Malam ini, saat menulis surat ini, hujan turun dengan lembut di luar. Seperti malam-malam saat kita berdua begadang mengejar deadline-mu. Aku masih ingat bagaimana kau selalu bilang bahwa hujan adalah berkah bagi seorang penulis – membawa ketenangan yang diperlukan untuk menuangkan kata-kata.
Di mejamu, aku menemukan notes kecil yang kau selipkan di antara tumpukan koran lama. Tulisan tanganmu yang rapi menuliskan pesan yang tak pernah sempat kau sampaikan:
"Untuk puteri kecilku yang kini telah tumbuh menjadi penulis hebat,
Maafkan ayah yang mungkin tak bisa mendampingimu hingga akhir perjalanan.
Tapi ingatlah, setiap kata yang kau tulis adalah perpanjangan dari napas ayah.
Teruslah menulis, Nak. Biarkan penamu menjadi saksi bahwa cinta seorang ayah
tak pernah mengenal kata akhir..."
Napasku tercekat membacanya. Air mata menetes, membasahi kertas yang sudah menguning itu. Bahkan di penghujung hidupmu, kau masih memikirkanku, masih meninggalkan pesan yang akan menjadi kompas hidupku.
Ayah, wartawan tangguhku...
Kini giliranku yang akan meneruskan perjuanganmu.
Setiap berita yang tak sempat kau tulis,