Mohon tunggu...
Nusantara Rizky
Nusantara Rizky Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis aktif baik cerpen, puisi, dan berbagai artikel di berbagai media Kalau di beranda kamu menemukan nama Nusantara Rizky Jangan lupa di sapa dan follow Semoga semua karya saya menginspirasi, menyenangkan dan menghibur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Kaca

28 Desember 2017   19:51 Diperbarui: 28 Desember 2017   19:53 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bagi setiap orang kaca adalah sebuah benda yang tak terlalu penting, Fungsinya yang hanya digunakan sebagai pelengkap untuk menyisir rambut dan melihat betapa elok dirinya sendiri itu bisa digantikan dengan kamera depan yang dimiliki oleh sebuah handphone ataupun kaca yang selalu terpasang di toilet. Namun, tidak untuk Herman yang selalu membawa kaca setiap hari kemana pun dia pergi, bahkan dia rela untuk kembali ke rumah dan mengambil kaca bila dia lupa membawanya. Kaca adalah segalanya bagi Herman.

 Kebiasaannya membawa kaca setiap hari, dimana pun dia berada di mulai sejak dia pertama kali bekerja di sebuah perusahaan terbesar di Jakarta. Kaca adalah tuntutan hidupnya yang bukan hanya untuk melihat dirinya sendiri, melainkan untuk melihat orang lain. Kaca adalah senjata Herman menjawab semua keraguan yang ditujukan kepadanya.

Di minggu pertamanya, Herman selalu menjadi perbincangan semua karyawan dari semua divisi yang bekerja di perusahaan tersebut. Ada yang berpandangan positif, tak sedikit pula yang berpandangan negatif. Ibarat kata, Herman menjadi trending topik yang sangat menarik untuk dibicarakan.

Ketampanannya, harum bau badannya yang maskulin, dan perangainya yang baik serta sopan terhadap semua orang adalah topik pembicaraan bagi mereka yang berpandangan positif. Nada bicara mereka pun menunjukkan betapa simpatinya mereka terhadap sosok karyawan baru tersebut. Bahkan, ada yang rela menceraikan suaminya demi mendapatkan Herman.

Bagi mereka yang tak suka dengan Herman. Mereka selalu memperbincangkan tentang posisi Herman sebagai Kepala Divisi yang baru, mengingat status pendidikan Herman yang hanya lulus SMA. Mulai dari simpanan bos, sampai suap menyuap menjadi sajian utama. Mereka pun tak segan-segan memperbincangkannya didepan Herman.

Sebagai Karyawan baru, Herman tak mampu berbuat apa-apa selain mendengar semua yang menjadi topik pembahasan mengenai dirinya tersebut. Dia pun menyadari posisinya sebagai Kepala Divisi memang berlebihan, bahkan sebelum dia ditunjuk sebagai Kepala Divisi, dia sudah meminta untuk menempati jabatan sebagai Office boy sesuai dengan status pendidikannya itu.

"Lama-lama saya nggak kuat kerja disitu." kata Herman yang sedang menghabiskan jam makan siangnya di sebuah warung makan dekat kantornya.

Jam makan siang adalah waktu yang paling ditunggu Herman, karena di jam tersebut dia bisa tersenyum bersama Asih, salah satu pelayan di warung makan langganannya. Tak hanya di hari kerja saja, hari libur pun Herman sering berkunjung ke Warung Makan tersebut tepat di jam makan siang. Tak ada yang mampu mengerti keadaannya selain Asih.

"Kenapa?" tanya Asih yang sedang mengambil beberpa sayur dan lauk untuk Herman.

"Banyak yang nggak suka, hampir setiap hari saya makan hati bekerja disitu, mendengar mereka-mereka yang selalu mempertanyakan tentang posisi saya, terutama Nurul, bawahan saya yang super cerewet itu, sindirannya itu tajam sekali, sepertinya saya ini adalah ancaman terbesarnya atau mungkin juga musuh bebuyutan."

"Enak dong setiap hari makan hati, ya sudah dijalani saja! kalau perlu kamu bawa kaca setiap hari lalu kasihkan si Nurul."

"Buat apa kaca? kau memang memiliki selera humor yang cukup tinggi."

"Orang nyisir sama nyindir itu sama-sama perlu kaca, jadi kasih aja dia kaca, mungkin dia nggak punya kaca dirumah."

Kata-kata Asih menjadi pusat perhatian Herman. Sejak kepulangannya dari warung makan itu, Herman selalu memikirkan kata-kata Asih yang terdengar asing. Sampai-sampai Herman berdiri didepan kaca hanya untuk mengartikan kata-kata Asih itu.

Hampir setiap hari Herman selalu berdiri di depan kaca. Dia melihat dirinya sendiri dan mempertanyakan tentang dirinya sendiri. Jabatan tinggi yang diamanahkan kepadanya saat ini di nilai terlalu berat untuk Herman yang baru saja bekerja. Herman menyadari dirinya belum punya pengalaman yang lebih untuk jabatannya saat ini bila dibandingkan dengan Nurul yang sudah bertahun-tahun bekerja di divisi yang sama dan kini menjadi anak buahnya.

Beberapa kali Herman meminta untuk dipindah tugaskan, tetapi beberpa kali pula permintaan Herman di tolak. Tak ada alasan khusus yang dapat meyakinkan Herman akan jabatannya saat ini. Hanya sebuah kepercayaan yang tinggi yang mampu Herman baca dari beberapa percakapan yang dia lakukan.

"Saya sudah meminta untuk berhenti bekerja atau paling tidak pindah tugas, nggak jadi kepala divisi, tapi tidak boleh." kata Herman yang sedang memakan makanannya.

"Kenapa mau keluar atau pindah posisi?" tanya Asih.

"Habis, Nurul nggak henti-hentinya menyindir saya tentang pengalaman saya memahami, saya nggak punya pengalaman apa pun."

"Semakin tinggi pohon, maka semakin tinggi pula anginnya, kamu harus bersabar dan membuktikan kepada Nurul kalau kamu bisa dan mampu memegang amanah yang diberikan kepada kamu."

"Aku sudah berusaha, menurut penilaian semua orang saya cukup berhasil daripada kepala divisi sebelum saya."

"Kalau begitu tak usah didengarkan, saran saya kasih dia kaca."

"Dari kemarin kamu mnyuruh saya untuk kasih dia kaca, apa maksudnya? Saya nggak paham."

"Sudahlah, kasih dia kaca saja, orang nyisir dan nyindir itu sama-sama butuh kaca."

Beberapa hari kedepan adalah ulang tahun Nurul. Semua karyawan di undang di acara pesta ulang tahunnya, termasuk Herman. Hampir setiap karyawan membicarakan kado apa yang pantas untuk Nurul. Herman teringat akan kata-kata Asih yang menyuruhnya untuk memberikannya sebuah kaca.

Herman berkeliling mencari kaca yang sekiranya pantas dijadikan sebuah kado ulang tahun. Pedagang yang mendengar keinginan Herman itu tertawa terbahak-bahak. Baru kali pertama dia mengetahui sebuah kado ulang tahun adalah kaca. Herman pun menyadari bahwa kado yang diberikannya termasuk salah satu kado teraneh yang pernah diberikan. Namun, dia meyakini kadonya adalah kado yang terbaik.

Begitu meriahnya pesta ulang tahun yang diadakan Nurul. Hampir semua teman-teman Nurul datang ke pesta ulang tahunnya. Herman yang datang, sempat berkeliling ke rumah Nurul. Cukup banyak kaca yang terdapat dirumah Nurul, Herman pun sempat berpikir ulang untuk memberikan kado itu.

"Kamu salah, di rumahnya terdapat banyak sekali kaca."

"Lalu?"

"Ya sudah, saya tetap berikan kado yang berisi kaca itu kepada Nurul."

"Benarkah?"

Setelah pesta ulang tahun tersebut, Nurul mengalami perubahan sikap yang cukup membuat semua orang merasa heran. Nurul yang biasanya memulai pembicaraannya mengenai Herman, kini hanya terlihat diam seribu bahasa. Bahkan, terlihat tak berdaya dihadapan Herman.

Satu minggu ini, keadaan menjadi terbalik. Biasanya, Herman yang selalu menempati peringkat pertama, kini digeser oleh Nurul. Sikap pendiamnya akhir-akhir ini menjadi pembicaraan yang sangat hangat. Nurul pun juga tampak malu bila bertemu dengan Herman, dia selalu menundukkan kepalanya dan menegurnya dengan penuh keramahan dan kesopanan.

"Kau benar, dia sekarang menjadi pendiam dan tak lagi menyindir saya."

"Benarkah?"

"Ya, sekarang saya tahu apa yang kau maksud dengan nyisir dan nyindir itu memang membutuhkan kaca."

"Baguslah kalau begitu, saya turut senang mendengarnya."

"Kau tahu, setiap hari saya membawa kaca, kemana pun saya pergi selalu ada kaca."

Tak ada yang dilakukan Nurul dalam menghadapi orang-orang yang mulai menyindir dirinya. Dia hanya memberikan kaca kepada mereka satu persatu seperti yang dilakukan Herman kepadanya. Seperti halnya Nurul, mereka pun terdiam dan tak lagi memperbincangkan Nurul. Walau, pada awalnya mereka bingung dengan kaca pemberian Nurul.

"Saya tahu alasan kenapa kau diangkat menjadi Kepala Divisi." kata Nurul yang menemui Herman diruangannya sembari meminta tanda tangan Herman untuk beberapa berkas penting.

"Kenapa?"

"Kau mampu menyadarkan kami dengan kaca itu, jujur sebenarnya aku pun juga tak pernah punya pengalaman, aku bisa masuk kesini karena dibawa seseorang, berbeda dengan dirimu yang bisa masuk tanpa bantuan siapa pun, maafkan saya."

"Satu lagi, aku tak tahu apakah aku bisa tenang bila aku mengahadapi masalah seperti yang kau hadapi ini, mungkin ini adalah alasan dari atasan memilihmu."

Herman tak begitu menanggapi pujian dari Nurul itu. Dia hanya sedikit tersenyum lega dengan apa yang diperbuatnya. Benda kecil yang seakan tak berharga itu telah menyelamatkan dirinya dari apa pun.

Hampir setiap hari sebelum para karyawan bekerja. Mereka semua melihat kaca yang selalu mereka bawa masing-masing. Mereka melihat diri mereka masing-masing di depan kaca itu, sebelum mereka menyindir orang lain ataupun menjatuhkan orang lain. Suasana menjadi begitu hangat, semangat bekerja mereka pun menjadi semakin tinggi dengan kehadiran kaca yang menjadi barang wajib.

Kebiasaan tersebut menjadi bahan pembicaraan semua kepala divisi kecuali Herman yang sudah mengetahui maksud dari kebiasaan tersebut. Mereka sebenarnya ingin sekali memberikan kaca kepada para kepala divisi yang menyindir kebiasaan aneh mereka itu, tetapi mereka ragu dan takut akan dipecat jika mereka memberikan kaca itu. Mereka pun hanya terdiam dan tetap menjalankan apa yang menjadi kebiasaan mereka setiap hari sebelum melakukan aktifitas bekerja. Berharap suatu hari nanti akan ada seseorang yang berani memberikan mereka kaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun