Mohon tunggu...
Nusantara Rizky
Nusantara Rizky Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis aktif baik cerpen, puisi, dan berbagai artikel di berbagai media Kalau di beranda kamu menemukan nama Nusantara Rizky Jangan lupa di sapa dan follow Semoga semua karya saya menginspirasi, menyenangkan dan menghibur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Secangkir Kopi

19 Desember 2017   19:16 Diperbarui: 19 Desember 2017   19:23 2248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1.

Secangkir kopi. Aku semakin tak terkendali untuk selalu menikmatimu. Aromamu begitu menenangkan jiwaku yang sedang bergejolak hebat. Entah, mantra apa yang diberikan kepadaku, sehingga aku benar-benar tergila-gila kepadamu. Kau benar-benar merubah hidupku yang gelap menjadi berwarna. Seperti rasa yang kau ciptakan, yang awalnya pahit menjadi manis.

Sekarang aku tak takut lagi dalam menghadapi badai yang datang kepadaku. Aku tak takut jika aku harus berdiri sendiri disini. Karena aku tahu, kau tak akan pernah meninggalkanku, secangkir kopi. Kau akan panggil mereka untuk menemaniku dan memberikan jalan keluar dari setiap kebimbanganku. Seperti halnya yang selalu kau lakukan kepadaku.

Aku berterima kasih kepada Rafael yang telah mengenalkanmu kepadaku. Kita bersahabat baik, setelah aku membuang secangkir kopi yang dia buatkan untukku. Kita menjadi akrab, karena dia dengan penuh kesabaran membuatkanku lagi dan lagi, kali ini aku tak menolaknya.

Secangkir kopi. Kau kembali menyelamatkanku dari keterasingan. Aku yang seperti terbuang, merasa bangkit kembali dengan keramahan para penduduk desa. Mereka berbaur menjadi satu, tanpa mengenal kasta, tanpa mengenal harta, itu semua karena kau secangkir kopi.

Aku benar-benar merasakan keakraban, kerukunan, dan kebersamaan layaknya sebuah keluarga. Canda tawa mereka, pembicaraan mereka, dan kehangatan mereka benar-benar aku rasakan. Aku merasa nyaman dengan penduduk disini. Sepertinya, aku tidak perlu lagi mencari tempat persinggahan lagi.

Meminummu adalah rutinitas wajib bagi mereka di malam hari. Kau menyatukan kami untuk selalu datang, menikmatimu sembari berkumpul bersama. Tak ada satu orang pun yang absen setiap malamnya. Seperti sebuah ritual wajib yang harus dilakukan, seperti itulah aku bisa memperkirakan.

Bila salah satu dari kami tak datang, mereka selalu mempertanyakan. Tak jarang mereka datang kerumah dan mengajakku untuk berkumpul bersama, menikmati secangkir kopi yang memang terasa nikmat. Bila itu sudah terjadi, aku merasa terharu. Karena, aku adalah pendatang baru disini, tetapi mereka seperti menganggapku telah lama tinggal disini.

"Bagaimana kabarmu di sana kawan?" tanya Rafael yang sengaja menelponku malam-malam.

"Aku baik-baik saja, bagaimana kabarmu di sana?" tanyaku kembali.

"Aku juga baik-baik saja, bagaimana kau masih minum secangkir kopi?"

"Iya, aku minum tiap malam dengan para warga di sini."

Ketika Rafael menelponku. Seketika aku teringat akan kampung halamanku yang telah melahirkanku dan membesarkanku. Aku rindu semua masa laluku yang indah, bukan masa laluku yang kelam. Aku ingin kembali, tetapi aku terlalu bahagia disini.

2.

Secangkir kopi. Terkadang, aku tak pernah paham dengan mereka yang begitu menyukaimu. Terlebih lagi, bila kau disandingkan dengan sebatang rokok. Buatku yang tak suka rokok pasti akan menghindarimu. Tetapi, anehnya aku mendekatimu.

Seperti halnya aku yang dulunya menjauhi Nadin, teman sekampusku. Dan, beberapa hari setelah aku mati-matian mengejarnya. Bahkan, aku sempat dibuat gila karenanya. Aku sempat dibuat tak berdaya karena tak bisa mendapatkan hatinya.

"Aku berhasil pacaran dengan nadin." kataku waktu itu kepada Rafael.

"O, iya? Selamat, aku senang mendengarnya, kalau gitu ayo kita ngopi dulu, ada kopi enak yang baru saja ku beli," ajak Rafael.

"Aku nggak ngopi Rafael, alu taidak suka kopi." kataku kepadanya.

Hubunganku dengan Nadin, seperti halnya hubunganku denganmu secamgkir kopi. Kita begitu dekat, tetapi aku merasa tak memilikinya. Sama halnya aku begitu dekat denganmu karena Rafael selalu meminummu tetapi aku tak pernah mau meminummu.

Entah mengapa perasaan itu semakin terasa ketika kita sama-sama telah lulus kuliah. Pacaran selama 4 tahun seakan tak berarti dan tak membekas apa pun. Bahkan, untuk tergores sedikit pun tidak. Aku frustasi waktu itu, hidupku hampa ingin rasanya aku bunuh diri.

Aku telah memberikan semuanya. Cintaku, Kasih sayangku, Hartaku, Waktuku semuanya hanya demi Nadin. Tetapi, semua itu tak berarti apa pun baginya. Semua yang ku berikan itu adalah kewajibanku karena aku adalah seorang lelaki yang harus memuliakan perempuan apalagi Nadin adalah kekasihku.

Aku pun cukup sabar untuk menahan sikapnya yang begitu over protektif dan ingin menang sendiri. Karena ibuku pernah mengajarinya kepadaku. Yah, semua yang diajarkan ibu tentang menjaga hati seorang wanita telah ku terapkan tapi tetap saja sama. Tidak ada perubahan yang berarti.

Akhirnya, hubungan kami pun berakhir, di kala aku sedang membutuhkan semangat darinya. Dia pergi dan menikah dengan orang lain. Padahal, aku telah membelikannya cncin emas yang cukup mahal.

Aku harus bekerja banting tulang pagi hingga malam tanpa mengenal lelah. Sedikit demi sedikit uang itu aku kumpulkan. Rasa sakit yang terasa dalam diriku tak pernah kurasakan. Demi memberikannya cincin emas mahal untuk meminangnya.

Aku terpuruk, benar-benar terpuruk. Seakan duniaku telah berhenti sampai di sini. Tak ada lagi semangat untuk memulai hari. Terkadang, aku ingin sekali matahari itu tak pernah terbit, agar tak ada hari selanjutnya.

"Kau kenapa kawan? Beberapa hari ini aku lihat kau begitu murung?" tanya Rafael dengan secangkir kopinya.

"Sebelum ku jawab, boleh aku bertanya sesuatu padamu?"

"Yah, apa?"

"Aku tak pernah melihatmu murung ataupun bersedih, apa resepnya? Beri tahu kepadaku!" tanyaku.

"Resep? Aku bukanlah seorang chef yang mempunyai resep untuk bisa menjawab pertanyaanmu, aku ini hanyalah karyawan biasa?"

"Bukan itu maksudku...."

"Sudahlah, aku tahu apa yang kau maksud, aku hanya bercanda, biar kau tak tegang terus?"

Rafael tertawa. Seakan pertanyaanku itu adalah pertanyaan yang lucu yang pantas ditertawakan. Aku masih terdiam tak bergerak, menunggu jawaban dari Rafael yang masih tertawa. Aku memperhatikan Rafael dan secangkir kopinya itu. Mereka seperti halnya sepasang kekasih yang tidak bisa lepas.

"Kenapa kau tertawa?"

"Pertanyaanmu itu membuatku tertawa, setiap manusia pasti punya masa-masa di mana mereka harus bahagia, tertawa, menangis dan bersedih, tinggal bagaimana manusia itu mampu menguasainya, bagiku secangkir kopi ini yang membuatku seperti ini."

"Aku bukan sedang bercanda, aku bertanya serius kepadamu,"

"Apakah jawabanku tadi menunjukkan bahwa aku sedang bercanda?"

Ekspresi Rafael memang serius, walaupun ia masih tertawa karena pertanyaanku tadi. Namun, aku yakin jawabanya itu benar. Tetapi, bagaimana mungkin secangkir kopi mampu membuat Rafael menjadi setenang itu, bahkan aku tak pernah percaya bila Rafael punya masa di mana ia harus bersedih dan menangis sepertiku saat ini.

Aku mencoba untuk merelakannya demi kebahagiaannya. Aku pun tak mau terlihat begitu terpuruk. Dengan sekuat tenaga aku mencoba mengembalikan diriku kembali menjadi seperti aku sebelum ini. Karena, kehidupanku saat ini dituntut untuk menjadi tangguh dalam keadaan apa pun.

3.

Secangkir kopi. Aromamu yang pekat itu, mengantarkan aku dalam perjalananku menuju kebahagiaan. Di mana aku harus berpacu dengan waktu yang tidak pernah bisa mengerti dan tidak pernah mau menunggu. Aku lelah, dengan semua yang terjadi dengan diriku. Namun, engkau menolongku dengan rasa pahit yang sangat pekat itu.

Setelah jawaban Rafael waktu itu. Aku masih tidak percaya dengan dirimu yang mampu menenangkan dirinya. Aku pun baru menegerti betapa rodanya berputar sangat cepat. Titik atas itu meluncur deras menuju titik bawah yang tidak mampu kembali ke atas dengan sangat cepat.

Aku takjub dengan kekuatan Rafael yang tidak pernah terbayang sedikit pun lehku. Aku malu, benar-benar malu dengan Rafael yang tidak pernah sekali pun mengeluhkan tentang hidupnya yang sangat pahit melebihi pahitnya dirimu. Aku tertunduk malu, di depan dirinya dan di depan secangkir kopinya.

"Tidak usah seperti itu, cerita manusia itu tidak pernah sama,"

"Aku saat ini merasa aku adalah orang yang tidak berguna, aku kalah dengan dirimu yang mampu menjalani semua ini dengan sangat baik,"

Hari demi hari selalu ku jalani dengan penuh harapan darimu, secangkir kopi. Kekuatanmu telah merasuk dalam sanubariku. Relung jiwaku yang selalu bergejolak melawan keadaan, kini mulai mampu ku kendalikan dengan segenap usahaku. Aku benar-benar merasakan hidup yang benar-benar hidup/

Badai menerpaku bertubi-tubi. Jatuh dan bangun kembali, begitu seterusnya. Dibalik rasa pahit akan selalu menimbulkan rasa manis yang luar biasanya. Rafael memang sahabat terbaikku, dia mengerti benar aku dan secangkir kopi yang menjadi obat dari segala kegalauan hidupku. Air mata yang tersaji setiap harinya mengiringi indahnya kenangan yang akan menjadi album memori yng tidak pernah terlupakan.

4.

Secangkir kopi, terima kasih kau telah mempertemukanku dengan Nadin kembali. Dia masih sama cantiknya dengan dulu, hanya saja cintaku telah hilang tertelan oleh waktu. Tetapi, aku tidak membencinya. Aku bersalaman dengannya, dengan suaminya, dan dengan anaknya yang lucu itu.

Ada hal yang tidak aku mengerti dari Nadin. Tentang nama anaknya yang sama persis dengan namaku, Haris. Bukan hanya itu, nama panjangnya pun mirip sekali dengan nama panjangku, kelahirannya juga sama dengan kelahiranku, baik tanggal maupun tempatnya.

Awalnya aku tak percaya dengan cerita Nadin itu. tetapi, suaminya telah menguatkan cerita itu dan mau tak mau aku pun harus percaya. Wajahnya mirip sekali denganku waktu kecil. Aku berharap dia akan menikmati secangkir kopi buatan ibunya dikala dia beranjak dewasa nanti. Seperti halnya diriku yang masih sangat merindukan secangkir kopi buatan Nadin yang tak pernah sekali pun ku minum itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun