"Iya, aku minum tiap malam dengan para warga di sini."
Ketika Rafael menelponku. Seketika aku teringat akan kampung halamanku yang telah melahirkanku dan membesarkanku. Aku rindu semua masa laluku yang indah, bukan masa laluku yang kelam. Aku ingin kembali, tetapi aku terlalu bahagia disini.
2.
Secangkir kopi. Terkadang, aku tak pernah paham dengan mereka yang begitu menyukaimu. Terlebih lagi, bila kau disandingkan dengan sebatang rokok. Buatku yang tak suka rokok pasti akan menghindarimu. Tetapi, anehnya aku mendekatimu.
Seperti halnya aku yang dulunya menjauhi Nadin, teman sekampusku. Dan, beberapa hari setelah aku mati-matian mengejarnya. Bahkan, aku sempat dibuat gila karenanya. Aku sempat dibuat tak berdaya karena tak bisa mendapatkan hatinya.
"Aku berhasil pacaran dengan nadin." kataku waktu itu kepada Rafael.
"O, iya? Selamat, aku senang mendengarnya, kalau gitu ayo kita ngopi dulu, ada kopi enak yang baru saja ku beli," ajak Rafael.
"Aku nggak ngopi Rafael, alu taidak suka kopi." kataku kepadanya.
Hubunganku dengan Nadin, seperti halnya hubunganku denganmu secamgkir kopi. Kita begitu dekat, tetapi aku merasa tak memilikinya. Sama halnya aku begitu dekat denganmu karena Rafael selalu meminummu tetapi aku tak pernah mau meminummu.
Entah mengapa perasaan itu semakin terasa ketika kita sama-sama telah lulus kuliah. Pacaran selama 4 tahun seakan tak berarti dan tak membekas apa pun. Bahkan, untuk tergores sedikit pun tidak. Aku frustasi waktu itu, hidupku hampa ingin rasanya aku bunuh diri.
Aku telah memberikan semuanya. Cintaku, Kasih sayangku, Hartaku, Waktuku semuanya hanya demi Nadin. Tetapi, semua itu tak berarti apa pun baginya. Semua yang ku berikan itu adalah kewajibanku karena aku adalah seorang lelaki yang harus memuliakan perempuan apalagi Nadin adalah kekasihku.