"Buat apa kaca? kau memang memiliki selera humor yang cukup tinggi."
"Orang nyisir sama nyindir itu sama-sama perlu kaca, jadi kasih aja dia kaca, mungkin dia nggak punya kaca dirumah."
Kata-kata Asih menjadi pusat perhatian Herman. Sejak kepulangannya dari warung makan itu, Herman selalu memikirkan kata-kata Asih yang terdengar asing. Sampai-sampai Herman berdiri didepan kaca hanya untuk mengartikan kata-kata Asih itu.
Hampir setiap hari Herman selalu berdiri di depan kaca. Dia melihat dirinya sendiri dan mempertanyakan tentang dirinya sendiri. Jabatan tinggi yang diamanahkan kepadanya saat ini di nilai terlalu berat untuk Herman yang baru saja bekerja. Herman menyadari dirinya belum punya pengalaman yang lebih untuk jabatannya saat ini bila dibandingkan dengan Nurul yang sudah bertahun-tahun bekerja di divisi yang sama dan kini menjadi anak buahnya.
Beberapa kali Herman meminta untuk dipindah tugaskan, tetapi beberpa kali pula permintaan Herman di tolak. Tak ada alasan khusus yang dapat meyakinkan Herman akan jabatannya saat ini. Hanya sebuah kepercayaan yang tinggi yang mampu Herman baca dari beberapa percakapan yang dia lakukan.
"Saya sudah meminta untuk berhenti bekerja atau paling tidak pindah tugas, nggak jadi kepala divisi, tapi tidak boleh." kata Herman yang sedang memakan makanannya.
"Kenapa mau keluar atau pindah posisi?" tanya Asih.
"Habis, Nurul nggak henti-hentinya menyindir saya tentang pengalaman saya memahami, saya nggak punya pengalaman apa pun."
"Semakin tinggi pohon, maka semakin tinggi pula anginnya, kamu harus bersabar dan membuktikan kepada Nurul kalau kamu bisa dan mampu memegang amanah yang diberikan kepada kamu."
"Aku sudah berusaha, menurut penilaian semua orang saya cukup berhasil daripada kepala divisi sebelum saya."
"Kalau begitu tak usah didengarkan, saran saya kasih dia kaca."