Mentari belum menampakkan fajar namun Sultan telah berdiri di beranda rumahnya. Tak biasanya ia seperti ini. Ditariknya dalam-dalam oksigen sebelum tercampur gas monoksida hasil pembuangan aktivitas kendaraan bermotor.Â
Pundaknya yang sudah lumrah menolerir dibebani berbagai macam ujian terasa ringan. Pikirannya tak lagi kalut hingga membuat badannya menyusut. Kebahagiaan di dalam hatinya terpancar hingga raut wajahnya. Begitulah beberapa minggu terakhir di bulan Februari Sultan berlagak.Â
Semenjak sudah dinyatakan lulus ujian sidang, dia bertingkah bahwa dialah salah satu manusia yang paling bahagia, seperti setelah sekian purnama tidak mengenal apa dan bagaimana rasanya berbahagia itu.
Tidak berlangsung lama, kesenangan bersifat fana itu pada akhirnya pun luruh. Bak fatamorgana di tengah gurun panas. Suatu hari Sultan terbangun di malam yang sunyi dengan suatu pikiran yang justru melahirkan beban moral di tingkat kehidupan selanjutnya.Â
Ya, lelaki jangkung berkulit sawo matang yang ramah terhadap siapapun itu dituntut untuk memiliki pencapaian-pencapaian baru dalam dirinya, layaknya konformitas yang telah ditetapkan oleh masyarakat.Â
Bukan dituntut oleh orangtuanya apalagi kawan sepermainannya. Melainkan dirinya sendirilah yang menuntut untuk segera bisa mereleasisasikan ilmu yang sudah ia selami selama tiga setengah tahun.
"Jadi, lo udah dipanggil di mana aja, Dev?" tanya Sultan.
"Gila, kemarin gua baru dipanggil sama salah satu firma hukum terbesar di Surabaya! Tapi, ya gitu, upahnya ga gede-gede amat. Kan, jatuhnya magang kalo kita di firma hukum" jawab Devi.
"Oh, aku paham." Jawab Sultan. Ia memang paham betul konteks kalimat yang baru saja diucapkan oleh teman karibnya di gazebo kampus. Mereka berdua memang salah dua lulusan cum laude. Waktu yang sering mereka habiskan bersama di kampus, entah untuk kegiatan panitia, diskusi, persiapan lomba sampai nongkrong bareng, membuat mereka memahami karakteristik satu dengan yang lainnya.Â
Pernah mereka menaruh harap dapat cepat mendapatkan pekerjaan di suatu perusahaan multinasional dengan gaji yang fantastis. Nyatanya idealisme tersebut membuat mereka tenggelam dalam lautan kesedihan di kemudian hari. Sultan melanjutkan, "Tapi lumayan juga kan kalau memang pada akhirnya diterima. Hitung-hitung cari pengalaman. "
"Bener sih, Tan. Tapi asli gua masih ragu mau jadi pekerja kantoran dengan aktivitas yang itu-itu aja atau terjun jadi orang profesional. Di sisi lain, ga banyak, Tan, tempat lamaran yang nelpon balik gua. Sedih gua tuh."ujar Devi.