Aku pun cukup sabar untuk menahan sikapnya yang begitu over protektif dan ingin menang sendiri. Karena ibuku pernah mengajarinya kepadaku. Yah, semua yang diajarkan ibu tentang menjaga hati seorang wanita telah ku terapkan tapi tetap saja sama. Tidak ada perubahan yang berarti.
Akhirnya, hubungan kami pun berakhir, di kala aku sedang membutuhkan semangat darinya. Dia pergi dan menikah dengan orang lain. Padahal, aku telah membelikannya cncin emas yang cukup mahal.
Aku harus bekerja banting tulang pagi hingga malam tanpa mengenal lelah. Sedikit demi sedikit uang itu aku kumpulkan. Rasa sakit yang terasa dalam diriku tak pernah kurasakan. Demi memberikannya cincin emas mahal untuk meminangnya.
Aku terpuruk, benar-benar terpuruk. Seakan duniaku telah berhenti sampai di sini. Tak ada lagi semangat untuk memulai hari. Terkadang, aku ingin sekali matahari itu tak pernah terbit, agar tak ada hari selanjutnya.
"Kau kenapa kawan? Beberapa hari ini aku lihat kau begitu murung?" tanya Rafael dengan secangkir kopinya.
"Sebelum ku jawab, boleh aku bertanya sesuatu padamu?"
"Yah, apa?"
"Aku tak pernah melihatmu murung ataupun bersedih, apa resepnya? Beri tahu kepadaku!" tanyaku.
"Resep? Aku bukanlah seorang chef yang mempunyai resep untuk bisa menjawab pertanyaanmu, aku ini hanyalah karyawan biasa?"
"Bukan itu maksudku...."
"Sudahlah, aku tahu apa yang kau maksud, aku hanya bercanda, biar kau tak tegang terus?"