarang makan dulu, ya. Sudah lapar. Salam buat adik-adik.”
“Iya, Nak. Makan yang banyak, ya. Nanti salammu Ibu sampaikan.”
“Dah, Bu.”
“Dah, Sayang.” Telepon ditutup.
Mila mengaduk-aduk mi instannya sambil menahan tangis. Menutup pembicaraan dengan alasan makan adalah cara terbaik agar Ibu tidak mendengarnya menangis. Andai Ibu tahu, bahwa dia tidak hanya ingin pergi untuk kuliah keluar negeri sendirian saja, tapi dia ingin pergi bersamanya.